Scroll Untuk Membaca

Opini

Membangun Kewarganegaraan Bermoral Di Era Digital: Refleksi Pemikiran Marshall Dan Turner Untuk Indonesia 2025

Membangun Kewarganegaraan Bermoral Di Era Digital: Refleksi Pemikiran Marshall Dan Turner Untuk Indonesia 2025
Kecil Besar
14px

Oleh: Amilia Afriana

Menjadi warga negara di abad ke-21 bukan lagi sekadar persoalan berkewarganegaraan secara hukum, tetapi juga bagaimana seseorang memahami peran, tanggung jawab dan kontribusinya terhadap kehidupan bersama.

Di tengah gempuran globalisasi, revolusi teknologi dan transformasi sosial yang begitu cepat, konsep kewarganegaraan mengalami pergeseran makna yang mendasar. Bukan hanya tentang hak yang dimiliki, tetapi juga tentang bagaimana hak digunakan dengan penuh tanggung jawab.

Dalam konteks ini, teori kewarganegaraan yang dikembangkan Sosiolog besar, TH Marshall dan Bryan S. Turner menjadi penting direnungkan. Keduanya memberi kerangka berpikir tajam, bagaimana masyarakat membangun konsep kewarganegaraan yang adil, manusiawi dan bermoral.

Meski lahir dalam konteks sosial yang berbeda, pemikiran kedua sosiolog ini masih sangat relevan menjawab tantangan kewarganegaraan di era digital, terutama di Indonesia tahun 2025.

Meskipun dua teori ini lahir pada abad berbeda, tetapi ditemukan relevansinya abad ke-21.

Dikatakan Thomas Humphrey Marshall, Sosiolog Inggris terkait konsep kewarganegaraan modern melalui karyanya yang monumental, Citizenship and Social Class (1950) adalah status yang diberikan penuh kepada anggota masyarakat, di dalamnya terdapat tiga dimensi hak, sipil, politik dan sosial.

Hak sipil berkaitan dengan kebebasan individu, seperti berbicara, berpikir, beragama dan memperoleh keadilan. Hak politik mencakup partisipasi warga dalam pemerintahan baik, memilih atau dipilih dan hak sosial jaminan kesejahteraan, seperti pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial.

Tiga hak ini disebut berkembang secara historis, di mana hak sipil muncul abad ke-18, politik ke-19 dan hak sosial abad ke-20.

Ketiga hak itu bukan sekadar aspek legal, tetapi juga bagian dari proses evolusi sosial menuju masyarakat adil dan beradab. Kewarganegaraan bagi Marshall adalah mekanisme penyeimbang kesenjangan sosial akibat sistem kapitalisme. Tanpa jaminan sosial yang kuat, warga tidak akan benar-benar bebas berpartisipasi dalam kehidupan publik.

Dengan kata lain, bagi Marshall kewarganegaraan bukan hanya status, tetapi instrumen untuk menciptakan kesetaraan dan solidaritas dalam masyarakat.

Pandangan ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Pasalnya, kendati negara menjamin berbagai hak dasar melalui konstitusi, kenyataannya masih banyak warga belum merasakan keadilan sosial secara penuh.

Ketimpangan ekonomi, akses pendidikan belum merata dan rendahnya kesadaran politik menunjukkan bahwa hak-hak kewarganegaraan menurut Marshall belum sepenuhnya terwujud.

Sementara Turner mengatakan, dari hak menuju tanggung jawab dan solidaritas sosial. Turner muncul dengan perspektif yang lebih dinamis dan kritis terhadap konsep kewarganegaraan.

Dalam bukunya Outline of a Theory of Citizenship (1990), kata Turner, kewarganegaraan bukan hanya soal hak dan status hukum, tetapi juga praktik sosial dan moral yang mengikat warga satu sama lain.

Dikatakan, dunia modern yang diwarnai globalisasi dan neoliberalisme, sering kali hak-hak kewarganegaraan bersifat simbolik, dipahami sebatas dokumen hukum tanpa tanggung jawab sosial nyata.

Dia memperkenalkan konsep ‘citizenship as practice’, yaitu kewarganegaraan sebagai praktik kehidupan sehari-hari yang menuntut partisipasi aktif, solidaritas dan empati sosial.

Masyarakat yang baik menurut dia, tidak hanya menuntut hak, tetapi juga memikul tanggung jawab sosial. Turner mengkritik pandangan Marshall, terlalu fokus pada dimensi institusional dan mengabaikan dimensi moral kewarganegaraan.

Kata Turner, kewarganegaraan sejati muncul ketika individu berpartisipasi aktif menjaga kehidupan sosial yang adil dan harmonis.

Konteks ini menjadi sangat penting bagi Indonesia tahun 2025 karena di tengah era digital terbuka ruang kebebasan luar biasa, luntur solidaritas sosial.

Kebebasan berekspresi di media sosial misalnya, disalahgunakan menyebar kebencian, hoaks atau memperkuat polarisasi politik. Padahal Turner mengingatkan, jika kebebasan tidak disertai tanggung jawab, maka nilai-nilai kemanusiaan akan rusak.

Saat ini, dunia menghadapi disrupsi sosial dan moral yang luar biasa. Meski kemajuan teknologi dan media sosial membawa banyak manfaat, namun muncul tantangan baru, seperti krisis kepercayaan, solidaritas menurun dan budaya instan dalam berpendapat.

Teori Marshall dan Turner saling melengkapi. Marshall tekankan pentingnya hak sosial menjamin kesejahteraan bersama, Turner menyorot praktik sosial dan moral, ruh kewarganegaraan.

Dalam konteks Indonesia, kedua teori ini dapat menjadi landasan untuk memperkuat konsep kewarganegaraan moral dan digital. Negara harus menjamin akses keadilan sosial, lalu masyarakat dan individu perlu menumbuhkan kesadaran etis dan tanggung jawab.

Kewarganegaraan tidak bisa dipahami secara sempit, tetapi harus dilihat sebagai relasi dinamis antarnegara dan warga, antarhak dan kewajiban, antarkebebasan dan tanggung jawab.

Pertanyaan penting, bagaimana kedua teori ini diterapkan dalam konteks Indonesia yang sedang bertransformasi digital.

Jawaban yang pertama, negara pastikan hak-hak sosial warga dilindungi secara merata yang mencakup akses pendidikan yang adil, layanan kesehatan memadai dan perlindungan sosial bagi kelompok rentan.

Dalam era digital, hak sosial juga mencakup akses teknologi dan literasi digital. Tanpa akses yang setara, kesenjangan sosial akan semakin melebar.

Kedua, pendidikan direformasi. Sekolah dan universitas tidak boleh hanya mengajarkan teori konstitusi, tetapi juga praktik sosial, seperti menghormati perbedaan, memahami tanggung jawab digital dan mempraktikkan solidaritas dalam kehidupan nyata. Pendidikan harus melahirkan generasi cerdas, intelektual, beretika dan peduli.

Ketiga, masyarakat sipil dan media memiliki peran besar dalam membangun budaya partisipatif yang sehat. Media sosial menjadi ruang dialog dan kolaborasi, bukan pertikaian.

Di sini, teori Turner menjadi panduan moral, bahwa setiap tindakan di ruang publik dan dunia maya harus dilandasi kesadaran karena manusia bagian dari komunitas moral.

Sebagai warga yang hidup di tahun 2025, saya berpendapat, kita sedang mengalami krisis kewarganegaraan moral. Banyak warga memahami hak, tetapi lupa tanggung jawab. Vokal di media sosial, minim empati sosial.

Kita hidup pada zaman, bahwa kebenaran dikalahkan oleh popularitas dan keadilan sering tenggelam dalam hiruk pikuk opini publik.

Dalam situasi ini, pemikiran Marshall dan Turner bukan sebatas bahan akademik, tetapi juga panggilan moral. Marshall mengingatkan kita agar tidak melupakan dimensi keadilan sosial, bahwa negara menjamin kesejahteraan bersama.

Ditegaskan Turner, tanpa solidaritas dan tanggung jawab, kewarganegaraan hanya menjadi status kosong. Marshall dan Turner mengajarkan bahwa kewarganegaraan adalah proyek kemanusiaan, bukan sekadar kontrak hukum.

Maka, menjadi warga negara sejati tidak hanya melaksanakan kewajiban administratif, tetapi juga memperlakukan sesama manusia dengan empati dan keadilan.

Pada konteks digital, kewarganegaraan moral berarti menggunakan teknologi dengan etika. Menyebarkan kebenaran, bukan kebencian. Menggunakan suara untuk membangun, bukan meruntuhkan.

Menjadi warga digital yang bijak, menolak menjadi bagian arus kebohongan, memilih menjadi agen kebenaran dan solidaritas.

Penulis yakin, Indonesia akan menjadi bangsa yang besar jika warganya selain cerdas, juga bermoral. Akan bermanfaat teknologi jika disertai dengan kebijaksanaan yang melahirkan kesadaran moral.

Teori kedua sosiolog ini bisa dihidupkan dengan menyatukan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari. Soal kewarganegaraan bukan cuma urusan hukum atau administrasi, tetapi juga proyek sosial dan moral yang terus berkembang.

Marshall merumuskan kerangka keadilan sosial, sementara Turner membangkitkan jiwa solidaritas dan tanggung jawab. Jika keduanya diterapkan, bisa menjadi fondasi bagi Indonesia lebih beradab.

Negara harus menjamin hak-hak warga secara setara, di sisi lain warga harus menjaga moralitas sosial dan etika publik. Dalam dunia yang semakin digital, nilai-nilai ini harus dihidupkan agar tidak kehilangan arah sebagai bangsa.

Tahun 2025 seharusnya menjadi momentum untuk membangun kewarganegaraan yang bermoral dan berkeadilan. Kebebasan digunakan untuk kebaikan, teknologi untuk kemanusiaan dan kewarganegaraan untuk solidaritas.

Tanpa moralitas, kemajuan akan sia-sia dan tanpa solidaritas kewarganegaraan hanya kata tanpa makna. WASPADA.id

Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE