Oleh Armin Nasution
BERHARAP perbaikan gizi dari makan gratis, malah keracunan. Itulah yang menimpa puluhan ribu siswa di Indonesia. Bahkan hingga 4 Oktober Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 10.482 keracunan makanan sampai dilarikan ke rumah sakit.
Kasus terbaru sebanyak 34 siswa SMP Negeri 1 Laguboti Kab. Toba diduga keracunan setelah mengkonsumsi MBG (makan bergizi gratis). Hal ini dikonfirmasi langsung Kadis Kesehatan Toba Freddi Seventry Sibarani, Rabu (15/10/2025). Keluhannya mual, muntah, pusing, mulas, nyeri ulu hati dan sesak nafas.
Sebelumnya di Kabupaten Bandung Barat, Jabar, 182 pelajar turut keracunan. MBG yang dibagikan ini sudah seperti teror bagi anak sekolah. Harian Waspada kemudian menempatkan berita headline pada Kamis (16/10/2025) dengan judul besar stop dan audit MBG mengutip anggota Komisi Yudisial 2015-2020 Farid Wajdi.
Sebelum melanjutkan tulisan ini, ada pertanyaan: Apakah para direktur BPJS dengan kualitas pelayanan sekarang mau berobat dengan layanan seperti sekarang? Pertanyaan kedua, apakah anak cucu pejabat tinggi negara sekelas menteri sampai presiden mau menyantap makan bergizi gratis?
Video dan foto korban keracunan menghias timeline semua media. Bukan hanya itu, respon dan komentar juga berseliweran di sekitar kita. Kemudian muncul desakan agar program MBG dihentikan saja. Karena sepanjang 2025 alokasi APBN untuk makan bergizi gratis tersebut mencapai Rp71 triliun. Dan ke depan pemerintah sudah menyiapkan alokasi hingga Rp1,2 triliun per hari agar semua daerah terjangkau.
Apakah program ini memungkinkan untuk dihentikan? Walau desakan bahkan kecaman keras datang dari berbagai penjuru angin, saya yakin pemerintah tidak akan menghentikannya. Karena MBG adalah janji politik dan sekaligus privilege pemerintahan Prabowo Subianto mendorong pemenuhan gizi anak Indonesia. Riuh, gemuruh soal program ini sudah dimulai sejak digagas.
MBG diketahui telah menjangkau 38 provinsi dengan 4.700 kecamatan. Detilnya menurut Badan Gizi Nasional (BGN) tersebar di 38 provinsi, 502 kabupaten/kota, serta menjangkau 4.700 kecamatan dari total 7.200 kecamatan se-Indonesia. Program ini juga telah memberdayakan sekitar 106.000 relawan di berbagai daerah dengan 3.338 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) telah beroperasi dan menjangkau 8,2 juta penerima manfaat.
Efek negatifnya: banyak siswa yang keracunan dan kekhawatiran bahwa multiplier effect (efek pengganda) terhadap perekonomian nasional tak seperti yang diharapkan. Bicara, efek pengganda maka yang paling merasakan tentu sektor konsumsi.
Saya coba kutip data yang disajikan INDEF (Institute for Development of Economics and Finance). Mereka menguji MBG ini pada pilot project di beberapa daerah. Hasilnya alokasi belanja MBG yangmencapai Rp71 triliun ini akan mendorong pertumbuhan PDB 0,06 persen atau tambahan hingga Rp14,61 triliun pada PDB 2025 dengan penyerapan tenaga kerja 0,19 persen serta pertumbuhan upah 0,39 persen.
Sisi lain, MBG juga akan menekan impor yang terdesentralisasi menggunakan sumber pangan lokal akan mengurangi ketergantungan pada produk luar negeri sekaligus mendorong penguatan petani lokal dan UMKM.
UMKM yang mengikuti program MBG memperoleh pendapatan tambahan hingga 33,68 persen dibanding sebelumnya. Itu belum menghitung efek jalur distribusi dan transportasi dari setiap kegiatan.
Sebagian pemberitaan sudah menceritakan success story pelaku usaha di daerah karena MBG ini membuka lapangan kerja baru dan tambahan penghasilan. Tapi harusnya merata di 4.700 kecamatan yang sudah dijangkau. Sebab masih banyak wilayah mengeluhkan pasok kebutuhan pokok dan bahan untuk makan bergizi gratis didatangkan dari luar daerah atau bahkan bukan dikelola oleh usaha kecil setempat.
Penjelasan BGN menyatakan SPPG yang didirikan di daerah bukan dari kucuran APBN. Tapi didirikan mitra seperti pengusaha, organisasi masyarakat hingga instansi pemerintah. Untuk mendirikan SPPG ini butuh dana sekira Rp1,5 miliar sampai Rp2 miliar rupiah. Secara ekonomi dan naluri bisnis pengusaha, apakah memungkinkan cost pendirian SPPG tersebut tidak memikirkan profit?
Asumsi dasar operasional MBG adalah mendorong pertumbuhan 0,6-0,8 persen dengan syarat berkualitas. Sama dengan pertumbuhan ekonomi berkualitas yang seharusnya tiap 1 persen akan menampung 300 ribu -500 ribu lebih lapangan kerja. Namun jika pertumbuhan tak berkualitas hanya menghasilkan sekira 75 ribu lapangan kerja.
MBG pun akan seperti itu. Jika dikelola dengan maksimal dan berkualitas multiplier effect akan sesuai harapan. Di Sumba, Nusa Tenggara Timur, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies Media Wahyudi Aska menegaskan sebagian besar komoditas yang digunakan untuk MBG justru didatangkan dari luar pulau. Akibatnya, rantai pasok lokal tidak terlibat dan petani serta pedagang kecil kehilangan potensi pasar.
Program ini tidak menjerat makanan-makanan lokal. Alih-alih dinikmati masyarakat miskin, sebagian manfaat justru mengalir ke pelaku usaha besar yang menjadi pemasok utama bahan pangan. Di banyak daerah, dapur besar MBG terhubung dengan perusahaan besar yang membeli langsung dari peternak skala nasional, bukan dari pasar tradisional.
Sistem pengadaan skala besar menyebabkan efek lanjutan pada harga pangan nasional. Lonjakan harga daging ayam sejak Agustus disebut salah satu indikasi meningkatnya permintaan dari penyedia MBG skala besar. Bahkan jika tak hati-hati lonjakan permintaan bisa menyebabkan inflasi di daerah.
Di banyak negara program serupa terbukti efektif dalam memperbaiki status gizi dan prestasi akademik siswa, seperti yang terlihat dalam skema Mid- Day Meal di India atau Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE) di Brasil (WFP, 2021).
Program makan bergizi gratis ini juga harusnya membantu mengurangi beban ekonomi. Rumah tangga dengan pendapatan rendah mengalokasikan porsi besar dari penghasilannya untuk makanan. Dengan adanya program makan gratis, terjadi penghematan antara Rp300.000 hingga Rp500.000 per anak per bulan, yang dapat dialihkan untuk kebutuhan lain seperti biaya pendidikan atau kesehatan (TNP2K, 2022).
Efek ini pasti meningkatkan daya beli masyarakat secara agregat. Bahkan angka kecukupan gizi pun akan tercapai untuk tiap anak.
Multiplier yang dijelaskan tentu dalam konsep yang ideal. Mari kita simpulkan pertanyaan di awal tulisan ini. Jawabannya adalah: jika direktur BPJS tahu kualitas layanan yang diberikan, mereka tak akan mau memakai layanan program pemerintah itu. Sama dengan MBG, jika pejabat tinggi negara tahu bahwa makan bergizi gratis berpotensi keracunan, pasti mereka menolak anak cucu-nya disuguhi program tersebut.
Artinya program-program pemerintah butuh perbaikan simultan. Yang bikin miris, ada pejabat mengatakan korban keracunan kan hanya sepersekian persen dari total penerima manfaat. Begitulah tanggapan pejabat yang keluarga atau anak cucu-nya belum jadi korban keracunan makan bergizi gratis.