SEJAK Pilkada langsung (bukan dipilih DPRD), tidak ada pasangan calon (Paslon) gubernur dan wakil gubernur dari PDI-P yang mendaftar di daerah.
Paslon Tri Tamtomo- Benny Pasaribu (2008), Paslon Effendi MS Simbolon-Djumiran Abdi (2013), dan Paslon Djarot Saiful Hidayat-Sihar PH Sitorus (2018) sama sekali tidak mengikuti proses penjaringan dan penyaringan di Sumatera Utara (Sumut). Maka, jika Ahok belum mendaftar di Sumut itu hal biasa, dan lumrah.
Ide mengajukan nama Ahok sebagai calon gubernur (Cagub) di Sumut berangkat dari kebutuhan masyarakat. Sumut pasca Pilkada langsung, belum pernah dipimpin sosok yang luar biasa.
Selain beberapa berakhir sebagai terpidana korupsi, sebagian lagi tidak punya prestasi. Sementara Sumut sebagai provinsi “miniatur Indonesia”, dan provinsi dengan penduduk terbesar di luar pulau Jawa butuh pemimpin yang kuat.
Kompleksitas persoalan Sumut harus dihadapi oleh pemimpin yang hanya perlu takut kepada Tuhan. Pemimpin yang pro masyarakat, dan tidak lagi mencari kemegahan dan kemewahan bagi dirinya.
Pemimpin yang tidak memiliki keluarga, kerabat, dan kelompok yang akan memengaruhi jabatan gubernur. Maka dibutuhkan sosok yang tidak berkaitan dengan semua akar dan sumber masalah di Sumut, baik mafia, preman, dan “kelompok hitam”.
Sosok yang memenuhi seluruh kriteria pemimpin Sumut ada pada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan profil sebagai berikut:
Pertama, bahwa Ahok menjadi Cagub Sumut dengan pengalaman paripurna, melewati Pemilu. Ahok pernah menjadi Anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur, Bupati Belitung Timur, Anggota DPR RI, Wakil dan Gubernur DKI Jakarta.
Kedua, bahwa Ahok adalah sosok yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ahok bersih dari praktik korupsi dalam semua jabatan publik, dari Anggota DPRD hingga Gubernur.
Ketiga, bahwa Ahok tidak berkaitan dengan berbagai persoalan yang ada di Sumut seperti Cagub lainnya. Ahok tidak akan pernah bermasalah hukum atas tata kelola pemerintahan sebelumya di Sumut.
Keempat, bahwa Ahok berani melawan preman dan mafia, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Ahok tidak memiliki rasa takut karena bersih dalam semua jabatan publik.
Kelima, bahwa Ahok berhasil merangkul para jawara dan preman, lalu dijadikan mitra kerja pemerintah sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Keenam, bahwa Ahok memberi harapan kepada masyarakat yang rindu akan pemimpin yang bersih, berintegritas, kuat. Ahok menunjukkan bahwa kata dan lakunya sama.
Ketujuh, bahwa Ahok sebagai Cagub Sumut pasti tidak akan menggunakan politik uang dan sembako dalam Pilgub. Ahok hanya akan memberi dirinya untuk masyarakat.
Kedelapan, bahwa Ahok adalah orang biasa, bukan anak, menantu, atau cucu “orang besar”. Ahok tidak memikul beban dari dan untuk keluarganya.
Maka jika akhirnya Ahok ditugaskan oleh Ketum DPP PDI-P, Megawati Soekarno Putri sebagai Cagub Sumut, itu semata- mata demi masyarakat Sumut.
Ahok tidak mencari jabatan dan kekuasaan, hingga tidak perlu mengambil formulir dan mendaftar sebagai Cagub di partai. (Penulis Fungsionaris PDI-P)