Oleh Dr. H. Ikhsan Lubis, S.H., Sp.N., M.Kn., dan Andi Hakim Lubis
Pengantar
Banjir bandang di Sumatera Utara seolah menjadi cermin raksasa yang memantulkan wajah tata kelola lingkungan kita: kusut, letih, dan penuh luka. Bencana ini bukan sekadar dampak dari curah hujan ekstrem, melainkan simbol krisis multidimensional—hasil dari rusaknya hutan, lemahnya sistem perizinan, longgarnya pengawasan, dominannya kepentingan ekonomi jangka pendek, dan terpinggirkannya nilai-nilai moral serta kearifan lokal yang seharusnya menjadi penyangga relasi manusia dengan alam.
Ketika aparat penegak hukum mulai masuk ke tahap penyidikan, ketika kementerian menutup lahan-lahan yang diduga melanggar aturan, ketika organisasi masyarakat sipil mengajukan desakan, dan ketika lembaga antikorupsi turut mengawasi anggaran bencana, kita menyadari bahwa tragedi ini telah mengguncang kesadaran publik. Namun, lebih dari itu, ia memaksa kita menengok ulang fondasi sistem hukum lingkungan: apakah ia benar-benar melindungi alam, atau justru membiarkan luka-lukanya kian menganga?
Dalam kerangka Ius Integrum Nusantara, jawaban itu tidak dapat berhenti pada pendekatan legal-positivistik. Hukum bukan hanya mempidanakan pelaku atau mencabut izin. Hukum harus mampu memulihkan harmoni—memperbaiki relasi manusia-alam dan memastikan bahwa generasi mendatang tidak mewarisi beban kesalahan hari ini. Perspektif integralistik ini memandang hukum, etika, budaya, spiritualitas, dan ekologi sebagai satu kesatuan. Hukum tanpa moral hanyalah prosedur kosong; moral tanpa hukum akan lumpuh oleh kekuatan ekonomi yang destruktif.
Karena itu, penanganan bencana membutuhkan pendekatan yang terpadu. Penegakan hukum pidana dan perdata harus seiring dengan audit administrasi yang ketat, partisipasi publik yang bermakna, pemulihan ekologis yang komprehensif, serta reposisi masyarakat adat sebagai penjaga keseimbangan lingkungan. Negara harus melihat masyarakat adat bukan sebagai hambatan pembangunan, melainkan mitra strategis dengan pengetahuan ekologis paling autentik.
Banjir Sumut juga menyadarkan kita bahwa masa depan harus menjadi pertimbangan dalam setiap keputusan hari ini. Prinsip keadilan lintas generasi menuntut negara bertanggung jawab tidak hanya kepada warga saat ini, tetapi juga kepada mereka yang belum lahir puluhan tahun ke depan. Tanpa prinsip ini, setiap keputusan pembangunan berpotensi menjadi bom waktu ekologis.
Akhirnya, bencana ini menunjukkan bahwa yang kita hadapi bukan hanya kerusakan ekosistem, tetapi juga kerusakan sistem nilai. Ketika alam diperlakukan sebagai objek eksploitasi, bukan rekan keberlanjutan hidup, maka pemulihan tidak boleh berhenti pada rehabilitasi infrastruktur. Kita membutuhkan ecological interiority—pemulihan batin ekologis yang mengembalikan kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari alam.
Pertanyaannya kini sederhana namun tegas: apakah kita memiliki keberanian moral dan politik untuk menjadikan banjir Sumut sebagai titik balik perubahan? Atau akankah kita membiarkan sejarah mengulang dirinya?
Ketika Hulu Runtuh, Negara pun Roboh: Pelajaran dari Banjir Sumatera Utara 2025
Banjir bandang yang melanda Sumatera Utara pada akhir 2025 bukan sekadar fenomena alam semata. Ia adalah puncak dari akumulasi krisis ekologis yang telah lama terjadi: hutan yang terfragmentasi, bukit-bukit yang terkoyak oleh pembukaan lahan, dan sistem tata ruang yang menomorduakan daya dukung ekologis. Hulu DAS Batang Toru dan Garoga, yang seharusnya menjadi penyangga hidrologis, telah kehilangan kapasitas alami untuk menahan air. Ketika hujan ekstrem datang, limpasan yang tak tertahan menjelma menjadi banjir bandang yang menghancurkan hilir: rumah, sawah, jembatan, dan sekaligus harapan masyarakat.
Peristiwa ini seharusnya menjadi alarm bagi seluruh pemangku kepentingan. Namun, jejak bencana memperlihatkan pola kegagalan sistemik: tata kelola lingkungan yang lemah, regulasi yang tumpang tindih, pengawasan yang tidak berjalan, dan regulatory capture yang membiarkan kepentingan ekonomi jangka pendek mendahului keselamatan ekologis. Korporasi dan aktor lokal tampak mampu menggeser risiko ekologis ke masyarakat di hilir, sementara hukum lingkungan, yang seharusnya menjadi penjaga harmoni, kerap hadir sebagai formalitas belaka.
Hulu yang Terkoyak dan Fragmentasi DAS
Sejarah degradasi ekosistem hulu Sumatera Utara bukanlah cerita baru. Sejak awal 2010-an, laporan lembaga lingkungan dan citra satelit menunjukkan penurunan tutupan hutan secara signifikan di DAS Batang Toru dan Garoga. Fragmentasi hutan yang masif—disebut dalam literatur ekologi sebagai forest fragmentation cascade—telah mengurangi kemampuan tanah menyerap air. Aktivitas perkebunan, pembukaan lahan oleh perambah, dan pembangunan jalan produksi telah merusak fungsi hidrologis hulu, sehingga hujan ekstrem tak lagi tertahan, tetapi langsung mengalir deras ke hilir.
Fenomena ini menegaskan bahwa banjir bukan sekadar “kejadian alamiah” atau musibah instan. Dalam perspektif ekologi, ia adalah ecological time bomb, bom waktu yang meledak setelah akumulasi tekanan manusia (anthropogenic pressure) melampaui kapasitas ekosistem. Hanya sedikit pemicu—dalam hal ini hujan lebat—yang diperlukan untuk memicu bencana besar.
Keterlibatan Korporasi dan Perorangan: Risk Shifting yang Tidak Adil
Penyidikan awal menunjukkan indikasi kuat keterlibatan korporasi dan individu dalam pembukaan lahan ilegal atau melampaui izin. Beberapa lokasi telah disegel, namun dugaan kerusakan jauh lebih luas. Dalam kerangka environmental justice, praktik semacam ini disebut risk shifting—pemindahan risiko ekologis dari pelaku ekonomi di hulu ke masyarakat hilir, yang sama sekali tidak mengambil keputusan tetapi menanggung seluruh dampaknya.
Masyarakat di Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan, misalnya, menjadi korban langsung: rumah mereka tersapu, sawah terendam, dan anak-anak kehilangan orang tua. Sementara pelaku ekonomi yang mendapat keuntungan dari lahan di hulu jarang merasakan konsekuensi langsung. Ketimpangan struktural ini menegaskan bahwa bencana ekologis selalu bersifat sosial-politik, bukan hanya hidrologis.
Kegagalan Tata Kelola: Regulasi Ada, Pengawasan Tidak Bekerja
Kegagalan negara terlihat jelas dari lemahnya pengawasan, tumpang tindih perizinan, dan indikasi regulatory capture. Sistem OSS-RBA (Online Single Submission – Risk Based Approach) yang diharapkan mampu meminimalkan risiko ekologis, nyatanya belum berjalan efektif. Di lapangan, perubahan lahan di hulu berlangsung nyaris tanpa hambatan.
Tata ruang yang disusun berdasarkan kepentingan ekonomi jangka pendek memperparah kondisi. Banyak daerah menetapkan zona budidaya di wilayah yang secara ekologis harusnya menjadi hutan lindung. Konsep fit-for-ecology dalam tata ruang modern—yang mengatur pemanfaatan lahan sesuai daya dukung ekologis—sering dikalahkan oleh prioritas investasi.
Lebih jauh, dinamika politik lokal turut mempengaruhi pengawasan. Relasi patron-klien antara pejabat daerah dan pengusaha perkebunan membuat proyek-proyek berisiko ekologis tinggi lolos dari penindakan. Dalam literatur political ecology of disaster, hal ini disebut sebagai pengaruh kekuasaan terhadap kejadian bencana: keputusan politik, bukan alam semata, menentukan terjadinya bencana.
Dampak Sosial dan Hilangnya Kepercayaan Publik
Banjir bukan hanya menghancurkan infrastruktur, tetapi juga menimbulkan trauma sosial jangka panjang. Warga hilir kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara karena laporan pembalakan liar dan pembukaan lahan besar-besaran yang mereka sampaikan selama bertahun-tahun tidak ditindaklanjuti. Banyak yang menilai bahwa “banjir ini bukan bencana alam, tapi bencana izin.”
Kehilangan kepercayaan ini menjadi modal sosial yang hilang. Dalam teori kebijakan publik, kepercayaan publik adalah fondasi partisipasi masyarakat dalam pemulihan dan mitigasi bencana. Tanpa itu, setiap upaya rehabilitasi akan menghadapi hambatan sosial yang berat.
Pertanggungjawaban Hukum dan Pemulihan Ekologis
Pendekatan Ius Integrum Nusantara menekankan bahwa penegakan hukum bukan sekadar menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan harmoni ekologis dan sosial. Pertanggungjawaban harus bersifat simultan:
Pidana: Menindak korporasi dan aktor struktural yang merusak ekosistem. Fokus bukan hanya pelaku lapangan, tetapi juga pemegang keputusan yang mengendalikan aliran modal dan kebijakan.
Perdata: Memastikan pemulihan ekologis jangka panjang dan ganti rugi bagi masyarakat terdampak.
Administratif: Membekukan kegiatan, mencabut izin yang cacat hukum, dan menata ulang sistem perizinan yang lemah.
Pemulihan ekologis juga harus berbasis lanskap, bukan proyek simbolik. Reboisasi atau penanaman kembali hanya efektif jika diiringi reformasi tata kelola, pengakuan terhadap masyarakat adat, dan pemantauan terbuka. Pemulihan ekologis sejati berarti membangun kembali relasi manusia dengan alam yang telah dirusak oleh pola produksi dan kebijakan yang mengabaikan batas ekologis.
Pelajaran Historis dan Komparatif
Jika kita melihat kasus serupa di Asia Tenggara, pola yang muncul konsisten: banjir besar selalu terkait dengan degradasi hulu DAS, pembalakan liar, tata ruang yang tidak berbasis daya dukung ekologis, dan kegagalan institusi pengawas. Dari Thailand hingga Filipina, bencana serupa mengulang pola structural vulnerability—ketika ekosistem hulu dirusak, dampak langsung jatuh pada masyarakat hilir yang paling rentan.
Indonesia, dengan kerangka hukum lingkungan yang kompleks, seharusnya bisa belajar dari pengalaman ini. Namun, tanpa penegakan hukum terpadu, audit perizinan, dan reformasi tata kelola yang nyata, tragedi akan berulang. Banjir Sumatera Utara 2025 adalah cermin yang memperlihatkan risiko sistemik yang sama di banyak DAS lain di Nusantara.
Momentum Transformasi Nasional
Bencana ini seharusnya menjadi titik balik, bukan sekadar luka. Negara memiliki peluang untuk memperkuat tata kelola lingkungan, memperbaiki OSS-RBA, menegakkan prinsip precautionary principle, dan membangun sistem pengawasan ekologis berbasis data real-time. Reformasi politik dan kelembagaan juga krusial: penguatan aparat pengawas yang independen, transparansi pendanaan bencana, dan penerapan kebijakan tata ruang berbasis daya dukung ekologis (fit-for-ecology zoning).
Jika langkah-langkah ini tidak diambil, Sumatera Utara hanya akan menjadi salah satu dari banyak tragedi yang akan terus berulang. Namun jika dijalankan dengan konsisten, bencana ini bisa menjadi momentum untuk menegakkan keadilan ekologis, sosial, dan hukum secara nyata—sebuah implementasi langsung dari konsep Ius Integrum Nusantara.
Banjir Sumatera Utara 2025 bukan sekadar peristiwa alam yang harus diterima begitu saja. Ia adalah refleksi kegagalan tata kelola, pengabaian hukum lingkungan, dan ketimpangan sosial-struktural. Ia menunjukkan bahwa pembangunan tanpa batas ekologis selalu menimbulkan risiko sistemik, yang akhirnya kembali menagih harga mahal pada masyarakat.
Pelajaran dari bencana ini jelas: hulu yang sehat adalah fondasi bagi hilir yang aman, dan negara yang mampu mengelola lingkungan secara efektif adalah negara yang mampu melindungi warganya dari bencana yang dapat diprediksi. Alam telah memberi peringatan, dan kini giliran manusia untuk merespons dengan kebijakan, hukum, dan tindakan yang sungguh-sungguh. Banjir ini adalah panggilan untuk perubahan—jangan biarkan tragedi menjadi pola, jadikan ia momentum reformasi.
Banjir bandang di Sumatera Utara bukan sekadar air yang meluap, tetapi cermin yang memantulkan wajah kita sendiri—wajah tata kelola yang lelah, penuh luka, dan retak di setiap sendinya. Setiap derasnya air adalah jejak panjang kerusakan yang kita wariskan pada bumi: hutan yang terkoyak, sungai yang kehilangan nafasku, izin yang diterbitkan tanpa kendali, dan kepentingan ekonomi yang menindas kearifan lokal. Alam menagih hutang yang kita abaikan, menuntut tanggung jawab yang selama ini dihindari, mengingatkan bahwa pembangunan tanpa batas ekologis adalah ilusi yang rapuh, sementara kehidupan sejati menunggu untuk ditegakkan kembali.
Di balik tangis warga hilir dan reruntuhan sawah serta rumah, terdengar bisik alam yang menuntun kita merenung: bencana bukan hanya kerusakan fisik, melainkan luka batin kolektif. Pemulihan sejati bukan sekadar menumpuk beton atau menanam kembali pohon, tetapi membangun kembali hubungan manusia dengan alam, menegakkan harmoni yang telah lama hilang. Banjir ini, dalam diamnya yang mengguncang, menanyakan satu hal: apakah kita cukup berani—moral dan politik—untuk mengubah cara berpikir dan bertindak, agar sejarah tidak mengulang luka yang sama dan generasi mendatang mewarisi dunia yang masih mampu bernapas?
I. Ius Integrum Nusantara dan Krisis Banjir Sumatera Utara: Menimbang Hukum, Ekologi, dan Moralitas dalam Tata Kelola Bencana
Air deras itu tidak sekadar menenggelamkan rumah dan sawah; ia menenggelamkan ketenangan hati, menelanjangi wajah tata kelola lingkungan kita yang kusut dan letih. Di hulu Sungai Batang Toru dan Garoga, pepohonan yang seharusnya menahan hujan telah tercerabut oleh ambisi manusia; di hilir, rumah dan impian masyarakat tersapu deras. Banjir ini bukan semata gejala alam; ia adalah gema dari kesalahan yang berlangsung puluhan tahun, dari regulasi yang tumpang tindih hingga perizinan yang menutup mata terhadap kapasitas ekologis. Setiap tetes air membawa pesan: alam bukan musuh, melainkan cermin yang menuntut introspeksi manusia.
Dalam pusaran lumpur dan reruntuhan, kita disadarkan bahwa bencana ini lahir di persimpangan hukum, moral, dan ekologi. Korporasi yang menebang hutan tanpa kendali, birokrasi yang lalai mengawasi, kebijakan yang menomorduakan daya dukung alam—semua bertemu dalam satu titik ledakan: slow violence yang akhirnya menjadi banjir bandang. Hukum lingkungan, bila hanya menjadi prosedur formal tanpa kesadaran moral, akan gagal menahan kehancuran. Dan moral tanpa hukum akan lumpuh di hadapan kekuatan ekonomi yang destruktif. Banjir ini menantang kita untuk menelaah ulang seluruh sistem: apakah negara cukup kuat untuk memulihkan harmoni, ataukah hanya menunggu giliran korban berikutnya?
Di balik reruntuhan, ada panggilan untuk introspeksi kolektif: bahwa manusia bukan tuan alam, tetapi bagian darinya; bahwa pembangunan tanpa batas ekologis selalu menimbulkan risiko sistemik; dan bahwa masa depan generasi yang belum lahir menuntut keberanian kita hari ini. Ius Integrum Nusantara mengingatkan kita bahwa hukum, etika, dan ekologi adalah satu kesatuan. Banjir Sumut bukan sekadar tragedi lokal—ia adalah cermin yang menuntut bangsa ini bertanya: apakah kita akan tetap mengulang kesalahan lama, atau menjadikan air yang menenggelamkan sebagai titik balik, momentum untuk menata ulang relasi manusia dengan alam, dengan hukum, dan dengan hati nurani kita sendiri?
1. Jejak Kasus dan Akar Struktural: Menembus Kabut Informasi dan Kepentingan
Banjir bandang yang menghantam berbagai kabupaten di Sumatera Utara bukan sekadar tragedi yang menyisakan rumah-rumah porak-poranda dan lumpur setinggi lutut. Ia adalah potret telanjang dari kerusakan tata kelola lingkungan yang berlangsung menahun. Dari hulu hingga hilir, dari meja birokrasi hingga ruang rapat korporasi, lapis-lapis masalah ini menyimpan mismanagement ekologis yang sistemik.
Dalam narasi umum, bencana kerap dijelaskan melalui rangkaian sebab-akibat yang sederhana: hujan deras, debit air meningkat, sungai meluap. Namun pendekatan Ius Integrum memandang bencana jauh lebih kompleks. Hujan hanyalah pemicu, bukan penyebab. Di baliknya terdapat apa yang oleh para ilmuwan disebut slow violence—kekerasan yang bekerja perlahan dan diam, mengakumulasi dampak hingga suatu ketika meledak menjadi bencana.
Di sinilah banjir Sumut menjadi penting: ia adalah bencana ekologis, bencana hukum, dan bencana moral sekaligus. Sebuah breakdown sistemik yang menandai keretakan relasi manusia dan alam.
2. Korporasi, Negara, dan Ecological Misconduct: Membaca Ulang Penegakan Hukum Lingkungan
Beberapa pekan setelah banjir, aparat penegak hukum menaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan. Keputusan ini menandakan adanya dugaan kuat pelanggaran hukum lingkungan yang memperparah dampak bencana. Kementerian lingkungan hidup kemudian menyegel sejumlah lahan, termasuk yang dikelola korporasi maupun perseorangan, di kawasan hulu Daerah Aliran Sungai Batang Toru dan Garoga—wilayah yang secara ekologis sangat sensitif.
Dengan langkah-langkah tersebut, narasi publik mulai bergeser. Banjir bukan hanya persoalan cuaca ekstrem, tetapi juga akibat kerusakan tutupan hutan, alih fungsi lahan tak terkendali, illegal logging, serta praktik bisnis yang mengabaikan precautionary principle. Dalam kerangka hukum lingkungan, tindakan-tindakan ini dapat dikategorikan sebagai ecological misconduct—perilaku yang mengganggu kesatuan fungsi ekosistem.
Organisasi masyarakat sipil mendesak pencabutan izin, sementara akademisi mendorong pertanggungjawaban pidana dan perdata. Banjir pun berubah wajah: dari istilah “bencana alam” menjadi anthropogenic disaster—bencana akibat ulah manusia.
3. Ekologi, Etika, dan Ius Integrum: Menggugat Cara Kita Memperlakukan Alam
Pendekatan Ius Integrum Nusantara mengajarkan bahwa hukum harus dibaca bersama ekologi dan etika. Dalam banyak tradisi lokal Nusantara, alam dipahami sebagai sesama makhluk, bukan sekadar objek ekonomi. Namun, perluasan kebun monokultur, pembukaan lahan tanpa kendali, serta lenyapnya ruang hidup flora-fauna telah memutus relasi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam perspektif ekoteologi kontemporer, perilaku eksploitatif manusia dianggap melanggar moral order yang melekat pada ciptaan. Dengan demikian, banjir bukan semata gejala hidrologis, tetapi manifestasi ketidakharmonisan manusia dan alam.
Di sini penegakan hukum bukan sekadar pemidanaan; ia menjadi bagian dari upaya pemulihan moral dan rekonstruksi hubungan ekologis. Setiap langkah hukum harus membawa semangat restorative justice dan ecological responsibility—bahwa kerusakan lingkungan adalah collective loss bagi seluruh warga negara.
4. Maladministrasi, Perizinan, dan Krisis Tata Kelola: Luka Lama dalam Hukum Administrasi Negara
Dimensi administratif menjadi sorotan penting. Degradasi tutupan hutan di kawasan hulu tidak mungkin berlangsung tanpa adanya kekosongan pengawasan atau penyimpangan prosedur. Berbagai izin usaha, mulai dari IUP hingga HGU, sering kali diterbitkan tanpa transparansi, minim konsultasi publik, atau cacat dalam analisis dampak lingkungan.
Fenomena ini mencerminkan administrative deviance—penyimpangan administrasi yang menjadi benih bencana ekologis. Pendekatan Ius Integrum menuntut audit menyeluruh terhadap seluruh proses perizinan. Izin yang terbukti cacat harus dicabut demi hukum, bukan sekadar dibekukan demi meredam tekanan publik.
Pengawasan lembaga antikorupsi terhadap anggaran bencana menambah lapisan penting dalam tata kelola. Setiap bencana membuka celah disaster corruption, sehingga akuntabilitas anggaran menjadi bagian integral dari keadilan ekologis.
5. Keadilan Ekologis dan Masa Depan: Prinsip Transgenerasional
Kerusakan hulu DAS memerlukan waktu puluhan tahun untuk dipulihkan. Karena itu, prinsip intergenerational equity harus menjadi fondasi penegakan hukum lingkungan. Keputusan hari ini tidak boleh menggadaikan masa depan. Pemulihan ekologis harus dilakukan secara ilmiah, terukur, dan diawasi publik.
Pendekatan Ius Integrum Nusantara mengingatkan bahwa setiap bencana ekologis adalah refleksi dari keretakan sistemik: ketidakseimbangan antara regulasi dan pengawasan, antara kebijakan dan moral, antara manusia dan alam. Penyelesaian memerlukan pendekatan holistik—integrative, ethically grounded, dan berakar pada kearifan lokal.
Tragedi banjir Sumut adalah luka, tetapi sekaligus peluang. Ia dapat menjadi turning point menuju tata kelola lingkungan yang lebih reformatif, adil, dan berkelanjutan. Pertanyaannya kembali pada kita: apakah bangsa ini bersedia berubah, ataukah kita menunggu bencana berikutnya datang sebagai buah dari pengulangan kesalahan yang sama? Sejarah akan mencatat pilihan kita. Dan generasi mendatang akan menjadi hakim yang paling jujur.
II. Korporasi, Negara, dan Ecological Misconduct: Membaca Ulang Penegakan Hukum Lingkungan
Air itu datang diam-diam, membawa amarah langit dan jejak tangan manusia yang tak terlihat. Di hulu Batang Toru dan Garoga, pepohonan yang seharusnya menahan hujan telah digerogoti oleh ambisi yang tak terukur, jalur-jalur produksi merayap menembus hutan seperti luka yang membuka diri, dan setiap aliran sungai menahan bisu atas kegagalan kita membaca alam. Banjir bandang ini bukan sekadar tragedi alam; ia adalah gema dari kesalahan struktural, dari regulasi yang tumpang tindih, dari perizinan yang menutup mata pada daya dukung ekologis. Di setiap lumpur yang menyelimuti desa, ada pertanyaan mendasar yang bergema: di mana kehadiran negara, dan sejauh mana tanggung jawab korporasi terhadap tanah, pohon, dan sungai yang mereka ubah demi keuntungan?
Tragedi ini menyingkapkan relasi kuasa yang rapuh antara negara dan korporasi—hubungan yang seharusnya menegakkan keseimbangan ekologis tetapi sering kali justru menjadi arena proteksi kepentingan ekonomi. Legalitas dokumen dan izin formal tampak kokoh di atas kertas, namun legitimasi ekologisnya rapuh; jalan produksi yang dibuka dengan izin resmi menjadi saluran bagi efek domino ekologis, memperparah aliran air dan menghadirkan bencana. Negara, yang seharusnya menjadi wasit antara pertumbuhan dan kelestarian, sering kali absen dalam pengawasan, terseret oleh birokrasi yang lamban dan kepentingan politik yang berpihak. Di sinilah hukum lingkungan diuji: apakah ia cukup kuat untuk menahan ambisi sesaat dan menjaga hak generasi yang akan datang?
Dalam pusaran air dan lumpur itu, kita diingatkan bahwa keuntungan yang diukur dengan uang hanyalah sebagian kecil dari kalkulasi. Biaya ekologisnya—air yang meluap, tanah yang hilang, kehidupan masyarakat yang terguncang—adalah utang yang diwariskan. Ius Integrum Nusantara mengajarkan bahwa hukum, moral, dan ekologi adalah satu kesatuan; bahwa negara harus hadir sebagai penjaga, bukan saksi pasif; bahwa korporasi harus sadar bahwa eksploitasinya bukan hanya urusan legalitas, tetapi soal legitimasi moral dan ekologis. Banjir Sumut bukan sekadar air yang menenggelamkan desa; ia adalah cermin relasi kita dengan alam, dengan hukum, dan dengan diri kita sendiri—menggugat, mengingatkan, dan menuntut kita untuk menata ulang tatanan yang rapuh sebelum hujan berikutnya menagih harga yang lebih mahal.
Tragedi banjir bandang di Sumatera Utara tidak hanya membuka kembali luka ekologis yang telah lama membusuk, tetapi juga menguak lapisan relasi kuasa antara negara, korporasi, dan masyarakat. Di balik arus air yang membawa lumpur dan batang pohon, terdapat jejak interaksi kompleks antara kepentingan ekonomi, regulasi yang longgar, serta praktik pengelolaan sumber daya alam yang jauh dari prinsip ecological prudence. Bencana ini menempatkan kita pada satu pertanyaan mendasar: sejauh mana negara hadir untuk menegakkan hukum lingkungan, dan sejauh mana korporasi bertanggung jawab atas dampak kegiatan mereka?
Dalam kacamata Ius Integrum Nusantara, hubungan antara negara dan korporasi tidak dapat dipisahkan dari moralitas ekologis. Negara bukan hanya pemegang otoritas hukum, tetapi juga aktor moral yang wajib menjaga keseimbangan ekologis demi generasi mendatang. Sebaliknya, korporasi bukan sekadar subjek hukum yang mengejar keuntungan, melainkan entitas yang memiliki tanggung jawab sosial dan ekologis.

Namun banjir Sumut justru memperlihatkan bagaimana relasi ini sering kali berfungsi sebaliknya: ketika kekuasaan administratif yang lemah bertemu dengan kepentingan ekonomi yang kuat, yang lahir adalah ecological misconduct—serangkaian tindakan, kelalaian, atau pembiaran yang merusak ekosistem secara sistemik.
Ketika Hukum Tidak Menggigit: Benang Kusut Penegakan Regulasi
Sejak penyidikan dinaikkan ke tahap yang lebih serius, aparat penegak hukum menemukan indikasi awal tentang adanya pelanggaran terhadap UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun benang kusut ini tidak muncul tiba-tiba. Dalam banyak kasus lingkungan di Indonesia, pola yang muncul hampir serupa: regulasi tersedia, tetapi implementasi tertatih; sanksi ada, tetapi penindakan tumpul.
Hukum lingkungan nasional sebenarnya telah menyediakan perangkat yang cukup progresif. Undang-undang mengakui pertanggungjawaban korporasi, menjatuhkan sanksi pidana bagi pejabat yang lalai, bahkan membuka ruang bagi gugatan strict liability terhadap pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan. Tapi banjir Sumut memperlihatkan jurang yang lebar antara norma dan kenyataan.
Korporasi yang diduga melanggar, misalnya, tidak hanya dituduh membuka lahan tanpa izin atau menyalahi persyaratan AMDAL. Dalam beberapa temuan lapangan, ada indikasi bahwa mereka melakukan pembukaan jalan produksi di kawasan hulu DAS tanpa persetujuan lingkungan yang memadai. Jalan produksi tersebut kemudian menjadi pintu masuk bagi aktivitas pembalakan dan perambahan lanjutan—sebuah efek domino ekologis yang tidak terlihat di permukaan, tetapi sangat menentukan arah aliran air ketika hujan turun.
Di sisi lain, pengawasan negara sering kali terjebak dalam mekanisme administratif yang birokratis. Pemeriksaan dokumen lebih sering dilakukan daripada pemeriksaan lapangan; laporan korporasi sering diterima begitu saja tanpa verifikasi; sementara keluhan masyarakat kerap tenggelam dalam tumpukan berkas atau sekadar “dinyatakan sedang dalam proses.”
Fenomena ini menggambarkan kondisi yang dalam kajian hukum administrasi disebut enforcement deficit—kekurangan penegakan hukum yang menyebabkan aturan kehilangan daya gigitnya.
Korporasi dalam Pusaran Kepentingan: Antara Legalitas dan Legitimasi
Korporasi yang beroperasi di kawasan hulu DAS sering berlindung di balik legalitas: mereka menunjukkan peta izin, mengklaim kepatuhan, dan menegaskan bahwa kegiatan mereka sudah melalui prosedur negara. Namun legalitas tidak selalu identik dengan legitimasi ekologis.
Dalam tata kelola lingkungan modern, legalitas adalah titik awal; legitimasi ekologis adalah tujuan akhir. Sebuah izin yang diberikan melalui prosedur formal belum tentu sah secara moral jika izin itu tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan, atau jika ia diterbitkan tanpa analisis yang memadai tentang dampaknya bagi masyarakat dan ekosistem.
Di sinilah titik temu antara etika lingkungan dan hukum positif diuji.
Banyak korporasi mungkin memegang HGU atau IUP yang sah secara dokumen, tetapi tidak dapat menjawab pertanyaan paling mendasar: apakah kegiatan mereka memperkuat atau merusak ekologi kawasan hulu? Jika jawabannya adalah yang kedua, maka legalitas tersebut tidak memiliki legitimasi publik.
Dalam konteks banjir Sumut, legitimasi inilah yang dipertanyakan masyarakat. Mereka melihat pepohonan tumbang, bukit-bukit gundul, jalan-jalan produksi yang berliku hingga ke hulu, dan bertanya: “Bagaimana mungkin semua ini mendapatkan izin?”
Pertanyaan sederhana itu sesungguhnya memuat analisis hukum yang sangat dalam.
Negara sebagai Pengawas yang Absen: Celah Pengawasan dan Kebijakan yang Melumpuhkan
Dalam teori regulatory governance, negara berperan sebagai wasit antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Namun banjir Sumut menunjukkan bahwa negara kerap absen dalam peran tersebut. Pengawasan lapangan minim, koordinasi antarinstansi lemah, dan pertimbangan ekologis sering kalah oleh alasan ekonomi pembangunan.
Sebagian besar persoalan muncul dari tidak sinkronnya kebijakan pusat dan daerah. Pemerintah pusat menerbitkan regulasi yang ketat terkait perlindungan DAS, tetapi pemerintah daerah justru memberikan ruang bagi kegiatan yang mengabaikan daya dukung. Tumpang tindih ini membentuk celah pengawasan yang dimanfaatkan oleh aktor-aktor tertentu.
Pada saat yang sama, instrumen seperti AMDAL sering dijadikan formalitas. Dalam sejumlah kasus, dokumen AMDAL disusun tanpa partisipasi publik yang bermakna, atau hanya memuat analisis generik yang tidak mencerminkan kondisi ekologis unik kawasan hulu. Ketika negara gagal menjalankan tugas pengawasan, lahirlah situasi yang oleh para ahli disebut institutional void—kekosongan institusi yang membuat ekosistem dibiarkan tanpa perlindungan.
Banjir sebagai Cermin Kegagalan Relasi Negara–Korporasi
Tragedi ini pada akhirnya menegaskan bahwa penegakan hukum lingkungan tidak dapat dipahami secara parsial. Ia bukan sekadar urusan pidana atau administratif. Ia adalah cermin hubungan antara kekuasaan ekonomi dan otoritas negara—hubungan yang seharusnya saling mengawasi, tetapi dalam banyak kasus justru saling menopang.
Ketika kekuasaan ekonomi terlalu kuat, regulasi menjadi lemah. Ketika negara terlalu lunak, korporasi menjadi berani. Dalam ruang abu-abu itu, ekosistem menjadi korban pertama.
Ius Integrum Nusantara memandang bahwa hubungan negara–korporasi harus dibangun ulang melalui prinsip keseimbangan ekologis, akuntabilitas publik, dan moralitas lingkungan. Negara harus hadir bukan sebagai pemberi izin yang pasif, tetapi sebagai penjaga tatanan ekologis. Sementara korporasi harus menyadari bahwa keuntungan yang berasal dari kerusakan lingkungan hanyalah keuntungan semu—karena biaya ekologisnya akan ditanggung masyarakat luas, termasuk mereka sendiri di masa depan.
Mengembalikan Hukum pada Hakikatnya
Dengan demikian, proses pembelajaran ini mengingatkan kita bahwa hukum lingkungan tidak hidup dalam ruang steril. Ia lahir, bekerja, dan diuji dalam relasi kompleks antara kepentingan ekonomi, kekuasaan politik, dan kondisi ekologi. Banjir Sumut memperlihatkan bagaimana ecological misconduct dapat terjadi ketika negara gagal mengawasi dan korporasi gagal mempertanggungjawabkan eksploitasinya.
Jika hukum ingin kembali pada hakikatnya sebagai instrumen perlindungan kehidupan, maka penegakan hukum lingkungan harus ditempatkan di pusat tata kelola. Tanpa itu, setiap izin adalah potensi bencana, setiap pembukaan lahan adalah pertaruhan, dan setiap hujan deras adalah ancaman baru bagi masyarakat.
III. Ekologi, Etika, dan Ius Integrum: Menggugat Cara Kita Memperlakukan Alam
Air yang meluap dari hulu Batang Toru dan Garoga tidak sekadar menenggelamkan desa-desa, ia menelanjangi cara kita memandang alam. Banjir Sumatera Utara bukan sekadar tragedi fisik; ia adalah cermin besar yang menyorot rapuhnya relasi manusia dengan ekosistem yang menopang hidupnya. Setiap lumpur yang menyapu jalan, setiap pohon tumbang yang terseret arus, menyampaikan pesan diam: batas kesabaran alam telah terlampaui. Hukum, etika, dan kebijakan publik bertemu di titik yang sama—menguji kesadaran moral kita, menantang keberanian kita untuk membangun ulang cara manusia memperlakukan bumi. Dalam kegaduhan air dan tanah yang hancur itu, pertanyaan yang sederhana namun berat bergema: apakah kita masih melihat alam sebagai subjek kehidupan, atau hanya sebagai objek ekonomi yang bisa dieksploitasi tanpa batas?
Ius Integrum Nusantara menawarkan lensa berbeda: hukum bukan sekadar aturan, tetapi jalinan nilai yang mengikat manusia pada tanggung jawab ekologis. Banjir ini bukan kegagalan semata regulasi administratif, tetapi kegagalan paradigma—ketidakmampuan untuk memahami bahwa hutan, sungai, dan tanah memiliki hak dan martabat sendiri. Dalam tradisi hukum adat Nusantara, hutan keramat, sungai sebagai ibu, gunung sebagai leluhur, bukan sekadar simbol spiritual, tetapi wujud pengetahuan ekologis yang menjaga keseimbangan kehidupan. Paradigma antroposentris—yang menempatkan manusia sebagai pusat dan alam sebagai alat—telah menimbulkan ketimpangan fatal: setiap jalan produksi yang menembus hutan, setiap izin yang diterbitkan tanpa pertimbangan ekologis, menjadi benih bagi bencana yang tak terelakkan.
Banjir ini, dengan segala kekerasannya, mengingatkan kita bahwa setiap ekosistem memiliki batas. Ketika kapasitasnya melebihi daya tampung, ketika keputusan manusia meniadakan keseimbangan moral, kehancuran menjadi tak terelakkan. Ius Integrum memanggil kita untuk menempatkan ekologi di pusat hukum dan moral, menegaskan bahwa pelestarian bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi tanggung jawab etis terhadap generasi yang akan datang. Negara dan korporasi bukan satu-satunya pihak yang diuji; kita semua, sebagai komunitas moral, harus belajar membaca bahasa air dan tanah, menemukan kembali cara menghormati bumi yang telah memberi kita kehidupan, dan membangun hubungan baru yang berlandaskan kehormatan, bukan eksploitasi. Banjir Sumut bukan hanya bencana, ia adalah panggilan—untuk berubah, sebelum kehancuran berikutnya mengetuk pintu kita.
Banjir bandang di Sumatera Utara bukan hanya tragedi ekologis atau administratif; ia adalah cermin besar yang menyorot cara kita memperlakukan alam. Bencana itu berkata banyak tanpa suara: ia menunjukkan batas-batas kesabaran ekosistem, sekaligus mempertanyakan keberanian moral kita untuk menata ulang hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam tragedi tersebut, hukum lingkungan, etika ekologis, dan kebijakan publik bertemu dalam satu titik: siapa sebenarnya yang bertanggung jawab menjaga bumi tempat kita berpijak?
Ius Integrum Nusantara menawarkan perspektif alternatif: hukum tidak berdiri sendiri sebagai seperangkat aturan, melainkan sebagai jalinan nilai, moral, dan kewajiban ekologis yang mengakar dalam keberlanjutan. Dalam kerangka ini, krisis ekologis bukan sekadar kegagalan regulasi, tetapi kegagalan paradigma—kegagalan memahami bahwa alam bukan sekadar objek eksploitasi, melainkan subjek moral yang memiliki nilai intrinsik.
Menggeser Lensa: Dari Antroposentrisme Menuju Etika Ekologis
Selama berabad-abad, kebijakan sumber daya alam Indonesia dibangun di atas paradigma antroposentris—pandangan bahwa alam adalah instrumen bagi kesejahteraan manusia. Paradigma ini tercermin dalam cara negara menerbitkan izin, merancang tata ruang, hingga memberikan toleransi terhadap aktivitas ekstraktif yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
Namun banjir Sumut memperlihatkan keterbatasan paradigma tersebut. Ketika alam diperlakukan semata-mata sebagai objek ekonomi, keseimbangannya rapuh, dan kerusakan menjadi konsekuensi yang bisa ditebak. Etika ekologis menawarkan sudut pandang berbeda: bahwa hutan, sungai, dan ekosistem memiliki nilai yang tidak tergantung pada manfaat ekonominya. Mereka adalah bagian dari jaringan kehidupan yang saling menopang.
Dalam tradisi hukum adat Nusantara, misalnya, terdapat konsep larangan membuka hutan keramat atau menebang pohon tertentu karena diyakini merusak harmoni kosmik. Ini bukan sekadar kepercayaan spiritual, tetapi juga bentuk pengetahuan ekologis yang berfungsi menjaga keseimbangan lingkungan. Jika tradisi itu dibaca ulang, ia memperlihatkan prinsip ecological stewardship—tanggung jawab moral untuk merawat alam. Ius Integrum mencoba menghidupkan kembali warisan ini: menempatkan ekologi sebagai inti, bukan pelengkap, dalam kebijakan hukum.
Alam sebagai Subjek Moral: Menemukan Kembali Jejak Hukum Alam
Dari perspektif filsafat hukum, bencana ekologis menantang kita untuk meninjau ulang posisi alam dalam hukum positif. Selama ini, hukum lingkungan memandang alam sebagai objek perlindungan, bukan sebagai entitas yang memiliki hak moral. Namun berbagai negara telah mulai menggeser paradigma tersebut. Selandia Baru memberikan status legal personhood pada Sungai Whanganui; Ekuador memasukkan rights of nature dalam konstitusinya; Kolombia mengakui Amazon sebagai entitas yang berhak dipulihkan.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa dunia sedang bergerak menuju generasi baru hukum lingkungan—hukum yang mengakui bahwa merusak alam sama dengan melanggar hak entitas ekologis itu sendiri.
Indonesia sejatinya memiliki fondasi kultural yang kuat untuk mengadopsi pendekatan serupa. Dalam berbagai tradisi lokal, sungai dipersonifikasi sebagai ibu, hutan sebagai penjaga, gunung sebagai leluhur. Narasi-narasi ini menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara sejak lama memandang alam sebagai entitas hidup. Jika pendekatan ini disintesiskan melalui Ius Integrum, ia menawarkan paradigma hukum yang lebih komprehensif: hukum yang tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan martabat ekologis kawasan yang rusak.
Bencana sebagai Penanda Batas: Di Mana Daya Dukung memudar
Banjir bandang menjadi pengingat tajam bahwa setiap ekosistem memiliki batas. Daya dukung dan daya tampung bukan sekadar konsep teknis dalam dokumen perencanaan, tetapi representasi matematis dari keseimbangan ekologis yang rapuh. Ketika pembukaan lahan melebihi ambang batas itu, ekosistem kehilangan kemampuannya menyerap gangguan.
Pada titik kritis tersebut, ekosistem masuk ke fase ecological collapse—keruntuhan sistemik yang dipicu oleh satu kejadian tunggal, meski akar penyebabnya berlangsung bertahun-tahun.
DAS yang dulunya mampu meresap air menjadi tidak lebih dari kanal besar yang mempercepat laju arus. Lereng yang gundul berubah menjadi jalur percepatan longsor. Sungai yang menyempit oleh sedimentasi berubah menjadi alur yang mudah meluap. Semua ini bukan kehendak alam, melainkan buah dari keputusan-keputusan manusia.
Dalam pandangan etika lingkungan, keputusan-keputusan tersebut adalah moral failure—kegagalan untuk menghormati batas alam, dan mengabaikan kewajiban antar-generasi (intergenerational responsibility). Sebab, setiap kerusakan yang terjadi hari ini adalah beban yang diwariskan kepada generasi berikutnya.
Ius Integrum sebagai Jalan Tengah: Menyatukan Hukum, Sains, dan Moralitas
Pendekatan Ius Integrum tidak memilih antara hukum positif atau etika ekologis; ia memadukan keduanya dalam satu kesatuan metodologis. Di bawah kerangka ini, analisis ekologis bukan pelengkap, tetapi fondasi.
Misalnya, kerusakan hutan hulu tidak hanya dipandang sebagai pelanggaran administratif, tetapi sebagai pelanggaran terhadap tatanan ekologis yang melanggar prinsip moral kolektif. Pembukaan jalan produksi bukan sekadar non-compliance, tetapi bentuk ecological negligence—kelalaian ekologis yang memicu risiko bagi masyarakat.
Dengan demikian, Ius Integrum memberikan cara pandang holistik yang mampu menjelaskan mengapa bencana seperti banjir Sumut tidak pernah berdiri sendiri. Ia adalah hasil interaksi antara aturan yang longgar, sains ekologis yang diabaikan, moralitas yang berkompromi, dan tata kelola yang tidak terintegrasi.
Pendekatan ini menuntut negara untuk mengadopsi prinsip ecological constitutionalism—konstitusionalisme ekologis yang menempatkan keberlanjutan sebagai norma dasar. Pada saat yang sama, ia menuntut korporasi untuk menjalankan ecological due diligence—kehati-hatian ekologis yang tidak berhenti pada kepatuhan administratif.
Belajar dari Negara Lain: Komparasi yang Menguatkan
Dalam beberapa dekade terakhir, negara-negara di Amerika Latin, Skandinavia, dan Oseania memperlihatkan bagaimana pendekatan etis-ekologis dapat diintegrasikan dalam kebijakan publik. Ekuador dan Bolivia mengadopsi konsep Pachamama dalam hukum nasional mereka, mengakui hak alam untuk pulih. Selandia Baru menyusun tata kelola sungai yang melibatkan komunitas adat sebagai co-governor, menegaskan bahwa pengelolaan ekosistem harus bertumpu pada kearifan lokal.
Praktik-praktik ini sejalan dengan tradisi hukum Nusantara yang menempatkan alam sebagai bagian dari identitas komunal. Dengan demikian, transisi menuju pendekatan Ius Integrum bukan hanya progresif, tetapi juga konsisten dengan akar budaya Indonesia.
Menggugat Cara Kita Memperlakukan Alam
Selanjutnya, dari hasil pembahasan ini juga menegaskan satu gagasan pokok: tragedi ekologis adalah refleksi dari hubungan manusia dengan alam yang kehilangan keseimbangan moral. Meletakkan ekologi di pusat hukum bukan langkah simbolis, tetapi sebuah kebutuhan mendesak. Tanpa pergeseran paradigma etis, setiap regulasi hanya menjadi dokumen; setiap izin hanya menjadi lembaran kertas; dan setiap bencana akan kembali datang dengan wajah yang sama—lebih ganas, lebih mematikan.
Banjir Sumut mengajukan pertanyaan yang tidak dapat ditunda: apakah kita masih mampu membangun hubungan baru dengan alam, hubungan yang berbasis penghormatan, bukan eksploitasi? Pertanyaan itu bukan hanya urusan negara atau korporasi, tetapi urusan kita sebagai komunitas moral.
IV. Kegagalan Tata Kelola dan Runtuhnya Sistem Pengawasan Lingkungan
Banjir bandang di Sumatera Utara bukan sekadar luapan air atau kerusakan fisik; ia adalah gema dari sistem yang runtuh, tatanan yang lemah, dan pengawasan yang menguap. Di hulu, ekosistem kelelahan, dan di pusat birokrasi, institusi tampak tak berdaya. Kedua hal ini saling menegaskan, saling memperparah, hingga tragedi menjadi tak terhindarkan. Rumah-rumah hanyut, mata pencaharian hilang, bahkan nyawa menjadi taruhan. Semua ini bukan peristiwa tiba-tiba, tetapi akumulasi dari kealpaan struktural yang menahun—lapisan demi lapisan celah yang membiarkan pengawasan memudar, regulasi tumpang tindih, dan kepentingan ekonomi mendominasi.
Di lapangan, negara sering absen di titik kritis. Jalan-jalan produksi menembus hutan hulu, laporan masyarakat mengendap di meja, dan pejabat publik terperangkap dalam logika patronase yang menjadikan pengawasan transaksional. Sistem perizinan yang seharusnya berbasis risiko justru sering melompong, menilai ekosistem rapuh sebagai area aman, sehingga izin bisa diterbitkan tanpa kendali. Ketika koordinasi antarinstansi minim, setiap simpul kelembagaan menjadi titik lemah; seperti jaringan ekosistem yang putus satu bagiannya, seluruh tatanan rapuh. Di sinilah banjir bukan sekadar fenomena alam, tetapi cermin runtuhnya tata kelola, fragmen kelemahan institusi, dan kegagalan moral kolektif.
Ius Integrum Nusantara menawarkan cara pandang berbeda: tata kelola lingkungan harus menjadi jaringan yang kohesif, menghubungkan hukum, ekologi, dan moralitas. Negara harus hadir bukan sekadar sebagai pemberi izin, tetapi sebagai pelindung ekosistem; korporasi harus menyadari bahwa keuntungan sesaat tak sebanding dengan kerusakan yang diwariskan. Reformasi sistemik bukan pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Setiap hutan yang hilang adalah risiko, setiap izin yang longgar adalah ancaman, dan setiap hujan deras berpotensi menjadi tragedi baru—hingga kita belajar, dengan cara yang paling keras, bahwa pengawasan yang absen adalah kematian yang tertunda bagi alam dan manusia.
Banjir bandang Sumatera Utara tidak hanya mengungkap kerentanan ekologis, tetapi juga menyingkap sesuatu yang lebih dalam: runtuhnya sistem pengawasan lingkungan yang selama ini menjadi fondasi tata kelola sumber daya alam. Jika hulu yang rusak adalah gambaran kelelahan ekosistem, maka tumpulnya pengawasan adalah potret rapuhnya institusi negara. Keduanya saling menegaskan, saling memperparah, dan akhirnya berkelindan dalam tragedi yang merenggut rumah, mata pencarian, bahkan nyawa.
Dalam kerangka Ius Integrum, tata kelola lingkungan bukan sekadar mekanisme administratif. Ia adalah jantung dari hubungan negara dengan alam dan warganya. Ketika tata kelola melemah, ekosistem kehilangan pelindungnya. Ketika pengawasan runtuh, kerusakan menjadi keniscayaan. Banjir Sumut adalah kulminasi dari kegagalan itu—kegagalan yang tidak terjadi tiba-tiba, tetapi melalui akumulasi kealpaan struktural selama bertahun-tahun.
Tumpang-Tindih Regulasi: Ketika Aturan Tidak Saling Berbicara
Salah satu akar persoalan tata kelola di Indonesia adalah tumpang tindih regulasi yang mengatur hutan, lingkungan, perkebunan, dan tata ruang. Setiap kementerian seolah bekerja dengan logikanya sendiri, tanpa jembatan yang memadai untuk menghubungkan kepentingan ekologis secara holistik.
Kebijakan kehutanan menekankan fungsi lindung; kebijakan perkebunan menekankan produksi; kebijakan penanaman modal memberi insentif investasi; sementara kebijakan tata ruang berupaya menata semuanya, tetapi sering disusun berdasarkan data yang berbeda-beda. Dalam situasi semacam ini, hutan bukan lagi entitas ekologis yang utuh, melainkan sekadar ruang yang diperebutkan oleh berbagai rezim hukum.
Di Sumatera Utara, persoalan ini tampak jelas. Ada kawasan yang secara ekologis berada pada hulu DAS dan seharusnya menjadi hutan lindung, namun dalam dokumen tata ruang ditetapkan sebagai zona budidaya. Ketidaksinkronan ini melahirkan ambiguitas: di atas kertas negara melindungi, tetapi di lapangan negara membuka ruang untuk eksploitasi.
Dalam teori regulatory coherence, ketidaksinkronan semacam ini menciptakan governance vacuum—ruang kosong yang memfasilitasi pembiaran dan penyalahgunaan.
Pengawasan Lapangan yang Lemah: Ketika Negara Tidak Hadir di Titik Kritis
Pengawasan lingkungan di Indonesia banyak mengandalkan laporan berkala dari pelaku usaha, padahal laporan tersebut kerap disusun dengan kepentingan korporasi di dalamnya. Di sisi lain, kemampuan pemerintah melakukan verifikasi lapangan terbatas oleh anggaran, perangkat, dan jumlah sumber daya manusia.
Di wilayah hulu DAS seperti Batang Toru dan Garoga, lokasi-lokasi kegiatan berada jauh dari pusat pemerintahan. Jalan terjal, akses terbatas, cuaca tidak menentu—semuanya membuat pengawasan menjadi sporadis. Namun kondisi geografis bukan alasan. Justru di wilayah-wilayah rawan inilah pengawasan harus lebih ketat. Kelemahan ini memperlihatkan apa yang dalam kajian administrasi publik disebut under-enforcement phenomenon: ketika negara gagal memonitor pelaku, dan pada saat yang sama gagal menanggapi sinyal peringatan dari masyarakat. Banyak laporan warga tentang pembalakan liar mengendap begitu saja di kantor pemerintah daerah. Ketika banjir datang, semua pihak terlambat mengakui bahwa sinyal-sinyal itu sebenarnya sudah ada sejak lama.
Pengawasan yang tidak efektif berarti negara hanya menjadi penerbit izin, bukan penjaga kelestarian. Dan ketika peran negara menyempit, ruang bagi praktik-praktik tidak bertanggung jawab mengembang luas.
Ketergantungan pada Pendapatan Daerah: Pintu Masuk Penyimpangan
Tidak dapat dipungkiri, banyak daerah mengandalkan investasi berbasis lahan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Ketergantungan ini menciptakan dilema: di satu sisi daerah ingin menjaga lingkungan, namun di sisi lain mereka membutuhkan penerimaan dari sektor perkebunan atau usaha berbasis lahan.
Dilema ini sering kali diselesaikan dengan kompromi yang merugikan ekologi. Daerah memilih membuka ruang bagi izin baru meski daya dukung sudah kritis. Prinsip kehati-hatian tergeser oleh kebutuhan ekonomi jangka pendek.
Dalam pendekatan political ecology, kondisi semacam ini dikenal sebagai developmental trap—perangkap pembangunan yang memaksa daerah mengejar investasi tanpa mempertimbangkan implikasi ekologis. Pada akhirnya, daerah memperoleh pendapatan, tetapi kehilangan hutan, tanah, dan keamanan ekologisnya.
Banjir Sumut memperlihatkan bagaimana perangkap ini bekerja: beberapa daerah memiliki pendapatan dari sektor berbasis lahan, tetapi biaya ekologis dari kerusakan jauh lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh.
Sistem Perizinan yang Melompong: Ketika OSS-RBA Tidak Bertemu Realitas Lapangan
Sistem perizinan elektronik seperti OSS-RBA diharapkan menjadi fondasi baru tata kelola investasi berbasis risiko. Namun di lapangan, sistem ini tidak selalu selaras dengan kebutuhan pengawasan ekologis. Pengawasan berbasis risiko membutuhkan data yang akurat dan mutakhir, sementara data daya dukung lingkungan di banyak daerah masih minim atau tidak diperbarui.
Akibatnya, penilaian risiko sering kali tidak mencerminkan kondisi ekologis sebenarnya. Suatu area mungkin dinilai rendah risikonya secara administratif, padahal secara ekologis sangat rentan. Hal ini terjadi karena penentuan risiko sering bertumpu pada dokumen, bukan pada fakta lapangan.
Dalam ekosistem hulu DAS, hal ini berdampak fatal. Setiap ketidaktepatan penilaian risiko membuka peluang terjadinya misclassification, yakni salah mengkategorikan tingkat ancaman terhadap ekologi. Ketika risiko rendah padahal ancaman tinggi, izin dapat terbit tanpa pembatasan ketat, dan pengawasan menjadi longgar.
Inilah celah yang memungkinkan aktivitas korporasi di hulu berlangsung tanpa kontrol memadai—celah yang kemudian berkontribusi pada kerentanan ekologis yang memuncak dalam banjir bandang.
Regulatory Capture: Ketika Pengawasan Menjadi Transaksional
Di berbagai daerah, tata kelola lingkungan sering terjebak dalam relasi patronase. Ketika pejabat publik memiliki kedekatan dengan pelaku usaha, pengawasan menjadi subyektif, bukan objektif. Fenomena ini dikenal sebagai regulatory capture—situasi ketika institusi pengawas justru dikuasai oleh pihak yang seharusnya diawasi.
Dalam kasus Sumut, indikasi ini tampak dari keberlanjutan operasi di beberapa lokasi meski kondisi ekologis sudah menunjukkan tanda-tanda kritis. Pembukaan jalan, ekspansi kebun, atau operasi penebangan tetap berjalan lancar meski berbagai laporan menyebutkan adanya potensi kerusakan.
Fenomena regulatory capture ini tidak hanya bertentangan dengan hukum positif, tetapi juga melanggar prinsip moral Ius Integrum yang menempatkan kelestarian ekologis di atas kepentingan ekonomi sesaat.
Ketika pengawas dan yang diawasi berada dalam orbit kepentingan yang sama, hutan kehilangan pembelanya, sungai kehilangan penjaganya, dan masyarakat kehilangan negara.
Kebijakan yang Tidak Terintegrasi: Absennya Mekanisme Koordinasi
Salah satu kelemahan paling mencolok dalam tata kelola lingkungan adalah minimnya koordinasi antarinstansi. Meski kerusakan lingkungan bersifat multisektor, respons pemerintahan sering kali terfragmentasi.
Kementerian kehutanan fokus pada kawasan hutan; instansi lingkungan fokus pada pencemaran; dinas perkebunan fokus pada produksi; badan penanggulangan bencana fokus pada mitigasi dampak. Namun tidak ada jembatan yang memastikan bahwa kebijakan masing-masing selaras satu sama lain.
Dalam Ius Integrum, tata kelola justru harus bekerja seperti jaringan ekosistem: saling terhubung, saling mempengaruhi, saling melindungi. Jika satu simpul lemah, seluruh jaringan rapuh.
Kekosongan koordinasi inilah yang membuat Sumut tidak memiliki sistem kewaspadaan dini berbasis ekologi. Tidak ada integrasi data tutupan hutan, sedimentasi sungai, perubahan lahan, dan potensi bencana hidrometeorologi—padahal seluruh variabel itu bergerak bersama menuju titik kritis.
Reformasi Tata Kelola sebagai Kebutuhan Sistemik
Bagian ini menyimpulkan bahwa banjir Sumut bukan hanya kegagalan ekologi, tetapi kegagalan institusi. Runtuhnya pengawasan, tumpang tindih regulasi, penilaian risiko yang keliru, dan dominasi kepentingan ekonomi menciptakan sistem pengelolaan lingkungan yang rapuh—sistem yang tidak mampu bertahan ketika tekanan meningkat.
Ius Integrum menawarkan solusi berbasis integrasi: menghubungkan kembali hukum, ekologi, dan moralitas dalam tata kelola yang kohesif. Tanpa reformasi tata kelola yang sistemik, setiap hutan yang hilang adalah ancaman, setiap izin adalah potensi risiko, dan setiap hujan deras dapat berubah menjadi tragedi.
V. Pertanggungjawaban Hukum dan Jalan Panjang Pemulihan Ekologis
Banjir bandang yang menelan wilayah Sumatera Utara bukan hanya soal air yang mengamuk, tanah yang longsor, atau rumah yang hanyut. Ia adalah cermin dari kerentanan hukum dan moral yang tergerus—pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab, sejauh mana negara hadir, dan bagaimana kita menata kembali hubungan manusia dengan alam yang telah terluka. Di hulu, aktivitas manusia menorehkan luka panjang pada ekosistem; di hilir, masyarakat menanggung akibatnya, menatap kehancuran yang tampak tiba-tiba padahal akarnya menahun. Tragedi ini bukan hanya peristiwa alam, tetapi cermin dari runtuhnya sistem pengawasan, lemahnya tata kelola, dan tumpang tindih regulasi yang membuat izin, hukum, dan moral tampak berbicara dalam bahasa berbeda.
Dalam kerangka Ius Integrum Nusantara, pertanggungjawaban hukum tidak sekadar menuntut pembalasan, tetapi merajut kembali keseimbangan yang terganggu. Hukum pidana harus menembus lapisan kerusakan yang sistematis, menyoroti para pelaku struktural yang menata dan memelihara jalur kehancuran, bukan hanya individu di lapangan. Hukum perdata dan mekanisme administratif harus bergerak lebih jauh, memulihkan lanskap hulu DAS, menata sungai, reboisasi hutan, dan mengembalikan hak masyarakat yang paling terdampak. Setiap langkah adalah bagian dari keadilan restoratif—upaya memulihkan martabat ekologis, sosial, dan moral, yang tak dapat dicapai melalui denda atau hukuman semata.
Pemulihan ekologis adalah jalan panjang, bukan proyek instan. Ia menuntut pendekatan lanskap, partisipasi masyarakat lokal, pengakuan terhadap pengetahuan adat, dan transparansi penuh dalam pengawasan. Hanya dengan cara ini, luka ekologis bisa sembuh, dan kepercayaan yang terkikis antara manusia, negara, dan alam bisa diperbaiki. Banjir Sumut bukan sekadar tragedi, melainkan panggilan untuk transformasi: untuk menegakkan hukum yang kuat, memulihkan ekosistem yang rusak, dan membangun sistem yang menghormati alam bukan karena indah, tetapi karena ia adalah syarat keberlangsungan hidup. Tragedi ini menantang kita memilih—antara jalan pemulihan yang panjang, atau jalan pembiaran yang mengundang bencana berikutnya.
Ketika banjir bandang menyapu wilayah-wilayah di Sumatera Utara—menggulung rumah, ladang, dan rasa aman masyarakat—ia tidak hanya merusak lanskap fisik, tetapi juga membongkar lanskap tanggung jawab negara dan para pelaku. Di titik ini, tragedi tidak lagi sekadar peristiwa alam atau resultante kerusakan hutan; ia menjelma menjadi pertanyaan mendasar tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab, bagaimana tanggung jawab itu ditegakkan, dan sejauh mana hukum mampu memulihkan luka ekologis yang telah menganga.
Dalam perspektif Ius Integrum Nusantara, penegakan hukum bukanlah proses pembalasan hukum semata. Ia adalah ikhtiar restoratif untuk memulihkan keseimbangan moral, ekologi, dan sosial yang telah terganggu. Banjir Sumut, dengan demikian, bukan hanya membutuhkan hukuman, tetapi juga membutuhkan pemulihan menyeluruh yang terencana dan terjaga oleh integritas publik.
Pertanggungjawaban Pidana: Menembus Lapisan Kerusakan yang Sistematis
Langkah penyidik untuk menaikkan kasus dugaan tindak pidana lingkungan ke tahap penyidikan merupakan titik balik penting. Tindakan ini menandakan bahwa negara mengakui adanya reasonable suspicion terhadap perbuatan melawan hukum yang mungkin turut memperparah atau bahkan memicu bencana. Pada tahap ini, hukum pidana berfungsi sebagai instrumen untuk menggali kebenaran: apakah ada kegiatan ilegal seperti illegal logging, pembukaan lahan tanpa izin, atau pelanggaran terhadap dokumen AMDAL?
Hukum pidana lingkungan di Indonesia, meski sering dinilai belum tajam, sebenarnya menyediakan mekanisme penegakan yang cukup kuat—terutama terhadap korporasi. Pertanggungjawaban pidana korporasi telah mendapat pengakuan normatif, memungkinkan negara menuntut bukan hanya individu di lapangan, tetapi juga manajemen dan entitas hukum sebagai pelaku.
Dalam konteks banjir Sumut, hal ini penting. Kerusakan ekologis pada hulu DAS biasanya tidak dilakukan oleh aktor tunggal. Ia merupakan hasil dari rantai aktivitas yang melibatkan perencana, pengambil keputusan, pelaksana, dan pihak yang menikmati keuntungan. Pemidanaan yang hanya berfokus pada pelaku lapangan tidak akan efektif; yang harus diungkap adalah structural offenders—para aktor yang membentuk dan memelihara struktur kerusakan.
Pendekatan pidana dalam kerangka Ius Integrum juga menekankan dimensi moral: bahwa merusak lingkungan hingga menimbulkan bencana adalah pelanggaran terhadap martabat ekologis yang harus dipulihkan. Dengan kata lain, pidana tidak hanya menjerakan; ia mengembalikan rasa keadilan ekologis masyarakat.
Pertanggungjawaban Perdata: Menghitung Kerugian, Mengembalikan Hak Publik
Jika pidana menyasar pelanggaran, maka perdata menyasar pemulihan. Kerugian ekologis tidak hanya bersifat material, seperti rusaknya kebun atau infrastruktur. Ia juga mencakup kerugian nonmaterial: hilangnya fungsi ekologis, terganggunya sistem hidrologi, dan punahnya peluang generasi mendatang menikmati ekosistem yang sehat.
Hukum lingkungan Indonesia mengakui konsep ecological losses—kerugian terhadap komponen lingkungan yang perlu dipulihkan, bukan sekadar diganti dengan uang kompensasi. Dalam konteks banjir Sumut, pertanggungjawaban perdata dapat mencakup:
rehabilitasi hulu DAS;
reboisasi terpantau;
restorasi jalur-jalur air dan daerah rawan erosi;
pemulihan keanekaragaman hayati;
pembayaran ganti rugi kepada warga terdampak;
environmental remediation terhadap area yang rusak parah.
Pemulihan ekologis semacam ini tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek. Ia membutuhkan waktu puluhan tahun. Karena itu, keadilan perdata harus bersifat jangka panjang, terukur, dan diawasi publik secara transparan.
Dalam kerangka Ius Integrum, pemulihan perdata menjadi bagian penting dari restorative environmental justice—keadilan restoratif yang memulihkan martabat warga dan ekosistem. Tanpa pemulihan menyeluruh, banjir serupa hanya menunggu waktu untuk terulang.
Pertanggungjawaban Administratif: Mengoreksi Sistem yang Gagal
Selain pidana dan perdata, pertanggungjawaban administratif memegang peran fundamental. Jika tata kelola adalah titik lemah, maka tindakan administratif harus menjadi pintu bagi koreksi sistemik. Bentuknya dapat berupa:
pencabutan izin usaha;
pembekuan kegiatan;
peninjauan kembali rekomendasi teknis;
revisi dokumen AMDAL;
audit menyeluruh terhadap izin di kawasan hulu;
pemberian sanksi administratif progresif kepada korporasi.
Bentuk sanksi administratif ini penting bukan hanya untuk menghukum, tetapi untuk menghentikan kerusakan lebih lanjut. Dalam banyak kasus, bencana ekologis berulang karena izin yang cacat tidak pernah benar-benar dicabut atau direvisi.
Dalam pendekatan integrated governance, audit administratif juga harus disertai reformasi struktural seperti:
sinkronisasi tata ruang antara pusat dan daerah;
integrasi data OSS-RBA dengan data daya dukung lingkungan;
pembentukan unit pengawasan berbasis risiko ekologis;
transparansi perizinan melalui public disclosure system.
Tanpa reformasi administratif, pertanggungjawaban hukum tidak akan membawa perubahan sistemik.
Hak Masyarakat untuk Mendapatkan Keadilan Ekologis
Banjir Sumut mendorong kembali perdebatan tentang keadilan ekologis: apakah negara telah memenuhi hak warga untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat? Hak ini bukan sekadar pasal dalam undang-undang; ia adalah perintah moral yang melekat dalam mandat konstitusional.
Masyarakat yang tinggal di hilir tidak pernah memiliki kuasa atas keputusan yang diambil di hulu. Mereka tidak duduk dalam rapat investasi, tidak ikut menyusun AMDAL, dan tidak menikmati keuntungan dari perkebunan yang berdiri di atas tanah hutan. Tetapi ketika banjir datang, merekalah yang menanggung beban terbesar.
Dalam perspektif environmental justice, inilah bentuk paling klasik dari ketidakadilan: masyarakat yang paling sedikit menikmati manfaat justru harus memikul kerugian terbesar.
Penegakan keadilan ekologis karenanya harus memberi ruang bagi masyarakat untuk berperan tidak hanya sebagai objek korban, tetapi sebagai subjek pemantau dan penjaga lingkungan. Mekanisme citizen lawsuit, partisipasi publik dalam penyusunan AMDAL, hingga hak masyarakat adat dalam mengelola hutan adat menjadi bagian penting dalam merajut kembali kepercayaan publik.
Kepercayaan publik inilah modal sosial yang selama ini terkikis oleh pembiaran.
Pemulihan Ekologis: Jalan Panjang Menuju Keseimbangan yang Baru
Pemulihan ekologi pascabencana tidak dapat dibangun dengan pendekatan teknokratis belaka. Reboisasi tanpa perubahan tata kelola hanya akan melahirkan kerusakan baru. Pembangunan infrastruktur mitigasi tanpa pemulihan hulu hanya akan memindahkan risiko, bukan menghapusnya.
Dalam logika Ius Integrum, pemulihan ekologis harus mengikuti empat prinsip utama:
1. Pemulihan berbasis lanskap (landscape-based restoration)
Hutan, sungai, dan tanah dipulihkan sebagai satu kesatuan. Pendekatan parsial hanya akan menciptakan tambalan ekologis yang mudah robek.
2. Partisipasi masyarakat lokal
Warga yang hidup di kawasan hulu dan hilir harus menjadi bagian dari proses, bukan sekadar objek kebijakan.
3. Pengakuan terhadap pengetahuan lokal
Kearifan masyarakat adat tentang pola aliran air, jenis vegetasi penahan erosi, dan batas alami kawasan seharusnya menjadi panduan, bukan disingkirkan oleh pendekatan teknokratik yang serba top-down.
4. Transparansi dan pengawasan publik
Setiap program pemulihan harus dapat dipantau oleh masyarakat, akademisi, media, dan lembaga independen. Tanpa akuntabilitas, pemulihan hanya menjadi proyek jangka pendek yang rentan disusupi kepentingan.
Pemulihan ekologis bukan sekadar memperbaiki yang rusak; ia adalah proses menata ulang hubungan manusia dengan alam. Pemulihan adalah rekonsiliasi—sebuah upaya untuk memulihkan kepercayaan alam kepada manusia, dan kepercayaan manusia kepada negara.
Dari Tragedi Menuju Transformasi
Banjir Sumut telah membuka lembaran penting dalam sejarah tata kelola lingkungan Indonesia. Ia memperlihatkan bahwa bencana ekologis tidak mengenal kompromi. Ketika hulu dihancurkan, hilir akan membalas. Ketika pengawasan dilemahkan, alam akan mengingatkan. Dan ketika hukum dibiarkan tumpul, masyarakat yang membayar harganya.
Pertanggungjawaban hukum—pidana, perdata, dan administratif—adalah jalan menuju pemulihan, tetapi bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah membangun sistem yang tidak lagi memungkinkan tragedi serupa terjadi. Sistem yang menghormati alam bukan karena ia indah, tetapi karena ia adalah syarat keberlangsungan hidup.
Dalam kerangka Ius Integrum Nusantara, pemulihan ekologis adalah proses menjahit kembali hukum, moral, dan ekosistem—tiga pilar yang selama ini terpisah oleh kepentingan. Tragedi ini harus menjadi momentum untuk menyatukan kembali yang tercerai-berai dan memulihkan keseimbangan yang telah lama goyah.
Sejarah akan mencatat apakah kita memilih jalan pemulihan atau jalan pembiaran. Generasi mendatanglah yang akan merasakan buahnya—baik keseimbangan yang kembali, maupun bencana yang berulang.
VI. Menata Kembali Relasi Negara, Masyarakat, dan Alam
Ketika lumpur mulai mengering dan sisa-sisa puing dibersihkan dari halaman rumah warga, keheningan pascabencana mengundang kita menatap sisa-sisa yang hilang—bukan hanya rumah dan ladang, tetapi juga rasa aman dan kepercayaan pada sistem yang seharusnya melindungi. Sumatera Utara, dalam bisunya, memperlihatkan wajah paling jujur dari tragedi: bahwa banjir bandang tidak sekadar menghancurkan fisik, tetapi merobek kontrak sosial antara negara, masyarakat, dan alam. Dalam setiap aliran air yang menggulung tanah, kita membaca cermin tentang rapuhnya tata kelola, lemahnya pengawasan, dan bagaimana manusia sering memperlakukan alam seperti ruang tanpa batas, padahal ia menyimpan memori panjang dari setiap luka yang kita tinggalkan.
Alam, dalam keheningan itu, menjadi arsip moral yang menuntut perhatian. Ia bukan sekadar objek kebijakan, tetapi tempat manusia belajar kembali tentang batas, tanggung jawab, dan akibat. Ius Integrum Nusantara menegaskan bahwa pemulihan ekologis bukan hanya tugas teknis, tetapi penebusan kolektif atas jejak kerusakan yang telah kita tinggalkan—restorasi yang mengembalikan keseimbangan moral, ekologis, dan sosial yang terganggu. Di titik ini, hukum, etika, dan ekologi tidak lagi berdiri terpisah, tetapi berpadu sebagai panduan bagi relasi manusia dengan alam dan antar-manusia itu sendiri.
Dalam tragedi ini, masyarakat bukan hanya korban, tetapi penjaga yang harus dilibatkan dalam setiap proses pemulihan. Mereka yang menanggung kerugian paling besar juga yang memiliki pengetahuan lokal untuk menjaga sungai, hutan, dan lanskap dari kehancuran berikutnya. Negara, pada gilirannya, harus hadir bukan sebagai mediator kepentingan, tetapi sebagai pengawas yang tegak dan berintegritas, menegakkan hukum, memperbaiki sistem, dan menata ulang budaya birokrasi dari permisif menjadi kehati-hatian ekologis. Banjir Sumut adalah panggilan untuk transformasi: untuk membangun kembali relasi yang hilang, memulihkan kepercayaan, dan menjadikan alam bukan sekadar latar, tetapi mitra moral dalam setiap kebijakan dan tindakan kita. Alam telah berbicara; kini giliran manusia menjawab.
Selain itu, ketika lumpur mulai mengering dan sisa-sisa puing dibersihkan dari halaman rumah warga, Sumatera Utara memasuki fase yang paling sunyi dari sebuah bencana: masa ketika manusia mulai menatap kembali apa yang hilang, sembari bertanya apakah semuanya benar-benar dapat dipulihkan. Dalam keheningan pascabencana inilah, kita justru menemukan gema paling kuat dari tragedi itu: bahwa banjir bandang tidak sekadar memutus jembatan atau merobohkan rumah; ia merobek kontrak sosial yang selama ini menjadi penopang relasi antara negara, masyarakat, dan alam.
Banjir Sumut adalah cermin yang memaksa kita melihat diri sendiri. Ia menunjukkan bagaimana sebuah sistem yang tampak kokoh—regulasi, pengawasan, tata ruang, prosedur investasi—sesungguhnya rapuh, retak, dan mudah runtuh ketika diuji oleh tekanan ekologis yang semakin ekstrem. Ia juga memperlihatkan bagaimana manusia sering memperlakukan alam seperti ruang tanpa batas, sementara alam sejatinya menyimpan memori panjang dari setiap kerusakan yang kita lakukan.
Epilog ini bukan penutup, melainkan undangan: undangan untuk merumuskan kembali bagaimana kita ingin hidup di negeri yang secara geografis diberkahi, tetapi secara tata kelola kerap dikhianati.
Alam Sebagai Arsip Moral
Dalam seluruh rangkaian analisis sebelumnya, kita telah melihat bahwa banjir Sumut tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia adalah catatan panjang tentang pembukaan hutan yang serampangan, regulasi yang diakali, pengawasan yang mandul, dan kepentingan ekonomi yang berjalan tanpa panduan etika ekologis. Alam merespons bukan dengan kemarahan, melainkan dengan kesetiaannya pada hukum-hukum dasar ekologi: bahwa setiap ketidakseimbangan akan memunculkan konsekuensinya sendiri.
Di titik ini, Ius Integrum Nusantara menawarkan cara pandang yang berbeda. Ia mengajarkan bahwa alam bukan sekadar objek kebijakan, melainkan arsip moral tempat manusia belajar kembali tentang batas, tanggung jawab, dan akibat. Pemulihan ekologis dengan demikian bukan hanya tugas teknis, tetapi tugas moral: sebuah penebusan kolektif atas jejak kerusakan yang kita tinggalkan.
Masyarakat sebagai Penjaga, Bukan Korban Abadi
Dalam bencana ini, masyarakat membayar harga paling mahal: kehilangan anggota keluarga, rumah, mata pencaharian, dan rasa aman. Namun mereka tidak boleh hanya ditempatkan sebagai korban. Mereka adalah aktor utama dalam merawat hulu dan hilir, dalam mengawasi jalannya perizinan, dan dalam memastikan negara tidak lagi tertidur ketika lingkungan hidup diperlakukan secara sembarangan.
Ke depan, ruang partisipasi masyarakat harus dibangun bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai pilar utama tata kelola lingkungan. Mekanisme citizen lawsuit, keterlibatan warga dalam penyusunan AMDAL, hingga penguatan komunitas penjaga hutan harus ditempatkan sebagai instrumen yang menyelamatkan masa depan.
Karena pada akhirnya, masyarakatlah yang akan kembali menghadapi dampak ketika negara dan korporasi lalai.
Negara yang Mengembalikan Martabat Pengawasan
Tragedi banjir Sumut mengingatkan kita bahwa negara hanya sekuat pengawasannya. Regulasi setebal apa pun tidak akan berarti jika tidak disertai integritas, kapasitas, dan keberanian institusional untuk menegakkan hukum secara konsisten. Penataan ulang sistem perizinan, audit lintas sektor, dan penegakan hukum berlapis adalah landasan penting—tetapi semuanya harus disertai reformasi kultur birokrasi: dari budaya permisif menuju budaya kehati-hatian ekologis.
Negara harus kembali menjadi pelindung, bukan mediator kepentingan yang mudah ditundukkan oleh kekuatan ekonomi. Tatkala pengawasan runtuh, masyarakatlah yang tersapu arus. Karena itu, governance yang berkeadilan ekologis bukan lagi kemewahan, melainkan syarat minimal sebuah negara yang ingin bertahan dalam abad krisis iklim.
Merumuskan Kembali Masa Depan Ekologis Indonesia
Banjir Sumut adalah bagian dari fenomena yang lebih besar: kerentanan ekologis Indonesia yang meningkat. Hutan tropis, DAS yang menua, tata ruang yang patah, dan iklim yang berubah adalah realitas yang saling berkelindan. Kita memasuki era ketika bencana tidak lagi bersifat insidental, tetapi sistemik; bukan lagi akibat cuaca ekstrem semata, tetapi akibat tata kelola yang gagal membaca perubahan zaman.
Di titik ini, Ius Integrum menawarkan peta jalan: menyatukan dimensi hukum, etika, dan ekologi dalam satu bangunan pemikiran yang memandang alam sebagai bagian tak terpisahkan dari keadaban manusia. Melalui pendekatan ini, kita diarahkan untuk memulihkan bukan hanya hutan dan sungai, tetapi juga perilaku dan institusi yang telah lama terpisah dari mandat ekologisnya.
Memilih Jalan Perubahan
Kajian ini menempatkan banjir Sumut sebagai titik balik, bukan sekadar luka kolektif. Ia menuntut kita untuk menentukan pilihan: apakah kita akan kembali ke pola lama—mengabaikan peringatan alam, memperlakukan tata ruang sebagai formalitas, dan membiarkan korporasi berjalan tanpa pengawasan—atau memilih jalan yang lebih sulit, tetapi lebih bermakna: jalan transformasi ekologis.
Pilihan itu bukan milik pemerintah saja, bukan pula milik masyarakat tertentu. Ia adalah pilihan semua orang yang hidup dalam ruang ekologis yang sama, menghirup udara yang sama, dan bergantung pada ekosistem yang sama.
Alam telah berbicara melalui banjir yang melanda Sumatera Utara. Kini giliran manusia menjawab. Jawaban kita akan menentukan apakah bencana ini menjadi jeda kecil sebelum tragedi berikutnya, atau menjadi awal dari sebuah ikhtiar nasional untuk memulihkan hubungan kita dengan alam—hubungan yang selama ini tergerus, tetapi masih bisa disembuhkan.
Penutup
Ketika air bah menggulung desa dan ladang, menenggelamkan rumah dan kehidupan, Sumatera Utara menyingkap wajah paling jujur dari tragedi ekologis: kerentanan alam yang telah lama ditekan oleh tangan manusia, dan kerentanan institusi yang seharusnya menjadi penopangnya. Banjir bandang bukan sekadar bencana fisik, melainkan juga cermin retaknya kontrak sosial antara negara, masyarakat, dan alam—kontrak yang selama ini dianggap mapan, tetapi ternyata rapuh ketika diuji oleh tekanan ekologis yang ekstrem. Hutan yang ditebang sembarangan, regulasi yang tumpang tindih, pengawasan yang mandul, dan kepentingan ekonomi yang berjalan tanpa etika ekologis berpadu menjadi akumulasi kealpaan struktural; alam merespons bukan dengan amarah yang fana, tetapi dengan hukum-hukum ekologi yang tak dapat dihindari: setiap ketidakseimbangan menuntut konsekuensinya sendiri.
Di tengah puing dan lumpur itu, alam menuntut kita membaca arsip moralnya. Ia adalah guru yang diam, yang mengingatkan bahwa pemulihan ekologis bukan sekadar reboisasi atau perbaikan infrastruktur, tetapi penebusan kolektif atas luka yang telah ditinggalkan manusia—restorasi yang menautkan hukum, etika, dan ekologi dalam satu kesatuan. Pertanggungjawaban hukum, baik pidana, perdata, maupun administratif, bukan sekadar instrumen represif, tetapi mekanisme untuk memulihkan keseimbangan moral dan ekologis. Pemidanaan harus menembus lapisan struktural kerusakan, menuntut para pelaku sistematis yang membentuk rantai perusakan; tanggung jawab perdata harus mengembalikan hak publik, memulihkan fungsi hulu DAS, jalur air, keanekaragaman hayati, dan memberi kompensasi yang adil; sementara pertanggungjawaban administratif menjadi sarana koreksi sistemik, menata kembali izin, audit, dan mekanisme pengawasan agar tidak lagi melompong. Tanpa integritas publik, transparansi, dan reformasi birokrasi, hukum hanya akan menjadi simbol, bukan instrumen perubahan.
Masyarakat, yang menanggung harga paling mahal dari setiap tragedi ekologis, harus ditempatkan sebagai subjek, bukan objek pasif. Mereka adalah penjaga yang hidup berdampingan dengan hulu dan hilir, yang memiliki kearifan lokal untuk menahan erosi, menjaga aliran sungai, dan merawat hutan. Partisipasi mereka dalam perizinan, AMDAL, dan pengawasan harus menjadi pilar tata kelola yang berkelanjutan. Negara, sebaliknya, harus hadir dengan kapasitas dan keberanian institusional yang nyata, menegakkan hukum dengan konsisten, menata ulang budaya birokrasi dari permisif menjadi kehati-hatian ekologis, serta menjadikan governance berbasis keadilan ekologis bukan pilihan, tetapi syarat minimal keberlangsungan negara dalam era krisis iklim.
Banjir Sumut, dengan segala kehancurannya, adalah panggilan untuk transformasi: untuk merajut kembali relasi manusia, hukum, dan alam yang telah terputus; untuk menyatukan regulasi, pengawasan, perizinan, dan moralitas dalam satu jaringan tata kelola yang kohesif; untuk memulihkan kepercayaan publik yang terkikis; dan untuk menata ulang masa depan ekologis Indonesia agar tragedi serupa tidak terulang. Alam telah berbicara melalui air bahnya, hukum telah menanti implementasinya, masyarakat telah menunggu ruang untuk berperan, dan negara dihadapkan pada pilihan historis: apakah kita membiarkan luka ini menjadi jeda sebelum bencana berikutnya, atau menggunakannya sebagai momentum kolektif untuk memulihkan keseimbangan yang telah lama goyah. Jawaban kita akan menentukan tidak hanya nasib hutan dan sungai, tetapi juga kualitas keadaban, keadilan, dan keberlangsungan hidup generasi yang akan datang.
Penulis 1 adalah Ketua Pengwil Ikatan Notaris Indonesia Sumatera Utara
Penulis 2 adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara











