Scroll Untuk Membaca

Opini

Mengulik Dinasti Politik

Oleh Zulkarnain Lubis

<strong>Mengulik Dinasti Politik</strong>
Kecil Besar
14px

Dinasti politik ditandai dengan tampilnya para pemimpin karbitan yang maju bahkan berhasil menjadi pimpinan di beberapa daerah tanpa memiliki modal pengalaman, kapasitas, kompetensi, kapabilitas, serta tidak memiliki kepemimpinan mumpuni

Tahun ini kita mulai memasuki tahun politik, menyongsong tahun depan, saatnya kita akan menghadapi perhelatan politik. Banyak yang menarik untuk diusik, ditilik, ditelitik, dan diulik. Salah satunya adalah tumbuhnya dinasti politik baik di pusat dan maupun di daerah yang tentu ingin dipertahankan oleh pendiri dan pemilik. Tahun 2024, para pewaris dan penerus dinasti politik pasti sudah mempersipkan diri atau dipersiapkan secara apik, bahkan sebahagian dari mereka selama ini sudah didik dan ditempa melalui strategi yang cantik. 

Dinasti politik di negara ini bukan sekedar ilusi, bukan halusinasi, tapi merupakan realitas yang tak bisa dipungkiri. Mari kita telusuri seluruh pelosok negeri, kita akan dapatkan para walikota atau bupati yang merupakan anak, menantu, adik, keponakan, ataupun istri yang “mewarisi” jabatan politik dari ayah, mertua, abang, kakak, paman atau suami. Ada daerah yang sudah dikuasai oleh sebuah dinasti dalam beberapa kali suksesi, ada yang sudah merambah ke daerah lain untuk memperluas atau mungkin menambah kekuatan demi langgengnya dinasti, ada lagi yang menancapkan kekuasaan untuk level yang lebih tinggi, dari kabupaten meningkat ke provinsi, untuk mengambil ancang-ancang merebut kedudukan sebagai menteri, yang tujuannya adalah juga untuk melestarikan dinasti.

Para pemimpin di tingkat nasional juga tidak ketinggalkan melestarikan kekuasaan melalui politik dinasti, yaitu membangun dinasti sendiri yang menebar anak dan menantu di berbagai pelosok negeri. Anak dan menantu diikutkan merebut posisi, untuk jadi walikota ataupun jadi bupati, tentu berharap kelak jika tak lagi duduk sebagai petinggi, anak dan menantu sudah mumpuni dan dinasti bisa abadi.

Dalam menjaga keberlangsungan dinasti yang sudah bersusah payah didirikan, partai politik juga dijadikan sebagai jalan, makanya tidak heran sebuah partai politik menjadi seperti kerajaan, posisi pimpinan diwariskan kepada putra mahkota yang sudah dipersiapkan, yang tidak lain diambil dari anak dan menantu ataupun pemegang trah nama kebesaran. Memang tidak semuanya persis seperti kerajaan, beberapa diantaranya dikelola seperti sebuah perusahaan, dimana pemegang saham mayoritaslah yang menentukan suksesi kepemimpinan, yang ditunjuk tidak lain adalah mereka penerima warisan yaitu anak, menantu, dan kerabat yang sebelumnya telah dipersiapkan.

Selebihnya, anggota partai tak obahnya seperti karyawan, mereka mendapat gaji dan tunjangan dengan tugas utama meningkatkan popularitas sehingga partai diperhitungkan, membangun citra partai agar jadi pilihan, dan membuat kegiatan untuk mengambil hati rakyat dan mendapatkan perhatian.

Dinasti politik yang bermunculan, selalu menimbulkan pertanyaan, apakah diperbolehkan, apakah sebaiknya tidak dibiarkan, atau boleh saja sepanjang tidak ada aturan yang dilanggar dan tidak ada yang tidak memperbolehkan. Tampilnya para penerus dinasti mencalonkan diri dan berebut posisi bahkan banyak di antara mereka yang sudah berhasil duduk di “kursi kerajaan”, sedikit banyaknya ada peran yang dimainkan oleh pemilik dan pendiri dinasti.

Bisa dengan hanya sekedar membuka jalan, bisa dengan mempersiapkan tumpangan kenderaan, bisa dengan menyediakan jaringan untuk dimanfaatkan, bisa membantu pendanaan, bisa pula memanfaatkan kedudukan, jabatan, dan kekuasaan untuk melicinkan jalan agar tercapai posisi yang jadi target dan sasaran. Namun ada yang terasa menjadi ganjalan, kadang pendiri dinasti memaksakan agar orang yang dipilihnya, diusung dan dimenangkan, kalau perlu dengan pemaksaan, dengan ancaman, atau dengan memainkan kekerasan.

Bisa juga dengan intimidasi, provokasi, agitasi, atau dengan membuat berita sensasi, merekayasa dan melakukan dramatisasi melalui narasi basi. Orang yang mendukung atau pro terhadap dinasti politik, pasti punya pembenaran bahwa dalam era demokrasi tidak ada larangan untuk berangan-angan dan bermimpi untuk sebuah posisi, siapa saja boleh mencalonkan diri menjadi apapun sesuai posisi yang dikehendaki, termasuk mereka yang kebetulan kerabat dan keturunan dari sebuah dinasti.

Sebaliknya mereka yang anti terhadap politik dinasti, tidak menginginkan bermunculannya dinasti politik yang dianggap ingin mempertahankan paham feodalisme, yang menyuburkan nepotisme, yang makin mengokohkan kolusi dan persekongkolan buruk berdasarkan koncoisme dan kepentingan pragmatisme semata. Maraknya praktik politik dinasti yang membuat tumbuh suburnya dinasti politik ditandai dengan tampilnya para pemimpin karbitan yang maju bahkan berhasil menjadi pimpinan di beberapa daerah tanpa memiliki modal pengalaman, kapasitas, kompetensi, kapabilitas, serta tidak memiliki kepemimpinan mumpuni. Mereka maju dan berhasil memenangkan kontestansi semata-mata hanya bermodalkan dan memanfaatkan akses, dukungan, jaringan, dana, dan dukungan yang digalang oleh orangtua, mertua, paman, atau suami sebagai pemilik dinasti politik.

Sesungguhnya, tidak ada yang salah dengan bermunculannya dinasti politik, silahkan saja para pejabat, elit politik, pemimpin partai ataupun para pemimpin pemimpin daerah maupun tingkat nasional untuk berharap dan berangan-angan melanggengkan kekuasaannya. Silahkan saja mereka mempersiapkan putra mahkota masing-masing untuk mewarisi kekuasaannya. Boleh saja mereka bercita-cita agar anak keturunannya terus berada di lingkaran kekuasaan selamanya andaikan merekapun sudah tiada.

Namun, selain tentu tidak boleh melanggar aturan dan ketentuan yang ada, mereka mestinya tidak melanggar adab dan etika, tidak melanggar kepatutan, tidak melanggar kewajaran, tidak bertentangan dengan akal sehat. Apalagi sampai memperjuangkan penerusnya dengan akal-akalan, akal bulus, dan berbuat nakal. Intinya sebagaimana argumentasi mereka yang pro politik dinasti bahwa siapa saja boleh mencalonkan diri menjadi apapun sesuai posisi yang dikehendaki, tetapi mereka yang mencalonkan diri atau orang yang dipersiapkan oleh pemilik dinasti, mestilah orang yang punya prestasi, kompetensi, dan efektif dalam berkomunikasi, serta punya kapabilitas, kapasitas, integritas, dan pribadi yang berkualitas.

Jika demikian, kedudukannya sebagai bagian dari dinasti tidak menjadi satu-satunya modal yang dimiliki, tidak menjadi satu-satunya amunisi, tetapi hanya sekedar penguat untuk bisa memenangi posisi yang diingini, mereka maju bukan sekedar memenuhi ambisi, tapi ada visi, ada misi, mempunyai agenda yang ingin direalisasi, mempunyai nalar, akal, dan ilmu sebagai bekal diri, namun yang paling penting, mereka harus memiliki hati, sehingga kelak tidak sekedar memenuhi ambisi pemilik dinasti, tidak untuk menikmati kemewahan yang tersaji, serta tidak hanya ingin melampiaskan nafsu berkuasa tanpa peduli aspirasi rakyat yang menanti segala janji.

Satu hal lagi yang mesti mereka miliki, karena mereka akan menjadi pemimpin, tentu mereka mesti memiliki kadar kepemimpinan yang memadai, memiliki karakter kuat sebagai pemimpin, dapat menjadi panutan, serta tidak buta melihat penderitaan rakyatnya, tidak tuli mendengar jeritan rakyatnya, dan ikut merasakan sakit yang dirasakan rakyatnya.

Jika demikian halnya, untuk tahun 2024 nanti, silakan para pewaris dinasti yang telah dirintis para pendiri, silahkan melanjutkan ambisi untuk melanggengkan kekuasaan yang sudah dimiliki. Persiapkan diri sejak dini, yakinkan pemilih dengan menunjukkan prestasi, berbuatlah sesuatu yang membuktikan bahwa Anda punya taji, tunjukkan kepada rakyat bahwa Anda dipilih karena Anda layak dipilih, Anda datang membawa solusi terhadap masalah yang dihadapi bukan justru Anda yang menjadi sumber masalah yang akan membuat masalah makin menjadi.

Buatlah rakyat percaya bahwa Anda adalah trouble shooter bukan trouble maker. Anda juga bisa tampil dengan cita-cita sendiri, punya mimpi sendiri, punya cara sendiri, punya ide dan kreativitas sendiri, sehingga bisa keluar dari bayang-bayang pendiri dinasti, tidak hanya sekedar jadi wayang yang bisa dimainkan oleh dalang sesuai skenario yang dirancang untuk memenuhi ambisi. Miliki skenario sendiri, rancanglah cerita sendiri, dan sutradarailah drama sendiri yang diharapkan menjadi drama pembuat bahagia dan gembira bagi rakyat dan bangsa, bukan pembuat cerita duka dan nestapa.

Sebetulnya bagi rakyat sangat mudah menilai para pewaris dinasti politik yang sekarang sudah duduk di singgasana, baik sebagai bupati maupun walikota, baik sebagai wakil rakyat maupun yang sekedar menjadi fungsionaris di partai politik sebagai wadah untuk menempa diri agar siap berlaga. Rakyat tinggal melihat bagaimana sepak terjang mereka, apakah mereka sekedar boneka, sekedar assesori belaka, sekedar mengikuti skenario pendahulunya, atau tampil sebagai sosok yang berbeda.

Jika sekarang dia menjadi gubernur, bupati atau wali kota, kita tinggal lihat keberhasilannya, lihat kebijakan yang diambilnya, lihat bagaimana dia menentukan keputusan dan kebijakannya, lihat bagaimana sikapnya terhadap bawahan dan rakyatnya, lihat bagaimana sisi kemanusiaannya, dan lihat pula bagaimana kepribadiannya selama berkuasa. Jika memang fakta menunjukkan bahwa dia secara objektif dinilai berhasil dengan indikator yang riel, silahkan mereka upayakan untuk meneruskan kepemimpinannya, baik untuk tetap bertahan di kursi yang didudukinya, maupun ke tingkatan yang lebih tinggi skopnya.

Seperti kita ketahui dari kabar angin yang berhembus secara halus, ada walikota yang merupakan bagian dari dinasti politik ingin melangkah lebih tinggi menjadi gubernur pula, ada pula bupati ingin meningkat menjadi pimpinan provinsi, ada anak ketua partai ingin pula jadi bupati, ada lagi anak orang ternama ingin menjadi walikota. Kita tentu mempersilakan saja, seperti kata mereka, semua orang bisa bercita-cita menjadi apa saja, silahkan bercita-cita menduduki jabatan apa saja, tapi mestilah pandai berkaca, sehingga menjadi tahu diri tahu posisi, tepuk dada tanya selera, kita punya apa, kita bisa apa, dan kita siapa, hal tersebut tentunya lebih utama daripada sekedar siapa ayah kita, siapa saudara kita, siapa mertua kita, apalagi sampai kita keturunan dari siapa.

Mari kita tunggu perkembangannya dalam tahun ini dan mari kita tunggu hasilnya tahun depan, apakah politik dinasti makin menjadi atau akan mati, kita akan lihat juga dinasti politik yang mana yang berkibar dan yang mana yang terkapar. Saya sangat percaya jika Anda emas pasti akan selalu bersinar dengan atau tanpa nama besar dari dinasti politik dari mana Anda berasal, tapi jika Anda loyang apalagi suasa, sinar Anda lambat laun akan pudar seiring dengan pudarnya kekuasaan dinasti politik dimana Anda berada.

Penulis adalah Rektor IB IT&BKetua Program Doktor Ilmu Pertanian UMA.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE