Scroll Untuk Membaca

Opini

Kritik & Perlawanan Punk

Kritik & Perlawanan Punk
Kecil Besar
14px

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Di tangan aktivis, dompet kripto menjadi senjata melawan kontrol finansial global. Di mata korban penggusuran, punk menjelma tameng hidup. Proyeksi 2040 membentang dua jalan…

Artikel ini didedikasikan untuk Jovan Siahaan dan 10 band punk lokal Medan yang pada Kamis 20 Juni lalu berhasil meluncurkan album “Lawan Penggusuran” dengan diskusi kaya kritik yang melibatkan komunitas punk, LBH dan KontraS Medan.

Artikel ini membedah tiga lapis manifestasi politik punk. Lapis pertama menyentuh tubuh dan komunitas otonom sebagai benteng mikro perlawanan. Lapis kedua menguak pertarungan atas ruang urban yang dirampas. Lapis ketiga membongkar kebohongan arsitektur ekonomi global.

Kapitalisme global sedang berpesta dan akan terus berpesta. Satu persen manusia menguasai separuh kekayaan dunia, sedangkan tiga miliar orang bertahan hidup hanya dengan dua dolar sehari. Di tengah kemewahan minoritas yang memuakkan ini, punk muncul bagai pisau bedah yang menyibak perut borjuasi.

Bukan sekadar musik, punk menjelma menjadi fenomena politik multidimensi yang menorehkan sejarah perlawanan. Bersama komunitas terabaikan lainnya, terlalu banyak kisah tentang bagaimana anak-anak berdokar mohawk dan jaket bertambal ini menulis ulang buku politik dengan gitar distorsi mereka.

Krisis peradaban melahirkan monster bernama ketimpangan. Tiga puluh persen kekayaan dunia dikangkangi nol koma nol satu persen populasi. Dua koma empat miliar manusia terlempar ke jurang kerentanan. Dalam gejolak inilah punk menemukan napasnya. Ia berkembang menjadi seismograf sosial yang merekam gempa ketidakadilan.

Politik punk tak bisa dipisahkan dari akar filosofisnya. Etos Do It Yourself (D.I.Y) menjadi jantung berdetak. “Rekam sendiri, distribusikan sendiri, lawan sendiri!” pekik Mark Perry dari zine Sniffin’ Glue tahun 1976. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, sekitar delapan puluh sembilan persen band punk memproduksi karya secara mandiri. Tujuh puluh enam persen pendanaan aksi sosial berasal dari benefit gig (acara amal). Mereka membangun ekonomi tandingan di luar sistem pasar yang mencekik.

Anarkisme bukan teori usang di tangan punk. Mikhail Bakunin mengilhami koperasi komunitas punk Chile yang bertahan di bawah todongan senjata Pinochet. John Zerzan memercik api gerakan anti-eksploitasi sumber daya alam Indonesia. Filsuf dan penulis anarkis primitivis asal Amerika Serikat yang dikenal karena kritik radikalnya terhadap peradaban, teknologi, dan masyarakat industri, ini, memang berpendapat bahwa peradaban, terutama sejak munculnya pertanian, penulisan, dan teknologi, telah membawa keterasingan, hierarki, dan dominasi. Emma Goldman (1869–1940), seorang anarkis, feminis, dan orator revolusioner kelahiran Lituania yang menjadi tokoh penting dalam gerakan anarkis di Amerika Serikat dan internasional, dikenal karena keberanian intelektualnya, kritik sosialnya yang tajam, dan perjuangannya untuk kebebasan individu, kesetaraan gender, dan keadilan social, tampaknya juga ikut menyulut semangat Punk Perempuan Nusantara. Tubuh menjelma kanvas perlawanan. Mohawk menantang standar kecantikan borjuis. Tato “RUMAH BUKAN KOMODITAS” menjadi prasasti abadi di kulit. “Tubuh kami adalah manifesto berjalan,” tegas Dian Novita dari Punk Perempuan Nusantara.

Geografi kemarahan punk berbeda tajam antara Utara dan Selatan. London 1977 menyaksikan Sex Pistols meludahi Ratu melalui God Save the Queen. Dua ratus ribu kopi ludes dalam seminggu meski dilarang BBC. Tapi ini perlawanan anak kelas menengah yang bosan. Bandung 1993 menghadirkan narasi lebih getir. Zine “Brainwashed” diedarkan sembunyi dengan kode “Distorsi=gitar=senjata”. Salah nyalakan amplifier bisa berujung di sel aparat Orde Baru.

Jello Biafra di San Francisco mengejek Reagan lewat Kill the Poor. Ucok dari Marjinal di Jakarta menghadapi pentungan polisi sungguhan saat mempertahankan Kampung Akuarium. Punk Utara melawan alienasi budaya dengan lirik eksplisit, menghadapi risiko boikot media. Punk Selatan berhadapan langsung dengan kekerasan negara memakai bahasa simbol-sandi, mempertaruhkan nyawa melawan penghilangan paksa.

Jakarta menjadi salah satu laboratorium pertarungan ruang hidup terpenting. Ratusan penggusuran dalam beberapa tahun tahun terakhir. Puluhan persen untuk mal dan apartemen mewah. Hanya belasan persen korban mendapat relokasi layak. Di sini, punk merancang strategi 4P. Pencatatan kekerasan aparat melalui gawai. Penggalangan dana kilat via benefit gig. Pendudukan lahan terlantar lewat squatting (tindakan menempati bangunan atau lahan kosong tanpa izin resmi dari pemiliknya. Biasanya dilakukan untuk tempat tinggal, ruang komunitas, atau bentuk protes politik). Pertahanan fisik dibangun dengan barikade tubuh manusia.

Desember 2016 menjadi saksi pertempuran epik di Kampung Akuarium. Tiga ratus aparat menyerbu tiga ratus keluarga. Dalam hitungan jam, punk Jakarta Utara mendirikan tujuh tenda darurat. Tiga benefit gig digelar, mengumpulkan delapan puluh empat juta rupiah. “Kamera kami lebih jujur dari liputan televisi,” kata seorang aktivis sambil menunjukkan rekaman polisi memukul nenek tua. Ekologi politik ruang terungkap dalam siklus setan. Proyek properti mengundang modal asing. Modal asing membeli peraturan daerah. Peraturan melegitimasi penggusuran. Darah warga menjadi pupuk kenaikan nilai tanah.

Efektivitas perlawanan punk terukur dalam angka. Perlawanan penggusuran mencapai dua puluh enam persen keberhasilan ketika warga dan punk bersatu padu. Benefit gig untuk korban bencana mencatat sembilan puluh enam persen efektivitas berkat jaringan solidaritas horizontal. Tapi protes kebijakan hanya sepuluh persen berhasil. Negara terlalu perkasa. Fragmentasi ideologis menoreh luka dalam. Kubu militan ingin membakar gedung DPR. Kubu kulturalis membangun perpustakaan jalanan. Kubu hibridasi berkolaborasi dengan petani Kendeng melawan pabrik semen. “Perdebatan kami panas,” aku Rudi dari Jeruji, “Tapi saat aparat datang, kami satu barisan”.

Washington Consensus 1989 menjelma kitab suci neoliberalisme. Di Indonesia, kitab ini berubah jadi senjata pemusnah massal. Liberalisasi pertanian WTO membanjiri pasar dengan tiga koma dua juta ton beras impor. Petani gurem bangkrut. Pemotongan subsidi melambungkan biaya sekolah tiga ratus persen. Anak-anak putus pendidikan. Utang luar negeri menyedot ratusan triliun per tahun, cukup untuk membiayai seluruh sekolah dasar Indonesia.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menjelma topeng emas neoliberalisme. Jason Hickel membongkar kebohongan ini. Klaim kemiskinan turun berbanding terbalik dengan pertambahan dua koma empat juta precariat. Rasio gini nol koma tiga delapan delapan menjadikan Indonesia juara ketimpangan se-ASEAN. Deforestasi seratus empat ribu hektar per tahun mencemari janji keberlanjutan. “IMF-WB kau perampok berjas!” pekik Marjinal dalam lagu. Sebuah kritik lebih jujur dari semua laporan Bank Dunia.

Jaringan perlawanan transnasional punk membangun mata uang solidaritas baru. Punk Aid Network mendukung petani Meksiko melawan NAFTA. Dompet kripto menjadi senjata pendanaan tanpa melalui bank yang dikendalikan elit. Blockchain mengukir sejarah perlawanan yang tak bisa dihapus rezim mana pun.

Sintesis akhir penelitian ini merajut benang merah perlawanan. Filsafat D.I.Y. bertaut dengan pertarungan jalanan, membentuk praksis kontra-hegemoni. Proyeksi 2040 memetakan masa depan penuh tantangan. Cyber-squatting (praktik mendaftarkan, menggunakan, atau menjual nama domain internet yang mirip atau identik dengan merek dagang terkenal—dengan tujuan mengambil keuntungan dari reputasi nama tersebut) menjadi taktik pendudukan server korporasi. Non-Fungible Token (NTF) perlawanan menjelma mekanisme pendanaan mandiri. AI anarkis dirancang sebagai algoritme anti-pengawasan. Rekomendasi kebijakan menyerukan desentralisasi produksi lewat undang-undang ekonomi kreatif, revisi radikal SDGs dengan fokus distribusi, serta penghapusan utang Global South sebagai reparasi ekologis.

Joe Strummer dari The Clash memilih menyanyikan kaum tertindas meski lahir dari keluarga diplomat. Poly Styrene meruntuhkan dominasi pria di scene punk. Ucok dari Marjinal lima kali ditahan aparat, markasnya digerebek, tapi tetap memimpin perlawanan penggusuran. Enam puluh empat anggota Aceh Punk Collective dicukur paksa tahun 2011, bangkit sebagai petani organik. “Api kecil di gang kumuh bisa jadi kobaran di istana,” tulis Wimo Ambala Bayang. “Punk adalah korek api di gudang mesiu peradaban”.

Punk bukan nostalgia tujuh puluhan. Ia masih bernapas dalam denyut nadi perlawanan kontemporer. Di markas squatting Jakarta, server underground dibangun menghindari sensor. Di tangan aktivis, dompet kripto menjadi senjata melawan kontrol finansial global. Di mata korban penggusuran, punk menjelma tameng hidup. Proyeksi 2040 membentang dua jalan. Jalan pertama menuju kuburan: punk jadi komoditas fesyen mal. Jalan kedua membelah cakrawala: jaringan blockchain punk mendirikan sistem ekonomi alternatif. “Kami bukan nabi,” tulis zine Bara & Bising, “tapi kami tahu, selama ketidakadilan ada, distorsi gitar ini akan terus menggema”.

Penelitian ini menjadi saksi. Punk bukan vandalisme. Ia diagnosis akurat patologi peradaban. Setiap jahitan jaket kulit, setiap nada distorsi, setiap barikade tubuh manusia, merupakan surat cinta untuk kemanusiaan yang terluka. “Kami bukan pengacau,” teriak Ucok Marjinal, “Kami dokter yang membedah tumor bernama ketidakadilan.” Dalam ruang operasi bernama bumi, punk menjadi pisau bedah sekaligus antibiotik. Pisau untuk mengikis tumor kapitalisme. Antibiotik untuk menyembuhkan luka bernama keserakahan.

Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE