Oleh: Farid Wajdi
Krisis kebencanaan selalu menguji dua hal sekaligus: kapasitas teknokratis pemerintah dan kualitas komunikasi publik yang mendampingi seluruh proses penanganan.
Pada titik tertentu, publik mampu memahami kondisi ekstrem, cuaca yang berubah cepat, serta keterbatasan infrastruktur.
Namun publik jauh lebih sulit menerima ketika komunikasi pemerintah terasa terlambat, tidak sinkron, dan tidak menyentuh rasa kemanusiaan yang sedang terluka. Dalam wilayah yang porak-poranda akibat banjir, kata-kata pejabat sering menentukan apakah publik merasa dipeluk atau justru ditinggalkan sendirian.
Beberapa pernyataan pejabat selama bencana di Sumatera menjadi contoh bagaimana komunikasi krisis dapat melukai publik lebih dalam daripada air bah itu sendiri.
Ketika seorang pejabat pusat menilai situasi “lebih mencekam di media sosial” (Detik, 2025), publik justru menangkap ironi pahit: narasi lapangan yang diabaikan, pengalaman korban yang diremehkan, dan ketidaksadaran trauma publik bukan konten digital yang bisa dinegasikan dengan kalimat ringan.
Pernyataan semacam itu bukan sekadar kurang hati-hati; ia mencerminkan ketidaksiapan berkomunikasi pada momen paling genting.
Krisis menuntut kehadiran negara melalui bahasa yang presisi. Komunikasi krisis bukan sekadar praktik hubungan masyarakat; ia merupakan mekanisme untuk menciptakan rasa aman di tengah ketidakpastian.
Saat banjir membawa batang-batang kayu besar dari hulu, publik menunggu penjelasan yang menyeluruh: apakah terjadi kerusakan kawasan lindung? bagaimana rehabilitasinya? seberapa jauh tanggung jawab institusi terkait? Namun jawaban yang muncul cenderung minimalis, misalnya sekadar menegaskan kayu itu berasal dari “pohon lapuk” (KompasTV, 2025).
Respons seperti ini tidak menutup pertanyaan publik; justru menegaskan kecurigaan isu struktural sedang dihindari.
Ketika data korban berbeda antara pusat dan daerah, publik melihat bukan sekadar selisih angka, melainkan kerenggangan antara para pengambil keputusan.
Ketidaksinkronan ini menciptakan pesan ambigu: jika pemerintah tidak memiliki data yang sama, bagaimana publik dapat mempercayai informasi berikutnya? Dalam komunikasi krisis, ketidakselarasan kecil dapat berubah menjadi keruntuhan besar dalam kepercayaan.
Di era digital, kendala ini diperparah oleh kecepatan arus visual. Publik tidak menunggu pernyataan resmi untuk mengetahui kondisi lapangan; mereka melihat air yang merendam rumah, jembatan terputus, masyarakat mengungsi, dan relawan bekerja keras.
Ketika narasi visual ini tidak sesuai dengan pernyataan pejabat, komunikasi pemerintah kehilangan relevansi. Kepercayaan publik tidak hilang karena bencana; ia hilang ketika narasi resmi berjalan paralel dengan kenyataan, bukan menyatu dengannya.
Masalah komunikasi krisis pemerintah dapat dirangkum dalam tiga titik krusial.
Pertama, orientasi respons lebih defensif daripada empatik. Saat publik menunggu pengakuan atas penderitaan mereka, pemerintah justru terdengar tergesa menepis kritik.
Komunikasi semacam ini membuat pejabat terlihat lebih sibuk menjaga citra daripada menjaga moral publik. Empati bukan retorika; ia adalah kesediaan untuk mengakui luka publik sebelum memasuki teknis penanganan.
Kedua, informasi disampaikan terserak, tanpa koordinasi matang. Publik dihujani data yang berubah, penjelasan yang saling tumpang tindih, serta konferensi pers yang tidak saling melengkapi.
Ketiadaan satu pusat informasi resmi memaksa publik mencari tahu sendiri, membuka ruang bagi spekulasi dan misinformasi. Kekosongan otoritas informasi hampir selalu diisi oleh kecemasan.
Ketiga, absennya refleksi struktural dalam pernyataan resmi. Krisis seperti banjir besar tidak muncul dalam ruang kosong.
Ada faktor ekologis, tata kelola hulu, kualitas infrastruktur, dan sistem mitigasi yang belum optimal. Namun komunikasi pemerintah sering terjebak pada pola penjelasan jangka pendek, bukan pemetaan akar persoalan. Publik tidak hanya ingin tahu apa yang dilakukan saat ini; mereka ingin tahu apa yang selama ini tidak dilakukan.
Untuk keluar dari lingkaran komunikasi yang rapuh, pemerintah perlu membangun pendekatan baru yang lebih strategis, terencana, dan humanis.
Pertama, membangun pusat komunikasi krisis yang terkoordinasi. Satu kanal resmi, diperbarui secara berkala, dengan data yang konsisten akan mengurangi kesimpangsiuran. Kejelasan ini penting karena publik menjadikan keakuratan data sebagai ukuran kredibilitas.
Kedua, kejujuran prosedural. Jika penanganan terkendala, publik dapat menerima. Yang sering melukai bukan keterbatasan, melainkan kesan menyembunyikan atau mengecilkan masalah. Kejujuran memberi ruang bagi publik untuk ikut serta dalam pemulihan, bukan hanya menunggu kebijakan dari atas.
Ketiga, pelatihan empati bagi pejabat publik. Nada, diksi, dan framing pernyataan sangat memengaruhi persepsi publik. Komunikasi krisis menuntut ketepatan emosional. Sebuah kalimat dapat menenangkan ribuan orang; kesalahan kecil dapat menyalakan amarah kolektif.
Keempat, mengintegrasikan komunikasi dengan upaya mitigasi jangka panjang. Pernyataan resmi tidak cukup hanya menjelaskan reaksi; ia perlu menguraikan langkah perbaikan struktural. Publik ingin mendengar tentang rehabilitasi hulu, evaluasi izin usaha yang bermasalah, serta strategi adaptasi iklim.
Kelima adalah kehadiran pejabat di lokasi bencana bukan untuk seremoni, tetapi untuk mendengar. Kepercayaan publik tumbuh ketika pemerintah bersentuhan langsung dengan realitas lapangan. Kehadiran fisik bukan simbolik; ia merupakan mekanisme untuk memastikan narasi pejabat sesuai dengan fakta.
Komunikasi krisis yang baik tidak bersifat reaktif, melainkan memandu publik melewati ketidakpastian dengan kecermatan dan kelembutan. Pemerintah tidak sepenuhnya dinilai dari kemampuan teknisnya, tetapi dari cara ia berbicara ketika warganya sedang kehilangan rumah, keluarga, dan rasa aman.
Kata-kata pejabat menjadi jangkar psikologis bagi banyak orang. Jika disampaikan dengan buruk, jangkar itu justru menenggelamkan.
Jika disampaikan dengan tepat, ia menjadi pegangan kokoh di saat publik goyah. Krisis berikutnya mungkin tidak dapat dihindari, tetapi ketidaksiapan komunikasi seharusnya bisa dicegah. Negara tidak selalu dapat menghentikan banjir, tetapi negara selalu dapat memilih bagaimana berbicara.
Di tengah kerapuhan publik, komunikasi pemerintah merupakan bagian dari penyelamatan. Bukan pelengkap. Bukan aksesori. Ia adalah intervensi pertama yang menentukan apakah publik merasa disertai atau ditinggalkan.
Pada momen genting, ketepatan kata sering lebih menentukan daripada kekuatan alat berat. Publik berhak mendapat negara yang berbicara dengan kesungguhan. (Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU).












