Oleh Gerry Maranatha Tambunan
PADA hakekatnya kebelangsungan pembangunan Indonesia sampai dengan saat ini masih bergantung pada pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan dalam hal ini sebagaimana kerap disampaikan Menteri Keuangan dalam berbagai kesempatan, sebagai tulang punggung pembiayaan pembangunan Indonesia APBN memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu:
1) Fungsi Alokasi, yang diwujudkan dalam bentuk alokasi belanja dan pendapatan yang ditetapkan dalam Undang-Undang APBN yang merupakan produk perundang-undangan hasil pembahasan antara Pemerintah sebagai representasi lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai representasi lembaga legislative. Adapun penyusunan APBN ini harus memperhatikan belanja yang bersifat mandatory spending by law seperti anggaran pendidikan yang dipatok 20% dari jumlah keseluruhan belanja APBN dan juga harus memperhatikan fokus pembangunan Indonesia saat ini yaitu penguatan ketahanan pangan, pelaksanaan beberapa program strategis.
2) Fungsi Distribusi, yang diwujudkan melalui APBN yang bertujuan untuk menurunkan kesenjangan ekonomi dan sosial masyarakat dengan tujuan untuk meminimalisir angka kemiskinan di Indonesia yang diwujudkan melalui antara lain pelaksanaan subsidi energi, subsidi pupuk dan pemberian Bantuan Sosial (Bansos).
3) Fungsi Stabilisasi, yang bermanfaat sebagai shield dan langkah mitigasi terhadap risiko-risiko fiskal yang mungkin timbul akibat kondisi dan situasi geopolitik global yang sangat dinamis serta fungsi ini juga menjadikan APBN kita sebagai shock absorber.
Dengan mempertimbangkan begitu pentingnya peran APBN tesebut, mengandung konsekuensi bahwa pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara efektif-efisien dan guna mencapai pelaksanaan pengelolaan keuangan Negara yang ideal haruslah bertumpu pada implementasi prinsip good governance yang selaras dengan prinsip good financial governance. Konsep good governance sendiri mengadung prinsip-prinsip yang menurut United Nation Development Programme (UNDP) sebagaimana dikutip Lembaga Administrasi Negara adalah participation, rule of law, transparency, responsiveness, concensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability and strategic vision.
Sementara itu bank dunia sebagaimana dituliskan oleh Mohamad Djafar Saidi, mengartikan good governance yaitu adminstrasi yang stabil dalam suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang bertanggungjawab serta setujuan bersama prinsipnya demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi serta pencegahan korupsi dari secara politis maupun adminstratif, menjelaskan untuk disiplin bagi anggaran dan terciptanya hal yang halal dan politis sebagai tandanya aktivitas usaha.
Adapun prinsip-prinsip ini juga telah teruraikan dalam pengaturan mengenai keuangan Negara yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yang antara lain mengatur bahwa Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif transparan dan juga bertanggungjawab dengan memperhatikan akan rasa keadilan dan kepatutan. Prinsip-prinsip dalam Good Governance lain yang juga terdapat dalam hal pengelolaan keuangan negara yang mana dalam UU 17/2003 terkait dengan adanya asas-asas dalam Pengelolaan Keuangan Negara, yaitu:
1. Asas akuntabilitas berorientasi pada hasil
Asas ini adalah pada setiap kegiatan pengelolaan negara dan hasil akhirnya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat yang mana merupakan pemegang kedaulatan tertinggi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Asas Proporsionalitas
Asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban dari pengelola keuangan negara.
3. Asas profesionalitas
Asas yang mengedepankan keprofesinalisme yang berdasarkan kode etik dan dari ketentuan-ketentuan lain di dalam peraturan perundang-undangan.
4. Asas keterbukaan dan pengelolaan keuangan negara
Asas yang mengutamakan keterbukaan informasi yang merupakan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang pengelolaan keuangan negara.
5. Asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri
Asas yang memberikan keleluasaan pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan pemeriksaan tanpa adanya intervensi dari pihak manapun.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik satu benang merah bahwa pengelolaan keuangan Negara dari sisi good governance yang dikuatkan dengan peraturan perundang-undangan sebagaiamana diatur dalam UU 17/2003 salah satu aspek pentingnya yaitu terkait dengan akuntabilitas. Akuntabilitas di sini bisa diuraikan dari 2 (dua) sudut pandang yaitu dari sudut pandang administratif berupa akuntabilitas kinerja dan dari sudut pandang ekonomi/keuangan berupa pertanggungjawaban keuangan Negara. Adapun dari sisi administratif, akuntabilitas menurut Mardiasmo (mantan Wakil Menteri Keuangan) merupakan bentuk kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik.
Kinerja Instansi Pemerintah, adalah sebuah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatankegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Dengan demikian Akuntabilitas Kinerja instansi pemerintah (AKIP) adalah perwujudan kewajiban instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan ke- berhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan melalui system pertanggungjawaban secara periodik.
Melalui akuntabilitas kinerja inilah langkah menuju good governance, agar pemerintah mampu mempertanggung jaawabkan penggunaan anggaran negara untuk sebaikbaiknya pelayanan masyarakat yang selanjutnya dituangkan dalam Laporan Kinerja yang berisikan ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBN.
Selanjutnya Laporan kinerja tersebut kemudian disusun sebagai Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang adalah sistem yang dapat memberikan informasi rangkaian proses perencanaan hingga ketercapaian kinerja dan feedback terhadap perencanaan dari hasil evaluasi yang dilakukan dalam sebuah system. Akuntabilitas kinerja bagi kepemimpinan administrator, karena merupakan langkah menegakkan pengelolaan administrasi kepada pimpinan organisasi menuju good governance yang dimaksudkan agar sebagai individu/pimpinan unit organisasi (administrator) dalam organisasi pemerintahan mampu mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran negara yang digunakan melalui program/kegiatannya ditujukan untuk sebaik-baiknya pelayanan / kepentingan publik. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan prinsip-prinsip good governance yang tidak lepas dari tujuan kepemerintahan yaitu terciptanya clean governance, akuntabilitas publik dalam konteks pelaksanaan fungsi organisasi kepemerintahan memiliki 3 (tiga) fungsi utama yaitu untuk:
1. menyediakan kontrol demokratis (peran demokrasi);
2. mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (peran konstitusional);
3. meningkatkan efisiensi dan efektivitas (peran belajar).
Adapun dari sisi administratif dan legal formal pengelolaan keuangan Negara tidak terbatas pada penyusunan APBN dan pertanggungjawaban APBN saja, namun in between ada tahapan pelaksanaan APBN yang lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004) yang menguraikan secara lebih detil mengenai peranan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dalam tatanan pelaksanaan APBN.
Selanjutnya, aspek administratif menjadi cikal bakal fungsi perbendaharaan yang ada hingga sekarang dan UU 1/2004 menjadi landasan kuat dalam pelaksanaan APBN khususnya pembagian kewenangan Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) dan Kementerian Negara/ Lembaga selaku Pengguna anggaran. Adapun beberapa prinsip utama dalam aspek administratif UU 1/2004 yaitu
a. Clarity Of Role, yaitu kejelasan pemisahan kewenangan antara Menteri Keuangan sebagai pembantu presiden dalam bidang keuangan negara (Chief Financial Officer) yang bertanggung jawab atas pengelolaan asset dan kewajiban negara, sementara kewenangan Menteri Negara/Lembaga merupakan Chief Operational Officer dimana bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Adapun fungsi CFO ini diterjemahkan sebagai peran Treasurer yang dalam tatanan teknis dilakukan oleh KPPN sebagai salah satu kantor vertikal pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb).
b. Check and Balance, prinsip ini timbul akibat adanya konsekuensi pemisahan kewenangan antara Menteri Keuangan dengan Menteri Negara/Lembaga teknis. Prinsip ini digunakan untuk meningkatkan akuntabilitas dan menjamin terselenggaranya saling-uji.
c. Fungsi pengawasan keuangan di sini terbatas pada aspek rechmatigheid dan wetmatigheid dan hanya dilakukan pada saat terjadinya penerimaan atau pengeluaran yang dapat dijalankan salah satu prinsip pengendalian intern yang sangat penting dalam proses pelaksanaan anggaran, yaitu adanya pemisahan yang tegas antara pemegang kewenangan administratif (ordonnateur) dan pemegang fungsi pembayaran (comptable)
Berdasarkan uraian di atas, pelaksanaan prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan Negara baik dari sisi legal formal dan administratif tidak lepas dari hubungan antara lembaga khususnya Pemerintah sebagai pemegang kekuasaaan eksekutif dan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislative dan juga melibatkan BPK sebagai supreme auditor dalam pemeriksaan keuangan dan juga BUMN. Pada kenyataannya, lembaga-lembaga yang terkait dalam pengelolaan keuangan Negara juga melibatkan Pemerintah Daerah berdasarkan asas desentralisasi yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang pada intinya mengatur berbagai ketentuan yang terkait dengan upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun stressing point dalam UU HKPD ini mengatur mengenai dana Transfer ke Daerah antara lain berupa Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Lokasi Khusus dan Dana Desa yang mengambil porsi yang cukup besar dari keseluruhan APBN.
Dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pembagian kewenangan (urusan) antar tingkatan pemerintahan merupakan faktor yang sangat penting. Hal ini karena sentralisasi dan desentralisasi dalam suatu bangunan negara sangat ditentukan oleh seberapa jauh kewenangan (urusan) yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pendulum sentralisasi dan desentralisasi sangat ditentukan oleh cara dan jenis kewenangan yang dimiliki oleh setiap level pemerintahan. Adapun klasifikasi urusan pemerintahan adalah:
1) Urusan Pemerintahan Absolut (mutlak urusan pusat): yaitu: a) Pertahanan, b) Keamanan, c) Agama, d) Yustisi, e) Politik Luar Negeri, dan f) Moneter dan fiskal nasional berdasarkan asas dekonsentrasi;
2) Urusan Pemerintahan Konkuren (urusan bersama: pusat, provinsi, kabupaten/kota). yaitu urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan yang bersifat pilihan yang merupakan urusan yang mempunyai dampak ekologis yang serius hanya diotonomikan sampai ke daerah provinsi (kehutanan, kelautan, dan pertambangan) sehingga relatif mudah dikendalikan.
3) Urusan Pemerintahan Umum, merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan
Sebagaimana telah diuraikan diatas, terdapat 1 (satu) prinsip dari good governance yang dikemukakan oleh UNDP yaitu efektif dan efisien serta transparan. Dalam rangka mencapai tujuan bernegara yang mendasarkan pada prinsip-prinsip tersebut diperlukan langkah transformati dalam pengelolaan keuangan Negara dalam bentuk digitalisasi baik itu digitalisasi dari sisi penerimaan maupun belanja.
Untuk itu, perlu perbaikan dari sisi proses bisnis pengelolaan keuangan Negara yang memunculkan istilah Government Process Reengineering (GPR) yang berkonsentrasi pada penggantian proses melalui otomatisasi harus mempertimbangkan konektivitas dan interoperabilitas dengan proses lainnya. Hal terkait dengan digitalisasi ini tidak terbatas hanya terkait dengan pengelolaan keuangan Negara, namun juga terkait dengan digitalisi dalam organisasi kepemerintahan secara umum. Sehubungan dengan itu, Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan untuk menjadi legal basis digitalisasi yang salah satunya melalui program e-government dimaksud antara lain:
a. Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional e-Government
b. Peraturan Presiden Nomor 95 tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE)
c. Peraturan Presiden Nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia
d. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Mengutip sebuah tulisan dari Adrian Cadbury seorang penulis yang berasal dari Inggris “Corporate governance is concerned with holding the balance between economic and social goals and between individual and communal goals. The governance framework is there to encourage the efficient use of resources and equally to require accountability for the stewardship of those resources”, berdasarkan uraian diatas, prinsip Good Governance dalam manajemen keuangan Negara dari perpsektif legal formal, administratif yang mengedepankan akuntabilitas dan digitalisasi secara fundamental telah terpenuhi baik dari sisi normatif maupun teknis. Namun demikian, dari sisi implementatif semuanya bergantung pada faktor human resources dari sisi profesionalitas dan integritas dari pengelola keuangan Negara itu sendiri in person and on behalf their institution, sehingga dapat dicapai pelaksanaan manajemen keuangan Negara yang lengkap dan sempurna.
Penulis adalah Kepala KPPN Sidikalang