Opini

KUHP Baru Mengutamakan Keadilan Korektif, Bukan Sekadar Pembalasan

KUHP Baru Mengutamakan Keadilan Korektif, Bukan Sekadar Pembalasan
Kecil Besar
14px

Oleh Yos Arnold Tarigan, SH, MH, M.Ikom

Hukum pidana di Indonesia sedang mengalami transformasi fundamental. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, atau UU No. 1 Tahun 2023 yang akan berlaku efektif secara penuh mulai tanggal 2 Januari 2026 dan UU ini menandai pergeseran paradigma dari pendekatan retributif (pembalasan) yang kental di KUHP lama warisan kolonial, menuju sistem hukum pidana modern yang mengedepankan keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Pergeseran ini membawa angin segar, terutama dalam menyikapi tindak pidana dengan ancaman hukuman di bawah lima tahun. Paradigma baru menghendaki agar baik jaksa dalam menuntut maupun hakim dalam memvonis, tidak menjatuhkan sanksi pidana penjara.

Esensi Keadilan Korektif

Keadilan korektif berakar pada gagasan pemulihan ketidakseimbangan yang terjadi akibat tindak pidana, bukan sekadar memberikan hukuman yang setimpal (retributif). Tujuannya adalah memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh kejahatan, baik pada korban, pelaku, maupun masyarakat.

Dalam konteks tindak pidana dengan ancaman di bawah lima tahun, yang umumnya merupakan tindak pidana ringan, pendekatan retributif. Kapasitas lembaga pemasyarakatan yang sudah kelebihan penghuni, dan memutus pelaku dari lingkungan sosialnya.

Perubahan Paradigma Penegak Hukum

KUHP baru membuka ruang lebar bagi penerapan pidana alternatif, seperti pidana kerja sosial, pidana pengawasan, denda, dan pidana bersyarat. Ini memberikan pilihan yang lebih luas bagi hakim untuk mengindividualisasi pidana sesuai dengan karakteristik dan tingkat kesalahan pelaku serta dampak perbuatannya.

Di sinilah peran sentral jaksa dan hakim dalam mengimplementasikan paradigma keadilan korektif. Penuntut umum kemudian menjadi pencari solusi terbaik yang memulihkan keadaan. Jaksa sebagai penuntut umum didorong untuk mengedepankan pendekatan restorative justice (keadilan restoratif), di mana mediasi dan ganti rugi kepada korban menjadi prioritas, sebelum memutuskan untuk melimpahkan perkara ke pengadilan dengan tuntutan pidana penjara.

Bagi Hakim, Hakim kemudian memiliki kewenangan diskresi yang lebih besar untuk tidak menjatuhkan pidana penjara bagi kasus-kasus di bawah lima tahun. Hakim dapat memilih pidana alternatif yang lebih humanis dan efektif dalam mencegah pengulangan tindak pidana, seperti kewajiban mengikuti program rehabilitasi, kerja sosial di masyarakat, atau pengawasan ketat.

Keuntungan Pendekatan Non-Penjara

Pendekatan ini tidak berarti mengabaikan keadilan atau memberikan impunitas. Sebaliknya, ini adalah wujud keadilan substantif yang lebih mendalam yang memiliki muatan :

Efektifitas: Pidana alternatif terbukti lebih efektif dalam merehabilitasi pelaku dan mencegah residivisme dibandingkan hukuman penjara jangka pendek.

Efisiensi Sistem: Mengurangi beban dan kepadatan lapas, menghemat biaya negara, dan mempercepat proses peradilan.

Pemulihan Korban: Fokus pada ganti rugi atau pemulihan kerugian korban secara langsung, yang seringkali lebih berarti daripada sekadar melihat pelaku dipenjara.

Sudah saatnya kita meninggalkan mentalitas “penjara adalah satu-satunya solusi”. Keadilan korektif dalam KUHP baru menawarkan jalan yang lebih kontekstual. Komitmen bersama dari jaksa dan hakim untuk tidak menuntut dan memvonis pidana penjara untuk kasus-kasus di bawah lima tahun adalah kunci keberhasilan transformasi hukum pidana di Indonesia menuju sistem yang lebih adil dan modern.

Kejaksaan Agung telah menunjukkan kesigapan luar biasa dalam menyambut era baru Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menekankan keadilan korektif. Kesiapan ini patut diapresiasi, mengingat transisi besar dari paradigma pemidanaan retributif (pembalasan) ke arah yang lebih humanis dan restoratif.

Langkah strategis Jaksa Agung Prof. Dr. H. Sanitiar Burhanuddin S.H., M.M melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Republik Indonesia Prof. Dr. Asep N. Mulyana, S.H., M.Hum untuk menggandeng seluruh pemerintah daerah dalam mengakselerasi penerapan pidana kerja sosial merupakan bukti nyata visi kepemimpinan yang progresif. Dengan merangkul pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota sejak dini, Kejaksaan memastikan infrastruktur sosial dan kesiapan implementasi di lapangan terjamin saat KUHP baru berlaku efektif pada 2026.

Pendekatan ini tidak hanya menunjukkan Kejaksaan Agung sebagai institusi yang responsif terhadap perubahan hukum, tetapi juga menempatkannya sebagai pelopor di antara aparat penegak hukum lainnya. Kejaksaan telah melangkah lebih jauh ke ranah implementasi praktis.

Ini adalah contoh nyata bagaimana sebuah institusi penegak hukum dapat beradaptasi secara proaktif, memastikan hukum benar-benar hidup dan bermanfaat di tengah masyarakat, bukan sekadar teks mati dalam undang-undang.

Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE