Scroll Untuk Membaca

Opini

Mengulik Pemahaman Ideologi Guru Bangsa

Mengulik Pemahaman Ideologi Guru Bangsa
Kecil Besar
14px

Oleh: Taufiq Abdul Rahim

Pada dasarnya guru adalah manusia, orang individu yang memberikan pesan penting, mengajarkan serta mendidik manusia, murid, anak bangsa menjadi cerdas, lebih baik dan bermanfaat bagi masa depan kehidupan manusia, bangsa dan negara.

Karena itu kata guru yang sudah sangat melekat bagi semua orang adalah, orang yang berpendidikan, memiliki ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang ataupun mempunyai keahlian khusus tersendiri, juga memiliki pengetahuan yang dapat diturunkan, diajarkan, didik kepada ummat manuisia atau anak didiknya. Sehingga pemahaman, pengertian serta terjemahan guru secara umum dalam kehidupan masyarakat dan atau sosial kemasyarakatan, sejak zaman klasik, pertengahan serta modern adalah, orang yang memiliki ilmu pengetahuan kemudian mengajarkan, mendidik, menurunkan ilmunya yang bermanfaat kepada anak didik dan manusia di sekitarnya, baik di sekolah, fasilitas umum dan lain sebagainya agar menjadi lebih cerdas, baik, bermanfaat bagi kehidupan manusia serta lingkungan hidup.

Makanya, pemahaman guru sebagai orang yang memiliki ilmu pengetahuan, terdidik, terpelajar, berakhlaq, menjadi panutan, ini sangat dipahami bagi masyarakat baik tradisional maupun modern yaitu orang yang memiliki kelebihan keilmuan, kemudian memberikan pembelajaran, mendidik, mengajarkan kepada murid dan atau masyarakat agar menjadi lebih pintar, cerdas dan berpengetahuan. Sehingga pemberian keilmuan, pembelajaran, pengajaran, Pendidikan dan melakukan transfer ilmu pengetahuan menjadikan banyak manusia terdidik, cerdas, pintar, juga diisi dengan kemamp[uan, kapasitas serta pendidikan dan pengetahuan etika-moral, agar kemudian hari menghargai nilai-nilai kehidupan, pendidikan, pengetahuan memiliki landasan etika-moral ataupun akhlaq yang mulia, sehingga benar-benar bermanfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungan hidup di sekitarnya.

Karena itu, kata guru dalam Kamus Dewan (Noresah dkk, 2002) berarti, orang yang mengajar, pendidik, pengajar, pengasuh. Dengan demikian, jika ada guru bermakna memiliki murid yang diajarkan serta dididik dan diasuh, sehingga tidak mengherankan guru merupakan profesi yang mulia dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, juga seluruh anak bangsa yang mendapatkan pendidikan formal maupun non-formal. Demikian juga menurut (Simon Blackburn. 2013), yaitu guru dari Bahasa Sanskerta berarti instruktur, pengajar, pendidik, teladan, maka istilah ini dapat diterapkan kepada orang tua, dosen, guru seni, instruktur dan pendidik secara umum, juga dalam konteks spiritual. Karenanya pemahaman kata guru tidak seenaknya disematkan, dijuluki kepada seseorang, hal ini juga memiliki ikatan etika-moral disebabkan adanya secara khusus memberikan contoh ketauladanan serta perilaku yang patut dan pantas untuk ditiru juga digugu, dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari.

Sesungguhnya demikian mulianya kata guru, menurut Karwati & Priansa (2014), guru adalah fasilitator utama yang terdapat pada jenjang sekolah yang bertugas dalam menggali, mengambangkan, mengoptimalkan potensi siswa agaar menjadi bagian dari bermasyarakat yang beretika.  Maka dalam pemahaman sederhana dapat dinyatakan bahwa, guru yaitu seseorang pendidik profesional yang memiliki peran utama sebagai mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan formal. Sehingga guru merupakan agen utama dalam memberikan pendidikan kepada siswa, guru tidak hanya bertanggung jawab untuk menyampaikan materi pembelajaran, tetapi juga membantu dalam pengembangan keterampilan dan nilai yang dibutuhkan oleh siswa/murid. Akan tetapi peran guru bukan hanya sebagai media mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, tetapi guru juga sebagai motivator bagi siswa agar memiliki prestasi belajar yang baik (Manizar, 2015). Demikian juga menurut Sopian (2016) pada proses pendidikan dan pengajaran membutuhkan guru yang berkualitas, yang artinya selain menguasai mata pelajaran dan metode pengajaran, guru juga harus memahami dasar-dasar pendidikan.

Dengan demikian bahwa, tanggung jawab seorang guru sangat besar, mulia serta menjadi pilar utama terhadap usaha mendidik serta mencerdaskan bangsa serta anak bengsa agar memiliki kehidupan dan masa depan yang lebih baik. Karenanya, guru sebagai pekerjaan secara profesional mulia, bahkan dikenal dengan istilah pahlawan tanpa tanda jasa. Maka tidak sembarangan menggunakan istilah guru dalam konteks politik hanya sekedar menjilat, mempraktikkan irisan politik yang tidak pada tempatnya dengan memberikan istilah, julukan mengagung-agungkan seorang aktor politik dengan istilah “Guru Bangsa”. Konon pula orang yang diagung-agungkan adalah perusak konstitusi, pembohong, penipu, perusak demokrasi politik, baik sistem pemerintahan, hukum, etika-moral serta dengan kelicikan dan keculasan menghancurkan seluruh aspek kehidupan kebangsaan. Sehingga istilah guru bangsa yang disematkan sendiri oleh para antek-antek penjilatnya serta pemujanya, ini telah menghina profesi guru yang mulia ditengah kehidupan sosial kemasyarakatan serta kebangsaan.

Pada dasarnya sebagai indikator yang berlandaskan etika-moral, aktor politik yang telah merusak sistem kebangsaan dan kenegaraan bahkan menghacurkan masa depan bangsa tidak selayaknya serta sepantasnya dijadikan sebagai guru bangsa. Demikian juga dengan cara-cara politik otoritarianisme yang diterapkan serta membolak-balikkan kenyataan dengan kebohongan yang direkayasa oleh para penjilat dan pemujanya sebagai pemimpin politik yang berhasil. Sesungguhnya sangat memalukan serta tidak tahu diri atau tidak tahu malu, bahkan dengan kekuasaan politiknya ingin menguasai keberlanjutan kekuasaan dengan melaksanakan praktik dinasti politik yang salah kaprah. Bahkan dinasti kekuasaan saat berkuasa, menurunkan kekuasaan kepada turunannya yang tidak memiliki kompetensi, kemampuan, kecakapan, tuna politik dan ilmu pengetahuan, bahkan diduga menderita “psikopat”, sakit kejiwaan, melabrak konstitusi atau “anak haram konstitusi” segera dihentikan ambisi kekuasaannya. Demikian juga peran dari “Queen be Syndrome” yang ikut mengatur anak dan menantunya untuk berkasa secara politik. Sehingga orang, aktor, pemimpin politik yang terus membangun pencitraan menjelak akhir jabatan dengan bayaran, pembohong tidak tahu malu bahkan tidak menjunjung tinngi landasan hukum, aturan serta etika-moral. Ini mesti dituntut secara hukum demi keadilan yang telah merusak sistem demokrasi politik dan ketetanegaraan, hukum dan diduga “ber-ijazah palsu” serta tidak memberikan pendidikan yang baik terhadap kehidupan bangsa.

Sehingga diperlukan sebuah tindakan efektif baik menjelang akhir kekuasaan maupun, julukan guru bangsa yang direkayasa oleh para penjilat, pemuja dan para manusia salah kaprah. Semestinya mendapatkan sangsi dan penegakan hukum, jika kekuasaan masih di tangan merasa kesulitan pada saat tidak lagi memegang tampuk kekuasaan mesti ditegakkan keadilan dengan prinsip “equality before the law”, juga “fair and fairness” karena berbagai persoalan merusak kehidupan serta adanya dugaan korupsi yang dilakukan serta dijalankan, termasuk anak serta kuturan dan menantunya. Maka julukan guru bangsa hanya kegilaan puja-puji julukan yang saat ini merupakan penghinaan serta mengejek profesi guru yang sesungguhnya, yang tidak meminta pujian, julukan, bahkan dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Makanya, julukan serta gelar guru bangsa bagi aktor politik yang gila kekuasaan dan merusak kehidupan bangsa, juga saat ini menyimpan hutang negara diperkirakan sebesar lebih Rp12 ribu triliun, patut mendapatkan hukum yang telah merusak makroekonomi Indonesia serta sistem moneter, income per capita rata-rata rakyat secara nasional US Dollar 5.124, pertumbuhan ekonomi sekitar 5,05 persen, menurut IMF pertumbuhan ekonomi sekitar 5,0 persen pada tahun 2024. Demikian juga seluruh kegagalan dan janji politik, termasuk gagalnya Ibu Kota Negara (IKN), gagalnya produksi Mobil Esemka yang masih ghaib, termasuk tol langit yang tidak jelas, infrastuktur yang banyak mangkrak, serta banyak lagi lainnya, semuanya absurd.

Dengan demikian julukan guru bangsa yang terlalu mengada-ada dan menghina profesi guru yang sebenarnya, tidak patut serta tak-layak bagi seorang pembohong dan penipu rakyat, melalui rekayasa membangun pencitraan Ini memperlihatkan sebagai seorang yang tidak tahu malu, tidak menjunjung tinggi aturan hukum dan etika-moral, semakin menyengsarakan.

Penulis Dosen FE Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior PERC-Aceh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE