Oleh: Rayani Saragih
Transformasi pelayanan publik di Indonesia terus bergulir seiring percepatan digitalisasi yang menyentuh berbagai sektor strategis.
Perizinan usaha menjadi salah satu aspek yang mengalami reformasi signifikan karena memegang peran sentral dalam menciptakan kepastian hukum bagi pelaku ekonomi.
Legalitas usaha tidak hanya menjadi prasyarat administratif, melainkan menjadi landasan untuk mengakses pembiayaan, memperluas kemitraan, dan meningkatkan daya saing. Proses manual yang dahulu penuh antrean, dokumen berlapis, dan ketergantungan pada tatap muka sering menimbulkan hambatan bagi masyarakat.
Situasi ini memicu kebutuhan untuk menghadirkan sistem perizinan yang lebih sederhana dan adaptif melalui pendekatan digital.
Upaya modernisasi perizinan diwujudkan melalui Online Single Submission-Risk Based Approach (OSS-RBA). Sistem ini dirancang berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha, sehingga prosedur menjadi lebih proporsional antara kegiatan berisiko rendah dan berisiko tinggi.
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2025 menjadi tonggak terbaru yang menegaskan integrasi menyeluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah ke dalam OSS-RBA.
Ketentuan service level agreement (SLA) diperkuat untuk memberikan kepastian waktu penyelesaian layanan, sekaligus memastikan tidak ada proses yang berlarut-larut.
Reformasi ini meneguhkan arah pembangunan layanan publik yang terukur dan efisien (Bisnis.com, 2025).
Jejak sistem OSS di Indonesia berawal dari PP No. 24 Tahun 2018, lalu diperbarui melalui PP No. 5 Tahun 2021 untuk memberikan klasifikasi risiko yang lebih komprehensif.
Penyempurnaan 2025 menghadirkan inovasi penting melalui penerapan prinsip fiktif positif, yang menetapkan permohonan sebagai disetujui bila instansi tidak memberikan respons dalam rentang waktu ditentukan.
Mekanisme ini menjadi instrumen kuat untuk mengurangi hambatan birokrasi yang sering menghambat investasi dan pelayanan publik (IMC Kemenperin, 2025).
Kinerja OSS-RBA memperlihatkan tren peningkatan signifikan. Kementerian Investasi mencatat lebih dari 6 juta Nomor Induk Berusaha (NIB) terbit pada periode 2023–2024, dengan mayoritas pemohon berasal dari pelaku UMK.
Capaian tersebut menandai semakin inklusifnya akses legalitas bagi kelompok usaha kecil yang sebelumnya sering terkendala prosedur konvensional.
Laporan Bank Dunia juga menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kemajuan cukup pesat dalam reformasi digitalisasi perizinan di kawasan Asia Tenggara (World Bank, 2024).
Hasil penelitian menunjukkan respons positif masyarakat terhadap kehadiran OSS-RBA. Studi Unsoed 2024 menemukan tingkat kepuasan pengguna mencapai 60–70 persen, terutama dalam aspek kejelasan informasi, kecepatan proses, dan kemudahan akses.
Penelitian di Universitas Udayana dan Unmas Denpasar menguatkan temuan serupa. Faktor kompetensi aparatur, kualitas infrastruktur digital, serta konsistensi penerapan standar layanan menjadi penentu keberhasilan.
Pelaku usaha yang familiar dengan teknologi memperlihatkan adaptasi lebih cepat, sedangkan sebagian UMK masih membutuhkan pendampingan intensif untuk memanfaatkan fitur OSS-RBA secara optimal.
Walaupun capaian terlihat positif, sejumlah persoalan teknis dan struktural masih mengemuka. Perbedaan kapasitas di tingkat daerah menjadi tantangan terbesar.
Banyak petugas DPMPTSP belum memperoleh pelatihan yang mendalam terkait pembaruan sistem sehingga pelayanan sering terhambat ketika terjadi perubahan regulasi atau pembaruan teknis.
Infrastruktur digital juga belum merata di seluruh wilayah. Contoh kasus di Merauke pada awal 2025 menunjukkan layanan OSS-RBA sempat tidak dapat diakses berhari-hari akibat proses penyesuaian data administratif setelah pemekaran wilayah Papua Selatan (Portal Daerah, 2025).
Kondisi ini memperlihatkan perlunya pembangunan infrastruktur yang lebih kuat dan konsisten.
Masalah ego sektoral masih muncul dalam implementasi perizinan elektronik. Beberapa daerah menambahkan syarat di luar ketentuan nasional sehingga proses menjadi lebih panjang dan bertentangan dengan prinsip penyederhanaan OSS-RBA.
Selain itu, risiko kebocoran data pribadi pelaku usaha menimbulkan kekhawatiran. Sistem elektronik menyimpan informasi sensitif seperti identitas pemilik dan detail legalitas usaha, sehingga perlindungan siber harus berada dalam prioritas utama.
Mekanisme perubahan data seperti alamat, modal usaha, atau struktur kepemilikan juga masih rumit karena verifikasi antarinstansi berlangsung dengan alur yang kompleks.
Reformasi perizinan berbasis elektronik menuntut pendekatan holistik. Pemerintah pusat perlu memastikan pendampingan berkelanjutan untuk pemerintah daerah dalam bentuk pelatihan reguler, peningkatan kemampuan aparatur, dan penyediaan panduan teknis yang mudah dipahami.
Pelaku UMKM juga memerlukan edukasi digital agar dapat memanfaatkan OSS-RBA secara mandiri. Di tingkat infrastruktur, penguatan jaringan internet, pusat data nasional, dan sistem cadangan harus menjadi prioritas agar layanan tetap berjalan meski terjadi gangguan.
Kepastian hukum memegang peranan penting dalam keberhasilan OSS-RBA. Ketentuan SLA dan mekanisme fiktif positif memerlukan penegakan konsisten untuk memberikan jaminan waktu penyelesaian layanan.
Sinkronisasi aturan antar kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah perlu dilakukan secara menyeluruh untuk menghindari dualisme kebijakan.
Aspek perlindungan data pribadi juga tidak dapat diabaikan. Audit keamanan berkala, standar enkripsi, serta pengawasan independen mutlak diperlukan untuk menjaga kepercayaan pelaku usaha.
Dalam pandangan para ahli administrasi publik, perizinan berbasis elektronik hanya dapat berhasil jika selaras dengan prinsip tata kelola yang baik.
Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Agus Pramusinto, menegaskan konsolidasi antarinstansi menjadi syarat utama terwujudnya layanan publik digital yang efektif. Integrasi sistem dan kesinambungan kebijakan memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan digitalisasi layanan.
Dari perspektif teknologi pemerintahan, pakar tata kelola digital Setiaji yang kini menjabat sebagai Chief of Digital Transformation Office (DTO) Kementerian Kesehatan menyampaikan pentingnya keamanan data dan interoperabilitas antarplatform agar layanan elektronik memiliki ketahanan dalam jangka panjang (Forum GovTech Indonesia, 2024).
Perizinan berbasis elektronik menyimpan peluang strategis untuk menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif dan inklusif. Sistem OSS-RBA dapat mengurangi biaya kepatuhan, mempercepat proses layanan, serta meningkatkan tingkat formalitas UMKM.
Potensi besar ini hanya dapat terwujud jika regulasi, teknologi, dan kultur birokrasi berjalan dalam irama yang konsisten.
Pelaku usaha perlu mengambil momentum ini untuk memperkuat legalitas dan membuka ruang ekspansi usaha, sementara pemerintah perlu menjadikan OSS-RBA sebagai ekosistem layanan publik yang terus dirawat dan dievaluasi.
Perizinan elektronik bukan sekadar inovasi teknis, tetapi pilar penting menuju pembangunan ekonomi modern yang berkeadilan, transparan, dan berkelanjutan. (Penulis adalah Dosen Fakultas Sosial dan Hukum Universitas Quality Berastagi dan Peserta Didik S3 Ilmu Hukum UMSU).












