Scroll Untuk Membaca

Opini

Makan Secukupnya, Hidup Berkah: Resep Ketahanan Pangan Rasulullah

Makan Secukupnya, Hidup Berkah: Resep Ketahanan Pangan Rasulullah
Kecil Besar
14px

Oleh Dr. Bukhari, M.H., CM

Ketahanan pangan ala Rasulullah sejatinya bukan hanya soal perut, melainkan tentang moral, iman, dan tanggung jawab sosial.

Aceh, tanah yang dikenal dengan kesuburannya, memiliki potensi luar biasa untuk menjadi lumbung pangan di ujung barat Nusantara. Dari sawah Pidie hingga ladang Subulussalam, dari tambak Aceh Utara hingga kebun kopi Bener Meriah dan Takengon semuanya menyimpan anugerah Allah yang melimpah. Namun, di balik potensi besar itu, Aceh masih menghadapi ironi: banyak lahan tidur, petani kesulitan pupuk dan mahal, harga gabah tak menentu, sementara ketergantungan pada beras luar daerah terus meningkat.

Dalam situasi ini, teladan Rasulullah SAW menjadi cermin sekaligus solusi. Beliau bukan hanya mengajarkan soal makan yang secukupnya, melainkan juga membangun etika produksi, distribusi, dan konsumsi pangan yang seimbang. Rasulullah menolak penimbunan (ihtikar), mendorong kemandirian melalui kerja keras, serta menanamkan prinsip qana‘ah cukup dan bersyukur atas rezeki yang ada.

Jika kita terapkan nilai-nilai ini di Aceh, maka ketahanan pangan bukan lagi sekadar jargon program pemerintah, melainkan menjadi gerakan sosial berbasis iman. Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik makanan yang dimakan seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari). Maka, petani Aceh yang menanam padi, nelayan yang melaut, dan ibu-ibu yang mengolah hasil bumi lokal sejatinya sedang menjalankan sunnah Rasul.

Namun, masalah utama kita sering kali bukan kekurangan sumber daya, melainkan kurangnya kesadaran mengelola dengan bijak. Tradisi konsumtif, pemborosan dalam pesta, hingga minimnya dukungan terhadap produk lokal menjadi tantangan tersendiri. Rasulullah SAW mengingatkan, “Sesungguhnya orang yang paling kenyang di dunia akan paling lama lapar di akhirat.” (HR. Tirmidzi). Maka, makan secukupnya bukan hanya ajaran moral, tapi strategi menjaga keseimbangan sosial dan ekologi.

Aceh seharusnya tidak sekadar menjadi konsumen, tetapi produsen pangan yang mandiri. Pemerintah Aceh, Dayah, dan masyarakat dapat bersinergi membangun model ketahanan pangan berbasis syariah: petani didorong menanam dengan niat ibadah, hasil bumi dikelola tanpa riba, dan pasar diatur tanpa penimbunan.

Bayangkan jika setiap gampong menghidupkan kembali semangat gotong royong bercocok tanam sebagaimana Rasulullah menghidupkan pasar Madinah adil, transparan, dan saling menguntungkan. Maka, krisis pangan tak akan pernah menjadi ancaman bagi rakyat Aceh.

Ketahanan pangan ala Rasulullah sejatinya bukan hanya soal perut, melainkan tentang moral, iman, dan tanggung jawab sosial. Di Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, ajaran ini harus hidup di tengah masyarakat: makan secukupnya, hidup berkah, dan mencintai bumi sebagaimana Nabi mencintai umatnya.

Penulis adalah Konsultan Hukum LBH Qadhi Malikul Adil dan Akademisi UIN Lhokseumawe.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE