Oleh: Tumpal Panggabean & Hendrizal
Coba bayangkan ini. Sebuah pagi di alun-alun keraton yang mulai diselimuti kabut. Gamelan pelan berdentang, anak-anak muda menari dalam pakaian adat, dan di kejauhan, bendera kerajaan lama berkibar pelan. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, bukan? Tapi ini bukan adegan sejarah. Inilah Indonesia hari ini, bangsa yang tengah berusaha berdamai dengan masa lalunya sendiri.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Belakangan, gairah untuk menghidupkan kembali kerajaan-kerajaan Nusantara memang makin terasa. Kita melihat festival budaya di mana-mana, revitalisasi istana lama, hingga munculnya kembali gelar-gelar kebangsawanan di beberapa daerah. Di satu sisi, ini tanda baik: kita mulai menghargai akar kita sendiri. Tapi di sisi lain, ada juga tanda tanya besar, apakah kebangkitan ini akan melahirkan kebanggaan budaya atau malah menghidupkan kembali semangat feodalisme lama yang dulu membungkam rakyat kecil?
Kalau kita lihat dari sisi ekonomi, kebangkitan budaya ini sebenarnya punya potensi besar.
Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, kunjungan wisatawan mancanegara pada April 2024
mencapai 1,07 juta orang, naik cukup signifikan dari tahun sebelumnya. Menariknya, sebagian besar wisatawan itu datang untuk menikmati wisata budaya dan sejarah. Artinya, nilai-nilai lama
yang kita miliki, seperti keraton, tarian, ritual, dan tradisi, masih punya daya tarik kuat di mata dunia.
Bukan cuma turis asing. Wisatawan domestik pun kini makin suka berwisata ke tempat-tempat yang punya cerita. Mereka ingin tahu tentang leluhur, tentang filosofi di balik batik, atau makna di balik upacara adat. Ini artinya, kalau dikelola dengan baik, warisan budaya bisa jadi mesin ekonomi baru yang menghidupkan banyak daerah, tanpa harus kehilangan jiwanya.
Pemerintah pun sudah mulai melirik. Melalui Dana Abadi Kebudayaan, negara menyiapkan Rp465 miliar pada tahun 2025 untuk mendanai berbagai proyek budaya. Mulai dari pelestarian situs bersejarah, pendidikan kebudayaan, sampai pemberdayaan seniman dan pengrajin. Jumlah ini belum seberapa, tapi cukup jadi bahan bakar awal untuk menyalakan kembali obor budaya di daerah.
Namun, di sinilah persoalannya, uang tidak otomatis melahirkan kebangkitan budaya. Ia bisa jadi berkah, bisa juga jadi jebakan. Kalau dikelola tanpa hati-hati, dana itu bisa berhenti di meja birokrat atau hanya menguntungkan segelintir elit adat. Kita tentu tak ingin kebangkitan budaya berubah menjadi proyek pencitraan.
Lebih dalam lagi, kita juga perlu waspada terhadap sisi politik dari semua ini. Beberapa waktu terakhir, muncul wacana di DPR dan DPD untuk membuat Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pelestarian Adat Kerajaan Nusantara. Secara ide, ini langkah maju, karena akhirnya negara mau memberikan pengakuan formal pada entitas budaya yang selama ini diabaikan. Tapi jika tak hati-hati, undang-undang semacam ini bisa melahirkan sesuatu yang berbahaya, yakni lahirnya kembali struktur kekuasaan lama, dengan legitimasi baru.
Kita tentu menghormati para keturunan raja dan bangsawan. Mereka bagian dari sejarah bangsa ini. Tapi kita juga harus ingat, Indonesia lahir dari semangat kesetaraan, bukan dari darah
biru. Maka ketika bicara soal menghidupkan kembali kerajaan, yang harus kita hidupkan adalah jiwanya, bukan tatanan kuasanya.
Yang perlu dihidupkan adalah nilai-nilai luhur seperti kebijaksanaan, keadilan, gotong royong, dan penghormatan pada manusia. Bukan hierarki sosial yang menempatkan rakyat di bawah dan bangsawan di atas.
Bagaimana caranya? Penulis menggagas ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan bersama. Pertama, jadikan budaya sebagai milik bersama. Jangan sampai keraton, situs bersejarah, atau upacara adat hanya menjadi milik segelintir orang. Semua warga harus bisa terlibat dan merasakan manfaatnya. Kalau ada dana pelestarian budaya, maka masyarakat sekitar harus menjadi bagian dari proses itu: mereka yang menjadi pemandu, penjaga, atau pengelola. Dengan begitu, budaya tidak hanya hidup, tapi juga menghidupi.
Kedua, kelola dengan jujur dan transparan. Kebudayaan sering kali dimonopoli oleh mereka yang punya akses dan jabatan. Padahal, yang paling paham tentang warisan budaya justru masyarakat kecil yang menjaganya dari generasi ke generasi. Karenanya, laporan keuangan, proyek, dan hasil kegiatan kebudayaan harus terbuka untuk publik. Kalau budaya adalah milik rakyat, maka rakyat berhak tahu bagaimana ia dijaga.
Ketiga, ubah warisan menjadi kekuatan ekonomi baru. Coba bayangkan, jika setiap keraton punya pusat pelatihan batik, sekolah tari, atau galeri kerajinan lokal yang dikelola masyarakat. Kita tidak hanya menjaga budaya, tapi juga menciptakan pekerjaan. Anak-anak muda yang dulu pergi ke kota mencari kerja, bisa kembali membangun kampungnya dengan kreativitas dan kebanggaan.
Keempat, ajarkan budaya secara kritis di sekolah. Anak-anak perlu tahu sejarah lokal mereka, tapi dengan cara yang cerdas. Bukan hanya menghafal nama raja, tapi juga memahami nilai di balik setiap peristiwa: tentang keadilan, tentang keberanian, tentang kepemimpinan yang bijak. Dengan begitu, mereka tumbuh dengan kesadaran baru, yakni mencintai tradisi tanpa terjebak romantisme.
Kelima, pastikan hukum melindungi rakyat, bukan membungkamnya. Kalau nanti RUU
tentang kerajaan adat benar-benardisahkan, maka isinya harus jelas: melindungi situs, menjaga warisan, dan menjamin hak warga. Tapi jangan sampai memberi kekuasaan berlebih pada satu kelompok yang bisa menghidupkan kembali struktur sosial yang timpang.
Pada akhirnya, menghidupkan kembali jiwa kerajaan-kerajaan Nusantara bukan berarti
menyalakan kembali tahta, tapi menyalakan kembali nilai. Bukan tentang siapa yang duduk di singgasana, tapi bagaimana setiap orang diperlakukan dengan hormat.
Kita bisa belajar banyak dari masa lalu, dari kebijaksanaan raja-raja yang mencintai rakyatnya. Juga bisa belajar dari falsafah hidup yang menyeimbangkan manusia dengan alam, dari seni dan sastra yang mengajarkan kesantunan dan keindahan. Tapi belajar tidak berarti mengulang.
Kita hidup di zaman di mana rakyat adalah raja atas dirinya sendiri. Maka tugas kita hari ini adalah menciptakan ‘ kerajaan’ baru. Yakni kerajaan yang bukan berpusat pada istana, tapi pada nurani dan kesadaran kolektif. Kalau dulu rakyat tunduk pada darah biru, maka kini rakyat seharusnya dihormati karena kesadarannya. Kalau dulu raja memerintah dengan titah, kini kita semua memimpin dengan nilai.
Tradisi yang sejati bukan yang mengurung manusia dalam masa lalu, tapi yang membuatnya lebih manusiawi di masa depan. Dan di situlah sejatinya ‘ jiwa kerajaan Nusantara’ itu hidup. Bukan di singgasana emas, tapi di hati rakyat yang masih percaya bahwa hormat dan kebijaksanaan tidak butuh mahkota.
Penulis pertama (Dr. H. Tumpal Panggabean, S.T., M.A.) adalah Ketua Presidium ICMI Muda Pusat; penulis kedua (Dr. Hendrizal, S.IP., M.Pd.) adalah Anggota ICMI Muda dan Dosen Pascasarjana S2 Pendas-PGSD FKIP Universitas Bung Hatta, Padang.













