Oleh: Farid Wajdi
Pelantikan Komisi Percepatan Reformasi Polri (KPR-Polri) pada Jumat, 7 November 2025, oleh Presiden Prabowo Subianto seolah memberi secercah harapan baru bagi institusi yang telah lama terjebak dalam paradoks reformasi.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Dalam upacara di Istana Negara, Presiden menegaskan, “Komisi ini harus mendengarkan aspirasi rakyat, tokoh bangsa, dan warganet.”
Namun, di balik seremonial megah dan daftar nama besar di komisi, muncul pertanyaan penting: apakah KPR-Polri akan benar-benar mempercepat perubahan, atau sekadar menjadi panggung simbolik untuk legitimasi politik?
Sejak Polri resmi berpisah dari TNI pada 1999, janji reformasi sipil belum sepenuhnya terwujud. Program-program seperti Polri Presisi, penguatan pengawasan internal, dan revisi kode etik telah digulirkan, tetapi kasus kekerasan aparat, penyalahgunaan wewenang, dan diskriminasi hukum masih sering muncul.
Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pertengahan 2024 mencatat tingkat kepercayaan publik hanya 56 persen—penurunan tajam dibanding 2021. Fakta ini menunjukkan bahwa publik tidak lagi hanya kecewa; mereka skeptis terhadap janji reformasi yang berulang kali terhenti oleh kepentingan internal.
Menurut Poengky Indarti dari Kompolnas, akar masalah Polri terletak pada budaya organisasi. Reformasi yang dijalankan selama ini lebih bersifat administratif, berfokus pada prosedur, tanpa menyentuh moral dan mentalitas kekuasaan.
“Perubahan hanya terjadi di permukaan, sementara cara pandang lama masih mengakar” (Antara News, 7/11/2025). Dengan kondisi ini, KPR-Polri menghadapi dilema besar: legitimasi formal tidak menjamin efektivitas substansial.
Nama-nama tokoh seperti Moh. Jimly Asshiddiqie, Moh. Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, Tito Karnavian, dan Listyo Sigit Prabowo memberikan kredibilitas, tetapi keberanian moral mereka akan diuji oleh kompleksitas institusi Polri yang sesungguhnya.
Salah satu hambatan utama reformasi adalah konflik kepentingan di internal Polri. Dengan lebih dari 400 ribu personel, institusi ini bukan sekadar organisasi birokratis, melainkan arena politik internal yang kuat. Struktur komando tertutup dan hierarki yang kaku menciptakan kultur di mana kekuasaan lebih dipandang sebagai alat kontrol daripada pelayanan.
Upaya reformasi, terutama yang menyentuh rekrutmen, promosi, dan disiplin, kerap bertabrakan dengan kepentingan individu dan kelompok. Resistensi terselubung bisa muncul bahkan dari pejabat senior yang secara formal mendukung reformasi.
Adrianus Meliala pernah menulis, “Reformasi Polri gagal karena terlalu terfokus pada perbaikan kosmetik. Selama perilaku tidak berubah, semua program hanyalah tata letak tanpa jiwa.” Pernyataan ini relevan karena KPR-Polri dihadapkan pada dilema serupa: bagaimana mendorong perubahan etika dan perilaku di tengah sistem yang mempertahankan status quo dan memproduksi kepatuhan formal tanpa substansi moral.
Risiko Politik dan Simbolisme
KPR-Polri, secara hukum, adalah lembaga non-struktural dengan wewenang rekomendatif. Posisi ini menjadikannya rentan terhadap dinamika politik. Sejarah reformasi ad hoc Polri menunjukkan pola yang sama: semangat awal tinggi, tetapi hasilnya minim implementasi.
Laporan-laporan komisi sebelumnya sering berhenti di meja kekuasaan, menjadi dokumen simbolik tanpa dampak nyata. Risiko ini diperkuat oleh kemungkinan pemanfaatan reformasi sebagai alat legitimasi politik presiden dan elite Polri, bukan sebagai instrumen perubahan sistemik.
Selain itu, tekanan publik, meski meningkat melalui media sosial, menghadapi risiko dilegitimasi secara formal tanpa implementasi. Warganet dan organisasi masyarakat sipil bisa menjadi suara moral, tetapi tanpa mekanisme konkret, partisipasi publik hanya menjadi dialog retoris.
KPR-Polri harus menemukan keseimbangan antara mendengar aspirasi publik dan menembus tembok politik internal yang berakar kuat.
Untuk menghindari jebakan formalitas, KPR-Polri harus menempatkan transparansi sebagai fondasi. Setiap langkah, setiap rekomendasi, harus dapat diakses publik. Partisipasi masyarakat sipil tidak cukup melalui konsultasi simbolik; kolaborasi dengan akademisi, organisasi HAM, dan media independen menjadi mekanisme kontrol yang vital.
Reformasi yang hidup membutuhkan keterlibatan nyata, bukan laporan tebal yang berdebu di rak kekuasaan. Fokus perubahan harus pada moral dan etika profesi. Pendidikan integritas, rekrutmen berbasis merit, dan perlindungan pelapor pelanggaran adalah pilar utama.
Tanpa fondasi moral, perubahan struktural hanyalah fasad administratif. Mekanisme pengawasan berkala, misalnya laporan enam bulanan mengenai kemajuan dan hambatan, serta sinergi dengan Kompolnas, Ombudsman, dan Komnas HAM, menjadi mutlak agar setiap rekomendasi tidak berhenti di meja kekuasaan.
Reformasi sebagai Ujian Moral Bangsa
Polri adalah cerminan negara. Ketika aparat menegakkan hukum dengan empati dan rasa hormat, negara terlihat beradab. Sebaliknya, aparat yang sewenang-wenang menghancurkan kewibawaan hukum dan kepercayaan publik.
Reformasi kepolisian bukan sekadar agenda teknis, tetapi ujian moral demokrasi. Hukum tak akan tegak tanpa aparat berintegritas, dan keamanan tak hadir tanpa kepercayaan masyarakat.
Sejarah mencatat bahwa setiap perubahan besar lahir dari dua kekuatan: kemauan politik dari atas dan tekanan moral dari bawah. KPR-Polri berdiri di persimpangan harapan dan skeptisisme. Tugas utamanya bukan sekadar menyusun rekomendasi, tetapi menghidupkan kembali keyakinan publik terhadap institusi yang seharusnya menjadi penjaga keadilan.
Publik tidak membutuhkan janji baru, tetapi bukti nyata. Setiap langkah kecil menuju transparansi lebih bermakna daripada retorika panjang dalam laporan resmi. Reformasi sejati lahir ketika kekuasaan bersedia diawasi dan aparat menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat. Mandat KPR-Polri jelas, tetapi sejarah akan menilai apakah mereka menggunakannya untuk menegakkan keadilan atau sekadar menunda perubahan.
Harapan itu belum padam, tetapi keberhasilannya bergantung pada keberanian moral para anggota komisi dan kemampuan bangsa mengingat janji reformasi yang telah lama tertunda, bahkan mati suri!
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU












