Oleh: Farid Wajdi
Bencana selalu membuka tabir paling jujur tentang cara negara memaknai kemanusiaan. Saat gempa dan banjir melanda Sumatera pada 2025, tabir itu terbuka lebar. Rumah runtuh, jalan terputus, pengungsian membengkak, sementara negara memilih satu sikap yang segera memantik polemik: menolak bantuan internasional.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Alasan yang dikemukakan terdengar formal dan berwibawa. Negara dinilai masih mampu, koordinasi harus terkendali, kedaulatan perlu dijaga. Di atas kertas, narasi itu tampak utuh. Di lapangan, ia terasa hampa!
Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri menyatakan bantuan asing tidak mendesak dan berpotensi mengganggu tata kelola penanganan bencana (Tempo.co, 2025).
Pernyataan tersebut segera berhadapan dengan realitas korban yang bertahan di tenda darurat tanpa kepastian waktu pemulihan. Di titik ini, jarak antara bahasa kebijakan dan pengalaman kemanusiaan menjadi terlalu lebar untuk diabaikan.
Kritik publik pun bermunculan. Susi Pudjiastuti menegaskan perhatian negara seharusnya terfokus pada bantuan nyata, bukan kunjungan pejabat atau retorika simbolik tentang kehadiran negara (BBC Indonesia, 2025).
Kritik ini bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan gugatan moral terhadap prioritas kebijakan. Negara hadir bukan untuk mempertahankan citra, melainkan untuk menyelamatkan manusia.
Dalih harga diri bangsa yang kerap dikemukakan justru memunculkan pertanyaan mendasar. Harga diri seperti apa yang harus dibela di tengah penderitaan warga? Kedaulatan memang prinsip fundamental, namun kedaulatan modern tidak hidup dalam ruang hampa.
Edward Kolodziej menggambarkan kedaulatan abad ke-21 sebagai kedaulatan yang saling bergantung, bukan kedaulatan yang menutup diri dari solidaritas global (Kolodziej, 2013).
Dalam kerangka ini, menerima bantuan kemanusiaan tidak meruntuhkan martabat negara, melainkan menegaskan keberanian mengakui skala krisis secara jujur.
Penolakan bantuan justru mencerminkan pemahaman kedaulatan yang defensif dan mudah tersinggung. Negara terlihat lebih sibuk menjaga simbol daripada mengelola kenyataan.
Ketika citra dijadikan tujuan utama, korban perlahan tergeser dari pusat perhatian kebijakan. Harga diri bangsa lalu berubah menjadi konsep abstrak yang berdiri di atas penderitaan konkret.
Bencana Tak Kenal Paspor
Bencana alam tidak mengenal paspor. Etika kemanusiaan menempatkan keselamatan manusia di atas kepentingan simbolik. Prinsip inilah yang melahirkan praktik bantuan internasional sebagai ekspresi solidaritas lintas batas.
Komisi V DPR bahkan secara terbuka meminta pemerintah tidak menutup pintu bantuan asing, mengingat skala bencana memerlukan sumber daya besar dan respons cepat (Detik.com, 2025). Ketika lembaga legislatif pun menyuarakan kegelisahan, sikap penolakan semakin sulit dipertahankan secara moral.
Amartya Sen menempatkan solidaritas sebagai fondasi keadilan global. Dalam situasi krisis, penderitaan manusia menuntut tanggapan kolektif yang melampaui kepentingan nasional sempit (Sen, 2009).
Menolak bantuan pada momen genting berisiko mereduksi kemanusiaan menjadi urusan gengsi. Negara mungkin tetap berdiri tegak secara simbolik, tetapi legitimasi moralnya perlahan terkikis.
Pepatah Batak menyimpan kearifan yang relevan: sakit ketika meminta tidak diberi, lebih sakit ketika memberi tetapi tidak diterima. Dunia datang membawa empati, lalu dipalingkan.
Penolakan itu bukan hanya soal logistik, tetapi juga pesan simbolik yang dikirimkan ke komunitas internasional. Solidaritas tidak selalu bersifat satu arah. Dalam tatanan global, ingatan kolektif bekerja diam-diam, mencatat siapa membuka pintu dan siapa memilih menutupnya.
Risiko kebijakan ini tidak berhenti pada ranah etis. Secara diplomatik, penolakan bantuan membentuk preseden. Robert Keohane mengingatkan legitimasi negara dalam sistem internasional tumbuh melalui keterbukaan terhadap kerja sama, terutama dalam situasi krisis (Keohane, 2012).
Ketika negara memilih jalur eksklusif, kepercayaan ikut dipertaruhkan. Hari ini menolak, esok hari berpotensi ditolak.
Ruang Kerendahan Hati
Keputusan pemerintah menahan penetapan status bencana nasional semakin memperkeruh keadaan. Laporan DW Indonesia (2025) menunjukkan alasan administratif dan teknokratis kembali dikedepankan, sementara kerusakan meluas dan pemulihan berjalan lambat.
Kombinasi antara penolakan bantuan dan ketidaktegasan status bencana menciptakan kesan negara berjalan setengah hati. Ketika prosedur dijadikan tameng, empati kehilangan ruang.
Kemampuan negara tidak bisa diukur dari klaim semata. Kapasitas sejati terlihat dari kecepatan menyelamatkan, ketepatan menyalurkan bantuan, serta keberanian mengambil keputusan tidak populer demi keselamatan warga.
Tidak ada negara yang sepenuhnya mandiri menghadapi bencana besar. Ilan Kelman menegaskan ketahanan nasional justru tercermin dari kemampuan berkolaborasi lintas batas saat risiko melampaui kapasitas domestik (Kelman, 2014).
Persoalan mendasarnya bukan menerima atau menolak bantuan, melainkan mengelola bantuan secara berdaulat dan bermartabat.
Negara tetap memegang kendali penuh melalui koordinasi, pembatasan ruang lingkup, serta pengawasan ketat. Kedaulatan tidak runtuh hanya karena solidaritas diterima. Yang runtuh justru legitimasi ketika penderitaan dibiarkan berlarut demi menjaga simbol.
Bencana seharusnya menjadi ruang kerendahan hati, bukan panggung pembuktian gengsi. Negara yang kuat tidak takut dibantu. Negara yang percaya diri tidak alergi terhadap solidaritas.
Sejarah tidak akan mencatat seberapa keras citra dipertahankan, melainkan seberapa cepat nyawa diselamatkan dan martabat korban dijaga.
Ketika bantuan ditolak, yang hilang bukan sekadar logistik, melainkan makna kehadiran negara itu sendiri.
Negara hadir bukan melalui pernyataan resmi atau kamera yang menyorot, melainkan melalui keputusan berani yang menempatkan kemanusiaan di atas simbol.
Dalam situasi krisis, kerendahan hati sering kali menjadi bentuk tertinggi dari kedaulatan.
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU











