Opini

Menjaga Kewarasan Publik

Menjaga Kewarasan Publik
Kecil Besar
14px

Oleh: Farid Wajdi

Kelangkaan BBM pascabencana di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat membuka satu kenyataan keras: suplai energi runtuh tepat saat publik paling membutuhkannya.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Distribusi tersendat, akses transportasi rusak, sebagian SPBU berhenti beroperasi, dan arus logistik terhenti di titik paling rawan.

Situasi ini seharusnya memicu respons publik yang lebih tenang dan terukur, tetapi yang muncul justru ledakan ketakutan kolektif yang memperparah krisis. Harga eceran melonjak ekstrem, antrean mengular, sebagian publik menimbun, dan kepanikan menciptakan kekacauan yang sebenarnya bisa dicegah.

Kelangkaan BBM tidak serta-merta lahir dari minimnya stok, melainkan dari ketidakseimbangan antara pasokan yang terhambat dan permintaan yang meledak akibat tekanan psikologis.

Publik terdorong untuk membeli jauh melebihi kebutuhan, bukan karena urgensi mobilitas, melainkan rasa takut kehabisan. Ketakutan ini berubah menjadi antrean panjang, kepadatan di SPBU, serta ruang bagi tindakan spekulatif yang muncul pada saat publik paling rentan.

Panic buying menciptakan kerentanan tambahan. Setiap liter yang dibeli tanpa urgensi menghilangkan kesempatan publik lain yang membutuhkan BBM untuk layanan kesehatan, evakuasi, transportasi bantuan, atau aktivitas vital lain. Antrean panjang bukan hanya persoalan teknis, melainkan cerminan runtuhnya disiplin konsumsi publik.

Momentum darurat membutuhkan rasionalitas; justru di titik itulah rasionalitas paling mudah hilang.

Pada titik inilah konsep konsumerisme menemukan makna edukatifnya. Konsumerisme dalam konteks darurat bukan wacana teoretis, tetapi praktik solidaritas publik: kemampuan publik memilah kebutuhan dari keinginan, mengutamakan fungsi dibanding kenyamanan, dan menahan impuls yang berpotensi merusak stabilitas logistik.

Konsumerisme semacam ini bukan moralitas kosong, melainkan etika publik yang memengaruhi distribusi energi secara langsung.

Membeli Sesuai Kebutuhan

Ketika publik memilih membeli sesuai kebutuhan, distribusi berjalan lebih teratur. Ketika publik menahan diri mengisi tangki penuh untuk keperluan tidak penting, SPBU dapat melayani lebih banyak kendaraan yang benar-benar membutuhkan.

Ketika publik tidak mengumbar kecemasan, kepanikan kolektif mereda. Inilah inti dari edukasi publik yang sering diabaikan: konsumsi bukan aktivitas privat yang terisolasi, melainkan tindakan yang memengaruhi banyak pihak di saat sistem logistik bekerja dengan tenaga terakhir.

Pemerintah tetap memikul tanggung jawab struktural. Kejelasan informasi mengenai suplai, jalur distribusi, dan waktu pemulihan sangat menentukan arah perilaku publik.

Informasi yang bias atau politis hanya menciptakan kekosongan pengetahuan yang segera diisi rumor dan ketakutan. Publik berhak memperoleh data yang jujur dan konkret, bukan ajakan normatif agar “tidak panik” tanpa menunjukkan mekanisme suplai yang meyakinkan.

Komunikasi krisis tidak dapat berjalan dengan retorika; harus berbasis data.
Pelaku usaha memiliki kewajiban etis yang sama pentingnya.

Ketika sebagian memilih memainkan harga atau menahan stok di tengah situasi genting, mereka merusak simpul kepercayaan publik terhadap distribusi energi. Ketika pelaku usaha tetap menjaga harga wajar, memastikan stok bergerak, dan menolak praktik oportunistik, publik lebih mudah menahan diri. Krisis memerlukan integritas, tidak hanya regulasi.

Edukasi publik menjadi kunci utama pemulihan. Publik perlu melihat konsumsi energi sebagai tindakan yang berdampak luas. Pembelian seperlunya adalah kontribusi terhadap stabilitas.

Penundaan perjalanan tidak mendesak adalah bentuk kepedulian. Menghindari penimbunan adalah empati konkret. Publik yang rasional menciptakan ruang lebih besar bagi mobilitas penyintas, relawan, dan layanan vital yang berkejaran dengan waktu.

Banjir menghancurkan infrastruktur fisik, sedangkan kepanikan menghancurkan infrastruktur sosial. Pemulihan memerlukan keduanya: perbaikan jalur distribusi dan pemulihan kedisiplinan perilaku publik. Kelangkaan BBM akhirnya menjadi ujian kedewasaan publik dalam menghadapi krisis.

Publik yang mampu mempertahankan kewarasan di tengah ketidakpastian menunjukkan bentuk ketahanan sosial paling nyata. Ketika publik memilih akal sehat, bukan kepanikan, sistem energi kembali pulih lebih cepat, logistik bergerak lebih lancar, dan pemulihan berlangsung lebih stabil.

Kewarasan publik adalah sumber energi yang sering terlupakan, namun justru paling menentukan saat logistik runtuh. (Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE