Oleh: Farid Wajdi
Ungkapan “negara hadir” kembali menggema setiap kali bencana melanda. Ia diulang dalam pernyataan resmi, diperlihatkan melalui kunjungan pejabat, dan disiarkan lewat berbagai kanal media.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Namun di tengah puing-puing rumah, pengungsian darurat, dan trauma berkepanjangan, makna kehadiran negara kerap dipertanyakan. Bagi korban bencana, negara tidak hadir dalam bentuk slogan. Negara hadir melalui tindakan nyata, cepat, dan bermartabat.
Kegelisahan publik itu tercermin dalam kritik Susi Pudjiastuti yang menilai korban bencana tidak menunggu kehadiran pejabat, melainkan bantuan konkret.
Pernyataan tersebut muncul dalam berbagai wawancara media pada awal 2024, menyoroti jarak antara narasi resmi dan kebutuhan riil korban di lapangan (RMOL Jabar; Rilpolitik; Tribunnews, 2025).
Kritik ini tidak berdiri sendiri. Ia mewakili suara korban yang sering tenggelam dalam hiruk-pikuk pemberitaan seremonial.
Dalam konteks tersebut, pertanyaan utama bukan lagi apakah negara hadir secara simbolik, melainkan apakah negara menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya secara utuh.
Indonesia menempatkan dirinya sebagai negara hukum. Prinsip ini membawa konsekuensi serius. Negara tidak hanya bertugas membentuk aturan, tetapi juga menjamin perlindungan hak-hak dasar warga.
Jimly Asshiddiqie (2006) menegaskan negara hukum modern menuntut peran aktif negara dalam melindungi dan memenuhi hak konstitusional, terutama pada situasi darurat.
Simbolisme Kehadiran dan Krisis Substansi
Bencana alam merupakan ujian paling telanjang bagi prinsip tersebut. Hak atas keselamatan, hak atas tempat tinggal, serta hak atas kehidupan yang layak dijamin oleh UUD 1945.
Pembukaan UUD 1945 menugaskan negara melindungi segenap bangsa, sementara Pasal 28H ayat (1) menjamin hak atas tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik. Mandat ini tidak membuka ruang penundaan.
Ketika bencana terjadi, kehadiran negara menjadi keharusan hukum, bukan pilihan kebijakan. Sudut pandang ini mengubah cara memaknai kehadiran negara.
Kehadiran tidak lagi diukur dari intensitas kunjungan pejabat, melainkan dari efektivitas perlindungan yang dirasakan warga.
Selain sebagai negara hukum, Indonesia dirancang sebagai negara kesejahteraan. Bagir Manan (1996) menjelaskan negara kesejahteraan menempatkan negara sebagai aktor utama dalam menjamin kesejahteraan sosial. Konsep ini menolak pandangan negara penjaga malam yang pasif.
Dalam kerangka welfare state, bencana alam memicu tanggung jawab negara yang berlapis. Negara dituntut hadir sejak tahap evakuasi, berlanjut pada pemenuhan kebutuhan dasar, lalu berujung pada pemulihan dan rekonstruksi. Kegagalan pada salah satu tahap tersebut berarti kegagalan menjalankan fungsi kesejahteraan.
Muchsan (2002) menekankan intervensi negara dalam situasi krisis bukan bentuk pemborosan kekuasaan, melainkan konsekuensi logis dari mandat sosial. Korban bencana tidak hanya membutuhkan bantuan darurat. Mereka membutuhkan kepastian masa depan.
Dalam praktik, kehadiran negara sering tereduksi menjadi simbol. Kunjungan pejabat dipersepsikan sebagai bukti empati. Bantuan diserahkan secara seremonial. Narasi keberhasilan disusun dengan cepat. Namun realitas lapangan sering berjalan lambat.
Model kehadiran semacam ini memunculkan paradoks. Negara terlihat aktif, tetapi korban tetap terjebak dalam ketidakpastian. Satjipto Rahardjo (2009) mengingatkan hukum dan negara kehilangan makna ketika terpisah dari rasa keadilan substantif. Kehadiran simbolik tanpa kerja berkelanjutan menciptakan ilusi perlindungan.
Kritik Susi Pudjiastuti menembus ilusi tersebut. Ia menempatkan korban sebagai pusat analisis, bukan sebagai latar belakang pencitraan. Kritik semacam ini penting untuk menjaga akuntabilitas negara.
Bencana Nasional dan Kepastian Hukum
Isu lain yang mengemuka berkaitan dengan belum ditetapkannya status bencana nasional meskipun dampak bencana meluas dan korban berjatuhan.
Dari sudut pandang negara hukum, keputusan ini berhubungan langsung dengan prinsip kepastian hukum dan efektivitas pemerintahan.
Hans Kelsen (1961) menekankan norma hukum harus diterjemahkan ke dalam keputusan konkret. Ketidakjelasan status bencana menciptakan fragmentasi kebijakan.
Pemerintah daerah bergerak dengan keterbatasan. Koordinasi nasional berjalan setengah hati. Korban kembali menjadi pihak paling dirugikan.
Penetapan status bencana nasional bukan simbol politik. Ia merupakan instrumen hukum untuk membuka akses sumber daya nasional, mempercepat koordinasi, serta memastikan tanggung jawab negara berjalan penuh.
Negara hadir secara utuh ketika seluruh siklus penanganan bencana dijalankan. Evakuasi cepat menyelamatkan nyawa. Distribusi logistik menjaga kelangsungan hidup. Hunian sementara yang layak melindungi martabat manusia. Rekonstruksi berkelanjutan memulihkan masa depan.
Todung Mulya Lubis (2014) mengingatkan hak asasi manusia mencakup hak atas kondisi hidup yang bermartabat. Hunian darurat yang tidak layak, sanitasi buruk, serta ketidakpastian relokasi merupakan bentuk pelanggaran hak yang sering luput dari perhatian.
Dalam perspektif ini, negara hadir ketika ia bertahan mendampingi warga, bahkan setelah sorotan media memudar.
Memaknai negara hadir berarti menempatkannya sebagai etika konstitusional. Negara tidak sekadar datang, lalu pergi. Negara tinggal, bekerja, dan bertanggung jawab sampai pemulihan tercapai. Kehadiran semacam ini menuntut keberanian politik, konsistensi kebijakan, dan empati institusional.
Jika kehadiran negara hanya diukur dari dokumentasi kunjungan pejabat, negara berisiko kehilangan legitimasi moral. Sebaliknya, ketika kehadiran diwujudkan dalam perlindungan nyata dan kesejahteraan berkelanjutan, konsep negara hukum dan negara kesejahteraan menemukan makna sejatinya.
Negara hadir bukan ketika kamera menyala, melainkan ketika penderitaan warga benar-benar berakhir.
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU











