Scroll Untuk Membaca

Opini

Meminimalisir Hoaks Pada Pemilu 2024

Meminimalisir Hoaks Pada Pemilu 2024
Kecil Besar
14px

Oleh: Dr. Aminuddin, S. Sos, MA

HOAKS, populer menjelang ajang Pemilu 2024.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hoaks adalah sebuah informasi bohong. Kontennya berisi pemutarbalikan fakta menggunakan informasi yang seolah-olah meyakinkan akan tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Hoaks merupakan manipulasi berita yang sengaja dilakukan dan bertujuan untuk memberikan pengakuan atau pemahaman yang salah.

Sesuai dengan tujuannya, berita penyelewengan fakta membuatnya menjadi menarik perhatian. Pemilu amat rawan hoaks, apalagi di media sosial. Masyarakat Indonesia merupakan pengguna terbesar media sosial dan mereka rawan sekali terkena hoaks.

Perkembangan teknologi yang kian maju turut membawa konsekuensi pada penyebaran berbagai informasi. Apalagi sekarang semua orang bisa memanfaatkan Gadget dan internet dengan mudah. Kondisi inilah seringkali dimanfaatkan oknum tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan berita bohong atau hoaks.

Hoaks sengaja dibuat oknum tidak bertanggung jawab untuk mencapai tujuan tertentu dan mendapatkan keuntungan. Dampak berita hoaks bisa memunculkan adu domba, pencemaran nama baik, menjatuhkan seseorang atau golongan tertentu, menimbulkan keributan, dan lain sebagainya. Sehingga bisa menimbulkan kerugian bagi orang atau golongan.

Hoaks menjelang Pemilu menjadi ancaman serius bagi demokrasi Indonesia, sebab bisa menghancurkan kepercayaan masyarakat dan skeptis pada Pemilu. Jika hoaks tidak dicegah maka akan sangat berbahaya karena bisa memicu golput (golongan putih) dan Pemilu terancam gagal.

Dilangsir dari Kompas.id, bahwa Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mencatat sebanyak 441 hoaks politik muncul sejak Januari-Oktober 2022. Konten hoaks banyak menyerang figur potensial bakal calon presiden pada Pemilu 2024 dan penyelenggara pemilu. Tentu saja hal ini akan sangat berdampak perpecahan dan kekacauan di masyarakat. Untuk itu, edukasi politik dan kolaborasi verifikasi fakta perlu diintensifkan.

Faktor yang menjadi penyebab mengapa banyak berita hoaks satu diantaranya adalah terbatasnya pengetahuan mengenai dunia luar, keterbatasan berita yang didapat dan keterbatasan media untuk menerima berita tersebut. Faktor lainnya adalah malas membaca isi dari informasi. Kebanyakan hanya membaca judul beritanya saja. Sehingga langsung menimbulkan asumsi bahwa informasi itu benar. Banyak masyarakat yang sulit membedakan berita hoaks dengan berita benar juga disebabkan karena sering melihat berita tersebut muncul di media sosial sehingga malas untuk mencari kebenarannya lagi.

Untuk melek terhadap Hoaks, perlu diketahui Jenis-jenisnya yang banyak beredar, yaitu:
1. Satire atau parodi, yakni konten yang memang sengaja dibuat untuk menyindir dan mengkritik pihak tertentu. Banyak masyarakat yang serius menanggapi konten tersebut.

2. Misleading content (konten menyesatkan), dibuat untuk menjelek-jelekkan seseorang atau sesuatu. Hal-hal yang diangkat dalam konten tersebut juga dapat menyangkut satu orang maupun banyak orang dengan memanfaatkan informasi asli. Informasi-informasi itu bisa saja berupa pernyataan resmi, gambar atau foto, statistik dan lain-lain. Informasi tersebut akan diedit sedemikian rupa, sehingga informasi dengan konten yang akan dibuat tidak memiliki hubungan.

3. Imposter content (konten tiruan) yang diambil dari informasi yang benar. Contohnya seperti mengutip pernyataan tokoh yang terkenal atau berpengaruh. Konten jenis ini dibuat untuk mempromosikan sesuatu. Tujuannya untuk menipu. Contohnya seperti layanan suatu aplikasi. Banyak orang yang mengatasnamakan sebuah aplikasi untuk menipu. Mengikuti format penulisan hingga sapaan.

4. Fabricated Content (konten palsu) adalah jenis konten yang sangat berbahaya. Informasi-informasi yang ada juga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Fakta yang ada dalam informasi itu tidak benar. Contoh yang sering terjadi dalam jenis konten ini adalah informasi lowongan kerja. Mengatasnamakan suatu perusahaan atau lembaga, informasi lowongan kerja dibuat sampai mirip dengan aslinya.

5. False connection (koneksi yang salah), perbedaan antara isi konten, judul konten, hingga gambar konten. Konten-konten ini sengaja dibuat untuk mendapatkan sebuah keuntungan.
6. False context (konteks keliru), memuat informasi yang tidak benar. Contoh konten-konten seperti ini berisi sebuah pernyataan, video atau foto yang sudah pernah terjadi sebelumnya. Kemudian kejadian itu ditulis ulang dan tidak disesuaikan dengan fakta sebenarnya.

7. Manipulated content (konten manipulasi), sebuah konten yang sudah diedit dengan tujuan mengecoh para masyarakat yang membacanya. Kejadian seperti ini banyak dialami oleh media-media besar. Konten yang mereka buat akan diedit atau disunting oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Kemudian, di Indonesia sendiri, kerap ditemukan konten Hoaks di Media Sosial, seperti:

1. Hoaks virus, berkaitan tentang teknologi tentang penyebaran virus di smartphone, komputer, atau laptop.

2. Hoaks kirim pesan berantai, berisi tentang sesuatu yang harus diteruskan ke orang lain. Ada perintah dan mitos-mitos yang ditambahkan dalam pesan-pesan ini dan apabila tidak disebarkan maka akan sial. Biasanya terjadi di aplikasi chatting seperti WhatsApp atau BBM.

3. Hoaks Urban Legend, berisi tentang berita yang mengandung informasi seram di dalamnya dan terkesan keramat.

4. Hoaks mendapat hadiah, berisi tentang berita penerimaan hadiah gratis. Meskipun pembaca tidak mengalami kerugian materi tetapi mereka bisa tertipu dengan mengisi survey tertentu. Dampaknya akan semakin besar jika korban mengisi identitasnya secara lengkap.

5. Hoaks kisah menyedihkan, Hoaks ini berisi tentang kisah menyedihkan seseorang yang mengalami nasib buruk yang ujung-ujungnya minta bantuan dana.

6. Hoaks pencemaran nama baik, Hoaks ini banyak beredar di media sosial. Berisi tentang fakta-fakta mengenai seseorang yang diputar balikan. Dampak dari hoaks ini adalah tercemarnya nama seseorang. Poin terakhir ini hemat penulis banyak didapati tatkala menjelang kampanye Pemilu.

Lalu, siapa yang menjadi korban Hoaks?

Generasi millenial adalah yang paling rentan terhadap hoaks. Berdasarkan hasil survei We Are Social di tahun 2017, 18 persen pengguna media sosial berusia 13 sampai 17 tahun, yang merupakan usia pelajar. Berita hoaks atau bohong di jagat maya seringkali berdampak langsung pada kehidupan nyata.

Misalnya saja aksi kekerasan antar kelompok atau pun hancurnya reputasi seseorang, lembaga, ataupun partai politik. Untuk itu, generasi millenial harus diberikan sosialisasi akan bahaya dari penyebaran berita hoax itu sendiri.

Hukum Indonesia memiliki Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Pasal 28 jis Pasal 45 ayat (2) bahwa “orang yang menyebarkan berita bohong, menyesatkan, dan menimbulkan rasa kebencian maupun permusuhan dapat dipidana penjara paling lama enam tahun”.

Kemudian disebutkan pula pada Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) “melarang: Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”

Bagaimana Agar Tidak Tercebur Hoaks?

1. Cermat terhadap judul provokatif. Berita hoaks seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki sang pembuat hoaks.

2. Verifikasi alamat situs. Berita yang berasal dari situs media yang sudah terverifikasi Dewan Pers akan lebih mudah diminta pertanggungjawabannya.

3. Cermati fakta. Perhatikan dari mana berita berasal dan siapa sumbernya? Apakah dari institusi resmi seperti KPK atau Polri? Perhatikan juga keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh.

4. Cek keaslian foto/video. Cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.

5. Berpikir secara kritis. Ketika mendapatkan sebuah berita atau informasi, cobalah untuk berpikir kritis. Jangan langsung menelan mentah-mentah berita yang ada. Cermati dulu isi berita serta kelogisan dari beritanya.

6. Jangan langsung membagikan. Ketika menerima suatu informasi atau berita, jangan langsung membagikannya. Terlebih jika belum mengetahui apakah berita yang didapat benar atau tidak.

7. Bergabung dalam grup diskusi anti hoaks melalui grup-grup di media sosial. Akan lebih mudah mendapatkan berita atau informasi hoaks atau bukan. Di Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti-hoax, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci. Bisa juga melaporkan apabila menemukan konten di media sosial yang berisi berita bohon atau hoax, ujaran kebencian atau SARA serta radikalisme atau terorisme dengan cara screen capture disertai URL link, kemudian mengirimkan data ke [email protected]. Kiriman aduan segera diproses setelah melalui verifikasi. Kerahasiaan pelapor dijamin dan aduan konten dapat dilihat di laman web trustpositif.kominfo.go.id.

Menangkal Hoaks Menjelang Pemilu 2024

Pada pemilihan umum 2024, masyarakat wajib untuk mewaspadai penyebaran hoaks karena bisa berpotensi mengobarkan permusuhan. Provokator sengaja membuat hoaks dan propaganda agar rakyat Indonesia terpecah-belah, sesuai dengan keinginan mereka.

Untuk mengatasi masalah penyebaran berita bohong, dibutuhkan upaya kolaboratif dari semua pihak terkait. Seperti Bawaslu bersama Polri, KPU, , KPI, PWI dan Dewan Pers. Hal ini bisa dilakukan melalui kampanye edukasi dan sosialisasi yang terus-menerus untuk meningkatkan kesadaran publik tentang bahaya hoaks dan pentingnya berpikir kritis dalam menyikapi informasi.

Langkah yang dilakukan yaitu: Pertama, lembaga penyiaran dan media massa harus memastikan bahwa informasi yang disajikan akurat dan berimbang. Kedua, pemerintah dan penyelenggara pemilu harus memperkuat mekanisme pengawasan dan penindakan terhadap penyebar hoaks. Ketiga, masyarakat perlu teredukasi dan diberdayakan untuk menjadi sumber informasi yang kredibel dan bertanggung jawab dalam menyebarkan informasi.

Masyarakat wajib menyadari bahwa salah satu cara melawan hoaks adalah dengan melaporkan akun media sosial yang menyebar berita/gambar palsu tentang Pemilu 2024. Klik saja tanda ‘report this account’ dan pihak Facebook dan Instagram akan membaca laporan tersebut. Jika terbukti hoaks, maka akunnya akan dibekukan.

Dengan adanya upaya kolaboratif ini, semoga dapat meminimalisir dampak negatif dari penyebaran hoaks selama masa kampanye dan Pemilu terselenggara dengan adil dan transparan.

(Penulis Anggota Bawaslu Kabupaten Deli Serdang)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE