Opini

Mengapa Harus Begal?

Mengapa Harus Begal?
Kecil Besar
14px

Oleh Feri Irawan, SSi.,MPd

Salah satu faktor yang menjadi pendorong lahirnya begal adalah budaya konsumerisme dan gaya hidup materialis masyarakat. Faktor lainnya, pandangan sosial masyarakat, dampak berita atau tontonan film, game pada media massa dan media elektronik, cara berpikir serba instan, sampai keluarga yang broken home

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Beberapa pekan terakhir ini di media social dan media cetak dipenuhi berita tentang begal. Saya sendiri nyaris menjadi korban pembegalan saat berpergian ke suatu kota. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “begal” berarti penyamun, “membegal” merampas di jalan atau menyamun dan “pembegalan” artinya proses, cara, perbuatan membegal; perampasan di jalan; penyamunan.

Pembegalan adalah sebuah aksi merampas di tengah jalan dengan menghentikan pengendaranya. Begal merupakan bentuk penyimpangan sosial sekunder karena penyimpangan ini sudah tidak dapat diterima oleh masyarakat karena merugikan dan membahayakan.

Biasanya, pembegalan terjadi di jalanan yang jauh dari keramaian, perampok, penyamun, penggarong. Maraknya aksi begal dan geng motor di jalanan yang meresahkan masyarakat membuat saya merasa sangat jengkel dan prihatin. Para pelaku tidak saja melukai korban, tapi juga merampas harta benda, hingga merenggut jiwa.

Parahnya, fenomena begal motor dan perbuatan kriminalitas sejenisnya yang terjadi di sekitar kita, pelakunya mayoritas remaja sekitar 17 sampai 20 tahun yang seharusnya masih dalam jenjang sekolah. Sangat disayangkan memang, mereka ini masih termasuk dalam kelompok anak yang masih labil kepribadiannya dan masih dalam tahap pencarian jati dirinya. Idealnya tugas mereka belajar dan tetap berapa di lingkungan yang kondusif dan sehat, bukan lingkungan yang buruk penuh dengan hal-hal yang mengarah kepada tindakan kriminalitas.

Lalu, separah itukah negeri kita? Apakah tidak ada pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan yang tegas dan efektif terhadap para pelaku kejahatan, terutama mereka yang telah berulang kali melakukan tindakan tersebut? Atau bila perlu mengambil langkah ekstrem, menembak mati para begal, sebagai tindakan dalam rangka memberikan efek jera kepada para pelaku dan mencegah terjadinya tindakan kriminal serupa di masa mendatang.

Masih segar dalam ingatan kita, kejadian tragis yang menimpa Insanul Anshori Hasibuan, seorang mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), menjadi korban begal saat hendak membeli makanan di Kecamatan Medan Timur, Rabu (14/6/2023). Teranyar, dua perempuan asal Desa Siompin Kecamatan Suro Makmur Kabupaten Aceh Singkil, Supriani Gultom, 26 dan Desi Cibro, 27, nyaris jadi korban pembegalan, Jumat (14/7/2023) malam.

Dua kasus di atas dan kejadian serupa lainnya semakin memperkuat urgensi penanganan masalah ini, serta mengingatkan kita tentang pentingnya peningkatan keamanan dan langkah-langkah preventif yang lebih efektif dalam menghadapi ancaman kejahatan jalanan. Jika tidak, jangan salahkan masyarakat yang menjadikan hukum social sebagai “pengadilan jalanan” (street justice) yang harus diterima para begal sadis tersebut.

Menurut Marwan Mas guru besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar dalam tulisannya berjudul “Ketika Begal Diadili Masyarakat,” masyarakat tidak boleh dibiarkan secara sendirian menolong diri sendiri terhadap kejahatan yang mengintainya sebab bisa berbias arah jika ‘massa’ yang bergerak. Maka itu, kepolisian harus selalu hadir di tengah-tengah masyarakat untuk bersinergi menjaga keamanan dan kenyamanan.

Jika jam operasi begal ini jelas di kisaran dini hari, seharusnya bisa dilakukan untuk mempersempit “jam kerja” mereka. Jika pun daerah operasi mereka bisa ditebak di daerah seperti apa, patroli bisa dilakukan untuk menihilkan aksi mereka. Ekpektasi ini bukan tanpa alasan. Masyarakat butuh ketenangan. Masyarakat pun semakin berharap bahwa pihak berwenang akan bekerja sama dengan baik untuk memberikan perlindungan yang maksimal bagi warganya.

Apalagi perilaku yang tidak sesuai dengan nilai kesusilaan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan, agama, maupun secara individu ini kerap membuat warga meninggal dunia dan tak jarang dilakukan terhadap orang orang yang sama.

Faktor Pendorong

Menurut Jamal Wiwoho salah satu faktor yang menjadi pendorong lahirnya begal adalah budaya konsumerisme dan gaya hidup materialis masyarakat. Faktor lainnya, pandangan sosial masyarakat, dampak berita atau tontonan film, game pada media massa dan media elektronik, cara berpikir serba instan, sampai keluarga yang broken home. Berikutnya, faktor bullying, kondisi perekonomian yang kurang baik, lemahnya pengawasan social, sampai banyaknya pengangguran.

Mengutip IS Susanto dalam “Kriminologi” (2011), dalam perspektif kriminologi, faktor ekonomi mempengaruhi pelaku melakukan kejahatan begal. Selain itu, faktor lingkungan sosial pelaku, Tempat Kejadian Perkara (TKP), peniruan kejahatan begal di wilayah lain (termasuk peran media), dan masih adanya penadah.

Sementara Sosiolog dan Kriminolog berpendapat maraknya pembegalan bisa dikarenakan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan sosial, pemahaman keagamaan minim, maraknya film-film kekerasan yang mudah dan murah didapatkan, serta terbatasnya lapangan kerja untuk lapisan masyarakat bawah yang akhirnya membuat banyak masyarakat tidak dapat bekerja (pengganguran).

Faktor-faktor penyebab munculnya perilaku begal motor pada remaja, menurut Kumpfer dan Alvarado adalah sbb: 1. Kurangnya sosialisasi dari orangtua ke remaja mengenai nilai-nilai moral dan sosial. 2. Contoh perilaku yang ditampilkan orangtua (modeling) di rumah terhadap perilaku dan nilai-nilai anti sosial. 3. Kurangnya pengawasan terhadap remaja (baik aktivitas, pertemanan di sekolah ataupun di luar sekolah, dan lainnya). 4. Kurangnya disiplin yang diterapkan orangtua pada remaja. 5. Rendahnya kualitas hubungan orangtua-remaja. 6.

Tingginya konflik dan perilaku agresif yang terjadi dalam lingkungan keluarga. 7. Kemiskinan dan kekerasan dalam lingkungan keluarga. 8. Remaja tinggal jauh dari orangtua dan tidak ada pengawasan dari figur otoritas lain. 9. Perbedaan budaya tempat tinggal remaja, misalnya pindah ke kota lain atau lingkungan baru. 10. Adanya saudara kandung atau tiri yang menggunakan obat-obat terlarang atau melakukan kenakalan remaja.

Penanggulangan Aksi Begal

Perilaku yang menyimpang yang dialami oleh remaja ini dapat dicegah dari dini, namun dalam proses untuk memperbaiki karakter remaja yang sudah terlanjur terjerumus dalam perilaku menyimpang ini, rasanya sulit untuk diperbaiki tapi bisa. Juga dibutuhkan beberapa komponen masyarakat dalam memperbaikinya, baik LSM, orang tua ataupun pemerintah setempat. Untuk mencegah kasus anak dari tindakan yang merugikan orang lain, peran orangtua sangat penting.

Terlebih bagi anak laki laki yang juga harus mendapatkan arahan dan bimbingan dari sang ayah. Dalam hal ini, dibutuhkan peran ayah untuk memberikan arahan agar anaknya tidak tergilincir kepada tindakan yang dapat merugikan orang lain. Atau kalau tidak, anak akan merasa asing dalam keluarga hingga ia mencari sesuatu yang membuatnya mendapatkan perhatian dari caranya sendiri.

Sebagai penutup tulisan ini, penulis menghimbau kepada kita semua untuk tetap selalu waspada, sebab kriminalitas selalu mengintai siapapun, dimanapun dan kapanpun.

Penulis adalah Kepala SMKN 1 Jeunieb dan Ketua IGI Daerah Bireuen.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE