Oleh Suryo Adi Sahfutra
Salah satu tantangan terbesar dalam membangun komunitas epistemik di perguruan tinggi adalah menciptakan budaya dialog yang terbuka dan inklusif
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Masyarakat Sumatera Utara tentu boleh bangga dengan hadirnya kampus dengan akreditas Unggul. Terlebih kampus tersebut adalah kampus swasta yang menjadi penopang bagi banyak masyarakat yang membutuhkan pendidikan pada jenjang sarjana dan pascasarjana. Di kota Medan ada beberapa universitas dengan akreditasi Unggul, hal ini patut diapreasi, namun juga perlu diberikan catatan khusus. Catatan khusus ini bukan sebagai kritik semata melainkan sebagai pengingat bahwa tugas unversitas itu bukan hanya soal menghasilkan sarjana namun lebih dari itu ia memikul tanggung jawab pengembangan dan menjaga intelektualitas masyarakat agar terus mendapatkan ruang untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
Rocky Gerung memberikan penegas penting saat menghadiri kuliah umum di beberapa perguruan tinggi yang ada di Kota Medan, tentang arti pentingnya komunitas epistemik di perguruan tinggi. Mengapa ini penting, menurut Rocky, satu-satunya yang dapat menumbuhkan dan menjaga akal sehat para akademisi agar mampu berpikir secara kritis, sistematis dan holitik adalah tumbuh dan berkembangnya komunitas epistemik sebagai bagian dari kultur akademis.
Komunitas Epistemik
Perguruan tinggi (PT) memainkan peran yang sangat vital dalam membangun peradaban melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Namun, sering kali ada satu aspek fundamental yang kurang mendapat perhatian, yakni keberadaan komunitas epistemik di dalam ekosistem akademik. Komunitas epistemik merujuk pada kelompok individu yang terikat oleh minat bersama dalam pencarian dan produksi pengetahuan. Mereka memiliki visi, metodologi, serta keyakinan yang sama tentang bagaimana pengetahuan seharusnya dikembangkan dan disebarluaskan. Di lingkungan perguruan tinggi, komunitas epistemik bukan hanya sekadar forum diskusi ilmiah, melainkan menjadi pilar utama yang menjaga kelangsungan intelektualitas kampus. Komunitas ini terdiri dari akademisi, peneliti, dan mahasiswa yang berkolaborasi untuk menciptakan inovasi, menggali teori baru, serta mengkaji berbagai fenomena sosial dan ilmiah secara kritis.
Rocky Gerung, dalam berbagai kesempatan kuliah umum di Medan beberapa waktu lalu, termasuk salah satunya di Universitas Pembangunan Panca Budi, sering kali menekankan pentingnya komunitas epistemik di perguruan tinggi. Menurutnya, peran komunitas epistemik sangat krusial dalam membangun budaya berpikir kritis, yang merupakan inti dari proses pendidikan tinggi. Perguruan tinggi yang hanya berfokus pada pencapaian akademik mahasiswa tanpa membangun ekosistem dialog ilmiah akan menghadapi risiko stagnasi intelektual. Hal ini disebabkan karena pengetahuan bukanlah produk yang statis, tetapi selalu berkembang melalui proses diskusi, debat, dan pengujian teori-teori baru. Dalam konteks ini, komunitas epistemik menjadi agen perubahan yang menjaga agar pengetahuan tidak hanya sekadar diajarkan, tetapi juga terus diperbarui dan dikritisi.
Secara historis, konsep komunitas epistemik muncul dari studi internasional tentang kebijakan dan regulasi yang melibatkan para ahli dalam bidang tertentu. Namun, seiring waktu, istilah ini berkembang menjadi lebih umum dan diterapkan dalam konteks akademik untuk menggambarkan jaringan intelektual yang memfasilitasi pertukaran ide dan pengetahuan. Di perguruan tinggi, komunitas epistemik berfungsi sebagai ruang aman bagi para akademisi untuk bereksperimen dengan ide-ide baru tanpa takut akan kecaman yang tidak ilmiah. Dalam ruang ini, akademisi dapat mengajukan hipotesis yang kontroversial, melakukan penelitian yang inovatif, dan berdialog dengan kolega dari berbagai disiplin ilmu untuk mendapatkan wawasan baru. Dengan demikian, komunitas epistemik memberikan kontribusi yang signifikan dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan serta mendukung terciptanya iklim akademik yang dinamis.
Salah satu tantangan terbesar dalam membangun komunitas epistemik di perguruan tinggi adalah menciptakan budaya dialog yang terbuka dan inklusif. Di Indonesia, banyak perguruan tinggi yang memiliki potensi besar dalam hal ini, namun sering kali terhambat oleh birokrasi, struktur hierarkis, dan kurangnya insentif bagi dosen dan mahasiswa untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan komunitas ilmiah. Budaya akademik yang kaku dapat menghambat proses interaksi antar-disiplin ilmu yang seharusnya menjadi salah satu ciri utama komunitas epistemik. Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu merumuskan kebijakan yang mendukung pengembangan komunitas ini, termasuk dengan menyediakan ruang diskusi, seminar, dan lokakarya yang mendorong kolaborasi lintas disiplin. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap anggota komunitas merasa dihargai dan memiliki kesempatan untuk berkontribusi, tanpa memandang perbedaan latar belakang keilmuan.
Keberadaan komunitas epistemik juga memiliki relevansi yang besar dalam menghadapi tantangan era digital, di mana informasi menyebar dengan sangat cepat dan sering kali tidak diverifikasi dengan baik. Dengan maraknya fenomena hoaks dan disinformasi, komunitas epistemik berfungsi sebagai penyeimbang dengan menyediakan analisis yang berbasis data serta kajian empiris yang dapat diandalkan. Di sini, perguruan tinggi berperan sebagai benteng pertahanan terakhir yang memisahkan antara informasi yang valid dan yang menyesatkan. Melalui diskusi yang berbasis bukti dan penelitian yang rigor, komunitas epistemik membantu memfilter informasi yang masuk ke dalam ruang publik, sehingga dapat memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan literasi media dan berpikir kritis di kalangan masyarakat luas.
Komunitas epistemik di perguruan tinggi juga memainkan peran penting dalam pembentukan identitas akademik institusi. Perguruan tinggi yang memiliki komunitas epistemik yang kuat cenderung memiliki reputasi yang baik dalam bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Identitas ini bukan hanya dibentuk oleh prestasi akademik individu, tetapi oleh hasil kolaborasi yang mencerminkan kekuatan dan kekompakan komunitas ilmiah tersebut. Dalam hal ini, komunitas epistemik menjadi semacam “jiwa” perguruan tinggi yang tidak terlihat namun sangat berpengaruh dalam menentukan arah dan kebijakan akademik kampus.
Pembangunan komunitas epistemik yang kokoh di perguruan tinggi akan berdampak langsung pada kualitas lulusan yang dihasilkan. Lulusan yang terlibat aktif dalam komunitas epistemik selama masa studinya akan memiliki kemampuan berpikir kritis, analitis, serta keterampilan komunikasi yang lebih baik. Mereka tidak hanya memahami teori-teori dalam disiplin ilmu mereka, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menerapkannya secara kreatif dan reflektif dalam menghadapi permasalahan kompleks di dunia nyata. Dengan kata lain, keberadaan komunitas epistemik membantu mencetak lulusan yang siap menjadi pemimpin intelektual dan inovator di berbagai bidang.
Dengan memperkuat komunitas epistemik, perguruan tinggi dapat terus berkembang menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang berpengaruh serta relevan dengan kebutuhan zaman. Tidak hanya berperan sebagai penyedia pendidikan, perguruan tinggi dengan komunitas epistemik yang aktif juga menjadi tempat tumbuhnya gagasan-gagasan baru yang dapat memberikan solusi bagi tantangan sosial, ekonomi, dan budaya di masyarakat. Di sinilah terletak arti penting komunitas epistemik sebagai salah satu pilar utama yang mendukung perkembangan perguruan tinggi dan masyarakat secara keseluruhan.
Penulis adalah Dosen Departemen Ilmu Filsafat Universitas Pembangunan Panca Budi Medan, Mahasiswa Doktoral Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.