Oleh Azhari Akmal Tarigan
Salah satu tempat yang dikunjungi delegasi Tokoh dan Sarjana Muslim Sumatera Utara beberapa waktu yang lalu ke Tiongkok, 29 Mei – 5 Juni adalah masjid-masjid yang ada di Kota Zingzhou Provinsi Henan yaitu Masjid Beida yang berusia sekita 700 tahun., Masjid Kampus di Xinjiang Islam Institut dan Masjid Dongsi di Beijing. Bukan sekadar untuk melaksanakan Salat Fardhu dan Sunnat, para delegasi juga dapat melihat dari dekat keberadaan masjid yang umumnya sudah berusia cukup lama. Masjid yang menyimpan Sejarah dan juga sekaligus merekam dinamika Islam dan Muslim di Tiongkok.
Penulis sebagai salah satu anggota delegasi mewakili MUI Kota Medan dan juga UIN Sumatera Utara mencoba mencermati dan menangkap pesan tersirat dari balik simbol dan fenomena yang terlihat dengan kasat mata ataupun yang tersirat dari fakta yang ada. Jika ingin disimpulkan sementara masjid-masjid di Tiongkok adalah cermin yang paling terang bagaimana nasionalisme bertemu dengan tradisi, kearifan lokal dan nilai-nilai luhur dengan Keislaman, sebagai agama yang dianut lebih kurang 30 juta jiwa rakyat Tiongkok. Tentu tidak semua negara dapat sukses memadukan tiga pilar penting ini yang akhirnya mendukung kepada pecapaian tujuan berbangsa dan bernegara.
Masjid dan Negara
Dalam konteks relasi masjid di Tiongkok dan Negara ada tiga hal yang hemat penulis cukup menarik. Pertama, Bendera Republik Tiongkok berkibar dengan megahnya disetiap halaman depan masjid. Jika bendera sebagai identitas dan lambang negara hadir di masjid, itu sama maknanya bahwa negara hadir sekaligus memberi perlindungan kepada warga negaranya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Perlindungan negara di tempat ibadah tentu saja memberikan rasa nyaman dan aman bagi setiap umat beragama. Tidak perlu ada kekhawatiran apa lagi ketakutan-ketakutan yang mengancam penganut agama. Kedua, Negara memberikan fasilitas kepada pengelola masjid terlebih lagi masjid yang dikelola negara, misalnya dalam bentuk honorarium sampai pada renovasi bangunan. Sebagai contoh di Xinjiang tepatnya di Masjid, lima orang pengurus masjid digaji pemerintah lebih kurang RPp15.000.000 -17.000.000,-per bulannya. Namun jika masjid bukan “milik” pemerintah, biasanya yang diberikan adalah bantuan-bantuan untuk pemeliharaan Gedung ataupun renovasi terlebih-lebih galeri museum. Ketiga, Integrasi yang paling nyata adalah di dalam museum masjid, biasanya tertulis dengan indah ungkapan-ungkapan dalam Bahasa Mandarin yang menunjukkan kecintaan terhadap negara. Ungkapan mencintai negara bagian dari iman, menjadi warga negara yang baik adalah printah agama dan sebagainya adalah kalimat-kalimat yang terpampang nyata dalam Bahasa mandarn.
Masjid dan Tradisi
Di Indonesia tidak terlalu banyak masjid yang mengambil corak arsitektur yang melambangkan lokalitas ataupun corak nasional. Corak masjid di Indonesia umumnya persis seperti Taj Mahal atau masjid bergaya Timur Tengah lainnya. Beberapa masjid di Jawa mengambil pola tiga lapis atap atau yang jelas terlihat pada masjid Demak. Model masjid ini belakangan menjadi ciri Masjid Muslim Pancasila yang berdiri di berbagai wilayah Nusantara. Namun banyak masjid besar di Jawa juga bercorak Taj Mahal. Di Kabanjahe Sumatera Utara, Masjid Agungnya bercorak rumah adat Karo. Tetapi masjid Al-Istihrar di Brastagi sebagai masjid terbesar di Kota Turis itu atau masjid lainnya mengambil corak Taj Mahal. Masjid Al-Maushun di Kota Medan kendatipun “milik” Kerajaan Deli, coraknya tetap bergaya Tajmahal atau Timur Tengah. Bukan corak rumah adat Melayu.
Di Tiongkok, agaknya hanya di Xinjiang yang masjidnya bercorak Timur Tengah. Penulis hanya berkunjung di dua masjid selama di Urumqi, Masjid yang terletak di Tengah pusat perbelanjaan dan Masjid yang berdiri megah di Kampus Institut Agama Islam Xinjiang. Keduanya bercorakTaj Mahal baik dilihat dari luar ataupun dilihat dari dalam. Agaknya hal ini adalah khas Xinjiang. Namun jika ada masjid di Xinjiang bercorak Tiongkok, maka itu adalah pengecualian.
Berbeda dengan masjid di Xinjiang, Masjid Beida di Zengzhou dan Masjid Dongsu di Beijing, tradisi Tiongkok sangat terasa. Siapa yang melihat bangunan itu dari luar – masjid baginya hanya yang bergaya Taj Mahal- maka ia tidak akan pernah menyangka bahwa bangunan itu adalah masjid. Setidaknya ia berkata, rumah adat atau tempat pertemuan tokoh-tokoh. Padahal sesungguhnya, itulah corak Masjid di Tiongkok. Sebagai contoh Masjid Baida di ZingZhou Provinsi Hainan, jelas terlihat corak tradisi Tiongkoknya. Tidak ada kubah sama sekali atau mihrab ala Timur Tengah. Demikian juga Masjid Dongse di Beijing. Masjid yang terletak di jalan Protokoler ini, di lihat dari luar tidak mencerminkan masjid sama sekali. Namun jika kita masuk ke dalam, maka nuansa masjid akan sangat terasa.
Islam Tiongkok
Islam Tiongkok adalah Islam yang sama sekali tidak mengalami arabisasi. Mungkin hanya ibadah mahdah yang menggunakan Bahasa Arab. Selebihnya Bahasa Mandarin sebagai Bahasa Ibu. Muslimnya menggunakan dua corak busana; baju kemeja kemudian pakai jas dan dilengkapi dengan lobe (songkok putih) di kepala. Bagi muslim Tiongkok yang pernah kuliah di Timur Tengah ataupun para imamnya, senang menggunakan baju Tub, gamis atau juga dikenal dengan jubah. Lalu Muslimahnya bagaimana ? Mereka pakai selendang, berbaju tangan Panjang, berhijab dan bercelana panjang. Terkadang hijab yang dipakai persis sama dengan tudung atau selendang. Muslimah Tiongkok tidak mengenal mukena atau gais sama sekali. Bagaimana mereka berbusana Muslimah di Tiongkok demikian pula mereka melaksanakan ibadah haji.
Dari sisi fikih, umumnya mereka menganut mazhab Hanafi atau Al-Hanafiyah. Kendati demikian, beberapa tempat menganut mazhab lain. Rata-rata jama’ah shalat Jum’atnya kisaran 200 Jama’ah – 300 Jama’ah di Masjid Beida ZingZHo. Sedangkan pada shalat Idul Adha, jumlahnya bisa lebih besar lagi. Acara -acara yang bernuansa Islam juga tanpak pada ritual-ritual kematian dan juga pernikahan. Kendatipun dalam beberapa segi berpadu dengan tradisi lokalnya sendiri.
Justru yang menarik bagi penulis adalah keberpihakan Tiongkok pada makanan halal. Tidak sulit sebenarnya mencari makanan halal di Tiongkok. Di antara ciri-ciri umumnya, Sebagian besar tulisan atau merek tokonya berwarna hijau dan diujungnya terdapat tulisan halal dalam Bahasa Mandarin. Sulit menjawab mengapa tulisan halal tidak menggunakan Bahasa Arab. Mungkin hal ini terkait dengan kebijakan negara saja. Namun lepas dari itu, keberadaan informasi halal ini sangat membantu wisatawan dari luar Tiongkok sehingga tidak ada lagi keraguan-keraguan terhadap makanan yang tersedia. Kebijakan halal di Tiongkok ini hemat penulis patut diacungi jempol.
Satu hal lagi yang dapat disebut keunikan Masjid di Tiongok adalah memelihara kesadaran dan pengetahuan masa lalu atau Sejarah lewat museum. Kendati sederhana dan tidak terlalu luas, dua Masjid yang penulis kunjungi, Beida dan Dongsu di ZingZho dan Beijing, keduanya memiliki museum dan juga perpustakaan. Museum itu bercerita bagaimana masjid ini pada mulanya dibangun, siapa yang membangunnya dan masa dinasti apa. Lalu siapa tokoh-tokohnya dan bagaimana perluasan atau renovasi bangunan masjid dan lainnya. Semuanya mereka rekam dengan sangat baik.
Di Masjid Dongsu terdapat perpustakaan yang sebagian besar koleksinya dilindungi negara. Seperti Al-Quran yang berumur ratusan tahun yang masih awet dengan tulisan tangannya. Beberapa kitab tafsir seperti Al-Thabari, Al-Razi, dan yang popular adalah Al-Jalalian serta fikih Hanafi masih terlihat dan terawat dengan baik, seperti Al-Mabshut.
Penutup
Ada baiknya, hemat saya, masjid-masjid di Indonesia dapat mencontoh dua hal dari Masjid yang ada di Tiongkok. Pertama, bagaimana mengintegrasikan secara baik keindonesiaan dan keislaman. Sebenanya dalam konteks pemikiran Islam Indonesia, kita sudah selesai dalam persoalan integrasi ini. Menjadi muslim yang taat dan dalam satu tarikan nafas menjadi warga negara yang baik. Namun menjadikan masjid sebagai sarana penguatan nasionalisme dan ke-Islaman berikut dengan penguatan simbol belum banyak dilakukan. Kedua, merawat ingatan masa lalu sebagai pijakan masa depan. Memang perlu anggaran besar untuk merawat ingatan masa lalu lewat museum. Namun kita belum punya cara untuk menunjukkan sesuatu yang berharga buat anak cucu kita nantinya. Agaknya kita sudah bisa mulai dari yang sederhana mengabadikan foto-foto lama atau melakukan digitalisasi terhadap dokumen. Itu penting dan sangat penting untuk bangsa dan umat beragama.
Penulis adalah Wakil Rektor BIdang Akademik UINSU Medan