Oleh: Dr. H. Ikhsan S.H., Sp.N., M.Kn., dan Andi Hakim Lubis
“Tahun 2026 menjadi momen sejarah bagi hukum acara pidana Indonesia. Pengesahan KUHAP Baru (UU No. 8 Tahun 2023) bersamaan dengan pemberlakuan KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023) bukan sekadar perubahan teks—melainkan titik persimpangan antara rekonstruksi prosedural, perlindungan hak warga, dan ujian bagi kapasitas negara menjaga keseimbangan kekuasaan dan keadilan.”
Menyongsong Era Baru Hukum Nasional Awal Tahun 2026
Tahun 2026 menjadi momen sejarah bagi hukum acara pidana Indonesia. Pengesahan KUHAP Baru (UU No. 8 Tahun 2023) bersamaan dengan pemberlakuan KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023) bukan sekadar perubahan teks—melainkan titik persimpangan antara rekonstruksi prosedural, perlindungan hak warga, dan ujian bagi kapasitas negara menjaga keseimbangan kekuasaan dan keadilan.
Di tengah dinamika ini, Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memegang peran strategis. Sebagai officium nobile (jabatan kehormatan dengan amanah publik), mereka tidak hanya menegakkan kepastian hukum perdata dan pertanahan, tetapi juga menjadi ujung tombak legitimasi prosedural dan kepercayaan publik.
Era digital memperluas cakrawala profesi ini. Sistem pertanahan elektronik, audit trail digital, dan interoperabilitas data bukan hanya inovasi teknis—melainkan sarana modernisasi yang memungkinkan akuntabilitas multi-lapis. Setiap dokumen dan tindakan profesional dapat ditelusuri, menjaga integritas pejabat publik secara transparan. Dalam kerangka ius integrum Nusantara, hukum bukan hanya aturan, tetapi sistem yang mengikat norma, prosedur, dan nilai keadilan substantif secara holistik.
Paradoks Transisi: Perluasan Hak Dan Diskresi Aparat
Setiap transisi besar selalu mengandung paradoks. KUHAP Baru menghadirkan hak tersangka yang lebih kuat, akses bantuan hukum sejak tahap awal, dan mekanisme restorative justice yang humanis. Namun, fleksibilitas prosedural dan diskresi aparat juga diperluas—membuka kemungkinan ketegangan antara efektivitas penegakan hukum dan perlindungan hak warga.
Notaris dan PPAT berada di garis depan ketegangan ini, karena akta dan data yang mereka hasilkan seringkali menjadi pintu masuk proses pidana. Untuk membaca kompleksitas ini, naskah ini menggunakan pendekatan Four-Point Determination: penegasan batas kewenangan, perlindungan profesi melalui safe harbor, integrasi data pertanahan digital, dan penguatan kapasitas profesional melalui literasi digital dan etika. Semua elemen ini disinergikan dalam kerangka Multi-Layered Accountability, yang menggabungkan dimensi hukum, operasional, data, dan etika.
Meneguhkan Officium Nobile Dalam Kerangka Ius Integrum Nusantara
Kepercayaan publik adalah mata uang tertinggi bagi pejabat publik. Bagi Notaris dan PPAT, kepercayaan itu adalah fondasi yuridis dari officium nobile. Tahun 2026 menjadi titik persimpangan ketika KUHP dan KUHAP Baru berlaku penuh—momentum yang bukan hanya perubahan legislasi, tetapi penanda arah menuju Indonesia Emas 2045.
Transformasi ini bersifat paradigmatik: hukum tidak lagi sebagai instrumen pemaksaan, tetapi sebagai sistem utuh yang menautkan kepastian, keadilan, dan akuntabilitas. Setiap akta autentik dan verifikasi pertanahan bukan tindakan administratif rutin, tetapi peristiwa hukum yang membawa konsekuensi legitimasi dan pertanggungjawaban publik.
Digitalisasi memainkan peran sentral sebagai instrumen modernisasi untuk menjaga integritas profesi. Teknologi menjadi medium baru bagi prinsip accountability: setiap kewenangan dapat ditelusuri dan dipertanggungjawabkan. Dalam konteks ini, adagium bahwa integritas adalah jembatan antara janji dan tindakan menemukan relevansi konkret dalam praktik kenotariatan dan ke-PPAT-an modern.
KUHAP Baru: Di Persimpangan Rekonstruksi Kekuasaan Dan Perlindungan Hak
Ketukan palu yang mengesahkan KUHAP Baru menandai transisi historis—upaya negara untuk menata ulang fondasi prosedural yang selama empat dekade bertumpu pada UU No. 8 Tahun 1981. Momentum ini juga menjadi jembatan menuju berlakunya KUHP Nasional pada 2 Januari 2026, yang membawa perubahan paradigma dalam hukum pidana materiil.
Dalam narasi resmi, KUHAP Baru diposisikan sebagai missing link yang memungkinkan orientasi humanis, korektif, dan restoratif dalam KUHP Nasional bekerja secara operasional. Namun, pertanyaan mendasar tetap ada: apakah pembaruan ini sungguh merekonstruksi relasi negara dan warga, atau justru memperbarui legitimasi kekuasaan lama dalam bahasa hukum yang lebih modern.
Dalam perspektif ius integrum Nusantara, hukum acara pidana adalah sistem utuh yang mengatur keseimbangan antara kewenangan negara dan perlindungan hak warga. Ia adalah cermin watak negara hukum—memperlihatkan bagaimana kekuasaan diproduksi, dibatasi, dan diawasi, serta sejauh mana warga diposisikan sebagai subjek hukum yang bermartabat.
Teoritik Dan Praktis: Perluasan Hak Dan Akuntabilitas Teknologi
Secara teoritik, hukum acara pidana selalu menjadi medan utama relasi kekuasaan. Siapa yang berwenang menangkap, menahan, dan menuntut—dan bagaimana kewenangan itu dikontrol—menentukan apakah negara berperan sebagai pelindung atau pengendali. KUHAP lama dikritik karena menempatkan aparat pada posisi terlalu kuat, sementara due process of law kerap hanya berupa pengakuan normatif.
KUHAP Baru mengklaim membawa arsitektur baru: memperluas hak atas bantuan hukum sejak tahap awal, memperkuat peran advokat, menghadirkan perekaman pemeriksaan sebagai mekanisme akuntabilitas, dan mengakui secara eksplisit hak kelompok rentan. Teknologi seperti kamera pengawas, dokumentasi digital, dan jejak elektronik dimaksudkan sebagai penyeimbang struktural terhadap kekuasaan aparat—meskipun tanpa mekanisme sanksi dan pengawasan yudisial yang efektif, ia berisiko hanya menjadi simbol modernisasi.
Restorative Justice Dan DPA: Janji Pemulihan Atau Arena Negosiasi Kekuasaan?
Pelembagaan restorative justice dan Deferred Prosecution Agreement (DPA) dalam KUHAP Baru menampilkan wajah progresif hukum pidana Indonesia, selaras dengan KUHP Nasional yang menempatkan pidana penjara sebagai jalan terakhir. Namun, di balik janji tersebut tersimpan paradoks.
Restorative justice yang diterapkan sejak tahap penyelidikan menghadirkan dilema: ketika status hukum pelaku dan korban masih cair, negara telah memfasilitasi interaksi yang sarat kuasa aparat. Tanpa pengawasan yudisial yang substantif, mekanisme ini berisiko bergeser dari ruang pemulihan menjadi arena negosiasi timpang. DPA juga menghadirkan problem serupa: efisiensi dan kepastian prosedural diimbangi dengan konsentrasi diskresi pada penuntut umum, yang dapat menimbulkan selective enforcement.

Struktur penyidikan dalam KUHAP Baru menegaskan kepolisian sebagai simpul utama, dengan penyidik sektoral dalam koordinasi lebih terpusat. Pendekatan Four-Point Determination menjadi lensa kritis untuk membaca arah reformasi: legitimasi normatif, efektivitas institusional, akuntabilitas prosedural, dan penerimaan sosial.
Integrasi Sistem Dan Ujian Keadilan Prosedural
Hukum acara pidana adalah arena pertemuan empat simpul negara hukum: legitimasi normatif, desain kewenangan, mekanisme akuntabilitas, dan penerimaan sosial. KUHAP Baru perlu dibaca sebagai konstruksi politik-hukum yang menentukan bagaimana negara membenarkan penggunaan kekuasaannya.
– Legitimasi normatif: KUHAP Baru memiliki dasar formal kuat, tetapi legitimasi formal tidak otomatis sejalan dengan legitimasi substantif.
– Desain institusional: Cenderung sentralistik, dengan peningkatan efisiensi yang berisiko mengokohkan dominasi personal aparat tanpa countervailing power.
– Akuntabilitas dan pengawasan: Peran hakim cenderung administratif dalam restorative justice dan DPA, mengurangi fungsi hukum acara sebagai pengendali kekuasaan negara.
– Penerimaan sosial: Tantangan terbesar adalah sejarah ketidakpercayaan publik terhadap aparat—perluasan kewenangan tanpa pengawasan kuat berpotensi memperlebar jarak antara hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Dalam kerangka ius integrum Nusantara, KUHP Nasional telah mengakui korporasi sebagai subjek pidana dan memperluas pidana alternatif. Namun, KUHAP Baru belum sepenuhnya menyiapkan perangkat operasional untuk menopang visi ini, menciptakan kesenjangan yang sering diisi melalui diskresi aparat.
Tantangan Perlindungan Jabatan Notaris Dan PPAT
1. Konflik Normatif Antara KUHAP Baru dan Peraturan Profesi
Pengesahan KUHAP Baru menimbulkan dilema normatif ketika bersinggungan dengan UU Jabatan Notaris (UUJN, UU No. 2 Tahun 2014), yang menegaskan perlindungan jabatan Notaris sebagai pejabat publik independen. Perluasan kewenangan penyidik berpotensi menciptakan grey area: Notaris dihadapkan pada konflik antara mematuhi UUJN atau memenuhi permintaan penyidik, yang berisiko menurunkan kredibilitas akta otentik dan melemahkan kepastian hukum profesi.
2. Perlindungan Hukum dan Prinsip Kehati-hatian
– Majelis Kehormatan Notaris (MKN) berperan sebagai gatekeeper yang menyeimbangkan kepentingan publik dan hak Notaris, dengan memberikan persetujuan atau menolak permintaan penyidik—menegaskan prinsip check and balance.
– Prinsip kehati-hatian menuntut Notaris menjaga kerahasiaan klien dan memverifikasi akta. Namun, KUHAP Baru memungkinkan penyitaan mendesak tanpa persetujuan MKN, menciptakan dilema normatif.
3. Dampak pada Nilai Akta Otentik dan Risiko Kriminalisasi
KUHAP Baru memperluas kewenangan penyidik untuk penyitaan dokumen mendesak, yang berdampak langsung pada akta otentik—yang selama ini menjadi bukti sah (public faith) dalam transaksi hukum. Penyitaan tanpa persetujuan MKN berpotensi menurunkan keabsahan akta dan menempatkannya pada risiko degradasi.
Notaris juga berisiko menjadi subjek hukum karena dokumen yang mereka buat digunakan pihak ketiga untuk tindak pidana, meskipun telah mematuhi UUJN dan kode etik. Sejarah hukum Indonesia mencatat kasus di mana Notaris digugat akibat penggunaan akta oleh pihak ketiga.
Digitalisasi Sebagai Solusi Harmonisasi
Digitalisasi muncul sebagai solusi potensial untuk mengatasi konflik normatif. PPAT dan Notaris kini menggunakan sistem layanan pertanahan elektronik dan akta digital, dengan audit trail elektronik yang mencatat tanggal, waktu, identitas pengguna, dan jejak tindakan.
Misalnya, ketika penyidik memerlukan dokumen untuk kepentingan penyidikan, sistem dapat menghasilkan read-only access atau salinan resmi yang tetap menjaga integritas akta dan sesuai ketentuan UUJN. Dengan cara ini, penyitaan tidak selalu harus fisik, sehingga konflik KUHAP–UUJN dapat diminimalkan, sambil tetap memenuhi prinsip due process of law.
Kerangka Four-Point Determination Dan Multi-Layered Accountability
Pendekatan Four-Point Determination menjadi kerangka konseptual yang memandu harmonisasi:
1. Legitimasi normatif: Menuntut keselarasan antara KUHAP, UUJN, dan regulasi PPAT.
2. Efektivitas institusional: Dicapai melalui digitalisasi, integrasi sistem antar-institusi, dan protokol audit trail yang transparan.
3. Akuntabilitas prosedural: Diwujudkan melalui rekaman elektronik, pengawasan internal MKN, dan pengawasan yudisial.
4. Penerimaan publik: Meningkat karena transparansi prosedur dan integritas pejabat publik yang tetap terjaga.
Kerangka ini dioperasionalkan melalui Multi-Layered Accountability, yang menggabungkan:
– Legal accountability: Batas delik dan alasan penghapus pidana.
– Operational accountability: SOP digital dan audit trail.
– Data accountability: Perlindungan hak subjek data.
– Ethical accountability: Fondasi officium nobile.
Kesimpulan Dan Rekomendasi
KUHAP dan KUHP Baru menempatkan Indonesia pada persimpangan sejarah: modernisasi prosedural harus sejalan dengan perlindungan pejabat publik dan kepastian hukum masyarakat. Harmonisasi tidak cukup deklaratif—harus mencakup integrasi digital, mekanisme pengawasan, dan prosedur adaptif yang dapat mengelola konflik normatif.
Rekomendasi kebijakan meliputi:
1. Penguatan audit dan compliance check digital secara rutin.
2. Standarisasi SOP nasional dan integrasi praktik cyber notary.
3. Peningkatan kapasitas literasi digital dan etika profesi secara berkelanjutan.
4. Integrasi UU Perlindungan Data Pribadi dalam setiap layanan pertanahan digital.
Dengan demikian, hukum acara pidana Indonesia dapat menjadi instrumen keadilan yang adaptif, akuntabel, dan manusiawi—gema keadilan yang menuntun bangsa di persimpangan sejarah, sambil meneguhkan officium nobile Notaris dan PPAT dalam kerangka ius integrum Nusantara.
Referensi:
Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2021). Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Jabatan Notaris dan PPAT. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2021). Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2021 tentang Layanan Pertanahan Elektronik. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2022). Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2023). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2023). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP Baru). Jakarta: Sekretariat Negara.
Hamzah, A. (2020). Hukum acara pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Von Benda-Beckmann, F., Von Benda-Beckmann, K., & Spiertz, H. (2018). Notaries and legal certainty: A comparative perspective. Berlin: Springer.
Penulis 1: Ketua Pengwil Sumut Ikatan Notaris Indonesia
Penulis 2: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara











