Mengenang Anak Dan Istri Yang Hilang Dihempas Tsunami 19 Tahun Lalu

  • Bagikan
Mengenang Anak Dan Istri Yang Hilang Dihempas Tsunami 19 Tahun Lalu

Oleh : Tabrani Yunis

Pagi itu, Minggu 26 Desember 2004, pada jam 07.00 aku sudah selesai mandi. Lalu mengenakan pakaian kesukaanku t.shirt dan jeans hitam dengan sepatu hitam yang kubeli tahun 2003 lalu di Medan. Seusai berpakaian sedikit rapi, tiba-tiba aku teringat akan pesan temanku untuk membawa STNK mobil yang dibeli dari tetanggaku yang tinggal persis di depan rumahku. Aku tidak langsung menuju ke rumah tetanggaku. Tapi aku pagi itu menghidupkan tape recoder merek Sony yang kubeli dari sahabat karibku Taufan. Tape itu menjadi kebanggaanku, karena tape itu kubeli sebelum aku menikah. Ya, kala aku masih duduk di semester 6 di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala.

Pagi itu, aku menghidupkan radio yang sedang memutar lagu-lagu barat kesayanganku. Tidak seperti biasanya, pagi itu suara tapeku sangat keras, hingga menggetarkan telinga tetanggaku. Aku betul-betul menikmatinya.
 
Ya, sambil mendengar hentakan lagu-lagu barat tersebut, aku melangkah ke luar pintu dan menoleh ke rumah tetanggaku yang seharian bekerja sebagai dosen di FKIP Unsyiah. Aku teringat untuk mengambil STNK mobil temanku. Tanpa menunda-nunda, selagi teringat, aku berjalan menuju rumah tetangga. Kebetulan saat itu ia ada di kamar. Aku mengucapkan salam. Dan pak Nasir keluar sambil menjawab salam ku. Ia mempersilakan aku masuk. Akupun melangkah masuk sambil bertanya di mana STNK. Pak Nasir pun mengambil STNK dan memberikan padaku.
 
Betapa kagetnya aku, tatkala aku berada di depan pintu rumahnya pak Nasir, aku merasa ada guncangan yang sangat dahsyat. Dari mulutku langsung terucap, Lailahailallah, Lailahailallah. Mulutku terus mengucapkan nama Allah. Semua orang yang berhamburan ke luar rumah dalam ketakutan sembari menyebut nama Allah. Aku melihat istriku lari keluar rumah. Ia bertanya di mana anak-anakku Albar dan Amalina. Aku tidak tahu di mana mereka.

Aku berjalan merangkak menuju arah belakang rumah untuk mencari anak-anakku. Aku benar-benar tidak bisa berdiri, karena guncangannya sangat kuat. Aku terduduk sambil tengkurap di tengah jalan. Dari situ aku mencoba melihat-lihat di mana anak-anakku. Mereka tidak ada. Aku hanya melihat keluarga pak Anis, sedang duduk tengkurap di jalan. Aku melihat pagar rumah pak Anis hampir jatuh. Beberapa menit kemudian, gempa pun berhenti. Aku kembali ke rumah mencari anak-anakku. Tiba-tiba mereka pulang. Rupanya, mereka ketika gempa sedang berada di dekat sekolah TK tempat anakku yang kecil, Amalina bersekolah. Tanpa ada rasa takut sedikit pun anakku Amalina berkata “Yah, tadi adek lihat air dekat TK, berombak keras sekali”. Aku kemudian melihat anak laki-lakiku Albar juga datang menceritakan seperti adiknya. Aku coba memarahinya sedikit. Tapi Pak Nasir melarangku. Katanya, pak, jangan dimarahi dia. Mungkin dia juga terkejut. Akupun mengajak istriku masuk ke rumah.
 
Tatkala aku dan istriku masuk ke rumah, aku melihat dispenser yang kami letakkan di ruang makan, terjatuh. Lantai basah. Aku bertanya dari mana datangnya air. Rupanya, tidak kusangka air itu tumpah dari gallon aqua yang jatuh dari dispenser. Tanpa menunggu lama, aku mengambil kain dan sapu untuk mengeringkan lantai yang basah. Tak lama kemudian, tatkala aku dan istriku mengeringkan lantai, mobil angkutan Mithsubishi L-300 datang menjemputku. Tepat di depan gerbang masuk ke rumahku, mobil itu berdiri. Aku melihat seorang bocah kecil berkulit putih yang kukenal namanya Ikul, turun dari mobil. Ia datang bersama pamannya yang menyopiri mobil itu untuk menunjukkan rumahku.
 
Mobil L-300 warna biru muda itu berdiri tepat di depan pintu gerbang rumahku. Sementara aku dan istriku, Salminar sedang di ruang makan, mengeringkan lantai setelah gallon air di dispenser tumpah. Aku membantu istriku. Namun, karena mobil L-300 sudah datang menjemputku, aku harus pergi, tanpa teringat apa yang akan terjadi bila aku berangkat. Saat itu aku bersalaman dengan istri dan kucium sebagai ungkapan perpisahan. Dan di pintu gerbang, anakku Albar dan Amalina datang menghampiri. Kudengar dari mulut mereka, ayah pulang kampung. Mereka kucium dan kusalami.

Sebuah kata yang selalu terngiang di telingaku hingga saat ini adalah pertanyaan anakku Amalina. Ia bertanya dengan kocaknya, “ Ayah kapan pulang?”. Dari dalam mobil L-300, aku menjawab, “besok nak”.
 
Mobil L-300 melaju menuju blok F untuk mengantar Ikul. Di depan rumah Ikul, yang masih TK itu turun menuju rumahnya. Ia berpesan padaku, pakwa selamat dan hati-hati ya. Ia turun dan aku serta sopir menuju keluar kompleks. Aku melihat dinding penjara yang terletak di pinggir jalan antara Kajhu dan Cot Paya itu sudah rebah. Aku hanya bisa berucap, kuat sekali ya gempa tadi.
 
Dalam waktu lima menit aku di dalam mobil, aku singgah di kantor CCDE saat itu beralamat di jalan Laksamana Malahayati Km.8. Kajhu, Kecamatan Baitussalam. Aku turun dari mobil, membuka pintu untuk mengambil buku-buku yang kubawa pulang dari Jakarta pada tanggal 20 Desember 2006. buku-buku tersebut akan kuantarkan ke Taman Bacaan Iqra di Manggeng, Aceh Barat Daya. Kuangkat dua kardus buku bersama sopirnya, Agus, Pak wanya Ikul.

Saat itu, tiba –tiba perutku merasa sedikit mules. Akupun masuk ke kamar mandi, namun tidak lama, mungkin karena trauma dengan guncangan gempa tadi, aku keluar menuju mobil sambil menutup dan mengunci pintu. Akupun lalu naik ke L-300 meluncur ke arah kota Banda Aceh.
 
Di tengah jalan, aku melihat orang-orang masih banyak berdiri di luar rumah. Dalam perjalanan antara kantor dan kota tersebut, di pikiranku muncul sebuah kalimat, Ya Allah, kalau nanti datang gempa lagi, bagaimana ya nasib anak-anak dan istriku ? Pertanyaan itu muncul tiba-tiba. Tetapi kami terus meluncur. Aku tidak melihat ada tanda-tanda bakal datang bencana tsunami yang memilukan itu. Walau sebenarnya ketika mobil melewati jembatan Krueng Cut, kulihat langit hitam di laut menutupi pulau Weh, Sabang. Kala itu hatiku berkata, kalau nanti gempa lagi, bagaimana ya anak-anak dan istriku?
 
Mobil yang kutumpangi terus melaju ke arah Lamnyong. Setiba di Lam Gugob, persisnya dekat masjid Lam Gugob, mobil L-300 yang kutumpangi berhenti mengambil penumpang lain yang mau pulang ke Manggeng. Saat itu, gempa kedua terjadi lagi. Tetapi tidak sekeras apa yang terjadi di waktu pagi. Kala itu, para penumpang itu merasa ragu untuk pulang. Mereka berkata, kita tunda saja pulangnya. Sementara dari arah Lamnyong, orang-orang mulai berlarian sambil berteriak. Mereka berteriak, air naik, air naik. Aku merasa bingung. Air dari mana?  Karena tidak ada hujan di pagi itu.
 
Melihat semakin ramai orang yang berlarian dan ketakutan, aku meminta semua mereka untuk naik ke mobil dan meninggalkan tempat itu. Mobil tiba-tiba saja penuh dengan penumpang. Wajah-wajah mereka ketakutan dan sambil menangis. Aku meminta mereka tenang. Kami menuju daerah Ulee Kareng. Di tengah jalan, aku teringat akan seorang teman. Maka, aku meminta sopir mengantarkan aku ke rumah teman tersebut. Sang sopir mengantarkanku ke rumah teman itu, Yatasrif, teman sekampung dan juga teman sekolah sewaktu di SMP di Manggeng. Aku melihat dia dan keluarganya berada di depan pintu gerbang menghidupkan mobil Kijang kapsulnya. Aku langsung berkata, aku minta pinjam sepeda motor untuk melihat anak dana istriku di rumah. Ia memberikan kunci, dan aku mengendarai sepeda motor itu dalam keadaan terburu-buru. Aku menuju daerah Lam reung, mau melewati jembatan Lam Nyong. Namun, tiba-tiba aku melihat air di tengah jalan. Aku berbalik mencari jalan lain. Aku pun menuju ke arah sungai.

Betapa terkejutnya aku saat itu, aku melihat orang-orang berlari, sapi, kambing dan binatang-binatang lain berlarian. Di dalam sungai kulihat arus air begitu tajam. Aku menuju ke kanan, ke arah jembatan Cot Iri dan terus melewati daerah kampus Abul Yatama. Aku tidak ingat berapa lama waktu yang kuhabiskan di perjalanan. Setiba di Lambaro Angan, aku tidak melihat air. Tetapi setibanya aku di Miruek Taman, dekat masjid, aku melihat batas air. Aku merasa kaget. Lalu, aku menuju sebuah rumah yang menurutku aman untuk kutitipkan sepeda motor. Di rumah itu kutitipkan semua yang ada di tanganku termasuk uang dan HP.
 
Tiba-tiba, seorang teman ku, Hamdani yang juga penduduk di komplek Pola datang. Rumahnya tidak begitu jauh dari rumahku. Ia mengajak aku masuk ke kompleks Pola Yasa, kawasan rumahku. Namun, air dan gelombang masih sangat tinggi. Kami tetap mencoba masuk dan melawati jalan yang penuh air. Aku tidak sadar kalau sepanjang jalan itu penuh dengan puing -puing bangunan yang sangat membahayakan. Air begitu hitam dan bisa mematikan ikan. Aku melihat masih banyak orang yang masih menyelamatkan diri atau terlempar di atas atap rumah. Aku menyaksikan banyak mobil yang tenggelam dalam air. Juga masih banyak orang yang juga tetanggaku yang selamat di pohon-pohon. Aku mencoba membantu menurunkan mereka dari pohon-pohon itu.

Aku pada saat itu hanya bisa sampai ke rumah besar, milik Toke Leman, di Lam Seunong. Aku tidak bisa menembus puing-puing yang masih tinggi airnya menuju rumah. Hatiku sangat terhenyuh tatkala melihat dari jauh, rumahku sudah tidak ada. Ya, sudah dihempas gelombang tsunami yang begitu dahsyat. Aku berusaha mencari istriku Salminar dan kedua anakku Albar dan Amalina. Aku berteriak-teriak memanggil mereka. Aku tidak mendengar suara mereka. Aku menjerit sekuat-kuatnya, namun tidak ada satu pun yang kutemukan. Sementara di tangga rumah Toke Leman, aku melihat mayat yang tergeletak. Di lantai dua aku melihat ada yang sudah cedera, patah kaki dan luka lainnya. Mereka minta aku membantu membawa mereka keluar dari tempat itu. Aku benar-benar tidak mampu, karena tubuhku sudah sangat lemas, apalagi paginya tidak sempat sarapan pagi.

Banyak yang minta bantu, tapi aku tak sanggup membantu. Aku pun harus mencari istri dan anakku yang belum kutemukan. Waktu sudah menunjukan pukul 1 siang. Sengatan matahari begitu tajam. Aku keluar menuju Lambaro Angan. Hati semakin kacau ketika melihat mayat-mayat yang sulit diidentifikasi berderet panjang di halaman masjid. Aku mencoba mengamati mayat itu, tak dapat kukenal. Aku terus memanggil -manggil anak dan istriku, tetapi tetap tidak berhasil kutemukan.

Badan sudah semakin lelah dan perut pun semakin lapar. Ingin membeli makanan, tidak ada warung yang terbuka. Apalagi gempa susulan terus menerus mengguncang bumi. Aku semakin kehilangan asa, namun terus mencari dan mencari sambil memanggil mereka dan menangis. Aku menyesali, mengapa aku meninggalkan mereka. Aku sangat menyesal, namun tetanggaku yang selamat dari hempasan gelombang tsunami berkata, Pak Tab, kalau pun Pak Tab ada bersama mereka, Pak tidak mampu menyelamatkan mereka. Benar memang, gelombang itu maha dahsyat. Bayangkan saja, bangunan -bangunan besar bisa rata dengan tanah, apalagi badan kita yang beratnya hanya 60 kg?
 
Gempa susulan terus mengguncang-guncang dan membuat kita semakin takut dan berusaha lari mencari tempat yang aman. Sementara anak dan iştri masih belum ditemukan. Akü terus menangis dan memanggil- manggil anak dan istriku. Sambil terus berjalan dan mencari mereka. Dalam perjalanan itu aku menguatkan diri dengan berserah diri kepada Allah. Akü mengucapkan bahwa anak-anak, istriku, hartaku, bahkan diriku, bukan lagi milikku. Semua itu milikMu ya Allah. Berkalı-kali kuucapkan itu, agar aku tetap tegar menghadapi cobaan Allah ini.

Pada hari itu juga, aku tersentak dan sadar sembari berujar. Ya Allah. Hari ini aku kembali sendiri lagi, kembali ke nol lagi. Namun terjadi pergulatan dalam pikiranku. Aku berkata tidak. Ya, aku tidak kembali sendiri, tidak kembali ke nol. Benar Ya Allah. Andai hari ini, aku yang kau ambil, maka kedua anakku, Albar dan Amalina lah yang berangkat dari nol dan sendiri, karena mereka belum punya banyak teman, belum banyak ilmu dan ketrampilan hidup. Memang sangatlah benar.

Kedua ungkapan itu adalah ungkapan yang memberikan aku energi dan spirit untuk melanjutkan hidup, karena ketika aku kehilangan semua yang aku cintai, Allah memberikan aku jalan dan spirit untuk bangkit dari keterpurukan. Bangkit untuk membangun kehidupan yang lebih baik, Jalan untuk move on, karena hidup masih harus berlanjut. Ya, the life must go on.

Hari semakin sore, azan Magrib segera menggema. Aku mencari tempat di mana bisa tidur, beristirahat. Aku ke masjid Kampus Darussalam yang penuh sesak dengan orang dan dekat masjid juga banyak mayat yang dikumpulkan di atas rumput. Aku tak sanggup menyaksikannya dan akhirnya aku mencari tempat lain, ke arah bandara Blang Bintang dan melihat sebuah masjid yang juga penuh dengan orang yang membutuhkan tempat tidur. Aku masuk ke komplek masjid dan duduk di bawah pohon depan masjid. Aku diberikan makan, sepiring nasi tanpa ada lauk dan garam. Nasi terasa hambar dan aku harus makan. Lalu ketika mata semakin mengantuk, kurentangkan badan di lantai masjid dengan harapan bisa tidur, namun tangisan anak-anak, menambah kesedihanku. Aku ikut menangis dan menyebut-nyebut nama anakku. Terlalu berat ujian ini ya Allah. Namun aku harus tabah menerima dan menjalaninya. Aku kembali ke bawah pohon dan kuambil mantel hujan di sepeda motor, kupakai sebagai selimut dan kucoba pejamkan mata, hingga tertidur beberapa saat.

Ketika pagi tiba, aku kembali ke lokasi bencana dan mencari anak dan istriku. Aku tidak pernah menemukan mayat mereka, tidak tahu di mana mereka dikuburkan, juga tidak tahu apakah mereka mungkin dibawa hanyut ke samudra. Hanya Allah lah yang tahu. Aku terus diselimuti rasa rindu pada orang-orang yang sangat kucintai dan harus belajar tetap sabat dan tabah serta kuat untuk bangkit membangun kehidupan baru.

Kini, sudah 19 tahun peristiwa gempa dahsyat dan bencana tsunami yang merenggut hidup anak dan istriku serta segala harta benda yang dititipkan Allah padaku, aku masih selalu rindu, menangis dan berdoa, semoga Allah mempertemukan kami kelak di Yaumil Akhir. Amin

Penulis adalah Pemerhati Pendidikan, Pegiat Literasi dan Pensiunan Guru

  • Bagikan