Oleh: Dr. H. Ikhsan Lubis, S.H., Sp.N., M.Kn.
Perubahan ini sejalan dengan cita-cita Ius Integrum Nusantara yang mengedepankan keadilan substantif dan responsif terhadap kondisi sosial budaya masyarakat.
Pengantar
Perubahan regulasi pidana dan prosedur hukum dalam KUHP dan KUHAP baru di Indonesia membawa momentum penting untuk mereformasi sistem hukum nasional secara menyeluruh. Artikel ini mengkaji modernisasi tersebut khususnya dalam konteks jabatan notaris, yang berperan krusial sebagai penjaga legalitas dan keamanan transaksi hukum di masyarakat. Modernisasi ini tidak hanya bersifat teknis, melainkan mengusung paradigma baru yang diperkaya oleh pemikiran Ius Integrum Nusantara, sebuah konsep hukum yang menawarkan sebuah kerangka normatif dan filosofis yang mengintegrasikan hukum positif nasional dengan nilai-nilai adat, budaya, dan kearifan lokal Indonesia. Pendekatan ini menekankan bahwa hukum harus bersifat holistik dan menyatu dengan identitas budaya bangsa agar mampu menghadirkan keadilan substantif yang nyata bagi masyarakat. Hukum tidak cukup hanya dilihat sebagai seperangkat aturan formal (formalisme), melainkan harus merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap martabat manusia dalam konteks kebudayaan Indonesia yang kaya dan beragam.
Selain itu, dalam konteks KUHP dan KUHAP baru, pengembangan konsep Ius Integrum Nusantara ini menjadi dasar penting untuk mendorong transformasi paradigma sanksi pidana. Paradigma lama yang berorientasi pada penghukuman dan penjeraan berangsur digantikan dengan pendekatan pembinaan dan pemulihan, yang diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari sistem pidana konvensional serta memberikan kesempatan bagi pelaku untuk reintegrasi sosial. Perubahan ini sejalan dengan cita-cita Ius Integrum Nusantara yang mengedepankan keadilan substantif dan responsif terhadap kondisi sosial budaya masyarakat. Artikel ini juga membahas implikasi modernisasi hukum pidana dan prosedur bagi profesi notaris, termasuk tanggung jawab hukum dan penggunaan teknologi digital dalam praktik kenotariatan. Dengan kerangka Ius Integrum Nusantara, pembaruan regulasi ini diharapkan mampu menjembatani ketimpangan antara hukum formal dan kebutuhan riil masyarakat, sekaligus memperkuat perlindungan hukum bagi para pejabat publik, khususnya notaris.
Melalui kajian yang komprehensif, artikel ini menyajikan perspektif teoritis dan praktis yang dapat menjadi acuan bagi pembuat kebijakan, akademisi, praktisi hukum, dan notaris dalam menghadapi era modernisasi hukum yang berkeadilan dan berbudaya. Modernisasi KUHP dan KUHAP, jika diimplementasikan dengan prinsip Ius Integrum Nusantara, dapat menjadi fondasi bagi sistem hukum Indonesia yang lebih manusiawi, adaptif, dan berkelanjutan.
Sinergi KUHP-KUHAP Dalam Perspektif Ius Integrum Nusantara
Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru yang akan berlaku efektif pada tahun 2026 menandai titik penting dalam perjalanan modernisasi hukum pidana di Indonesia. Transformasi ini bukan sekadar pembaruan teknis, melainkan sebuah momentum untuk menggeser paradigma penegakan hukum yang selama ini masih kaku dan formalistis menuju sistem yang lebih holistik dan berkeadilan substantif. Di tengah arus perubahan ini, jabatan notaris sebagai penjaga legalitas dan keamanan transaksi hukum masyarakat mendapat sorotan utama karena peran strategisnya yang unik dan kompleks—menyatukan fungsi publik dan profesional dalam menjamin kepastian hukum melalui pembuatan akta otentik.
Kajian mendalam terhadap regulasi KUHP dan KUHAP baru menunjukkan integrasi prinsip Ius Integrum Nusantara sebagai kerangka normatif dan filosofis yang sangat relevan dalam menyesuaikan hukum nasional dengan kekayaan nilai budaya dan kearifan lokal Indonesia. Pendekatan ini menegaskan bahwa hukum tidak cukup hanya bersandar pada aturan formal dan sanksi semata, tetapi harus menembus pada dimensi keadilan substantif yang mengakar pada nilai kemanusiaan, sosial, dan budaya bangsa. Sebagai konsekuensi logis, reformasi pidana dan prosedur yang diusung KUHP dan KUHAP baru bertransformasi dari orientasi penghukuman murni menuju mekanisme pembinaan, pemulihan, dan reintegrasi sosial—meminimalisasi efek destruktif sistem pidana konvensional. Selanjutnya, dalam konteks jabatan notaris kehadiran KUHP baru secara eksplisit mengatur tindak pidana pemalsuan dokumen, khususnya akta otentik yang menjadi inti kewenangan profesi ini. Dengan ancaman pidana hingga delapan tahun penjara bagi pelaku yang terbukti memenuhi unsur niat jahat dan tindakan aktif, regulasi ini mencerminkan prinsip nullum crimen sine culpa—yang menegaskan bahwa tidak setiap kesalahan atau kelalaian dapat dipidana. Hal ini penting untuk mencegah kriminalisasi berlebihan yang dapat merusak independensi dan integritas jabatan notaris sebagai pilar kepastian hukum.
Melalui pendekatan perspektif yuridis-normatif dan komparatif mengungkap bahwa perlindungan hukum terhadap notaris di Indonesia kini semakin kokoh melalui ketentuan yang menyeimbangkan hak dan kewajiban profesi, serupa dengan praktik hukum kontinental Eropa. Hak tolak (recht van weigering) dan kewajiban menjaga rahasia jabatan secara eksplisit mempertegas posisi notaris sebagai subjek hukum yang mendapat perlindungan preventif sekaligus bertanggung jawab secara etis dan profesional. Namun, tantangan terbesar muncul pada sinergi norma antara Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) sebagai lex specialis dan KUHAP sebagai norma acara umum. Tanpa harmonisasi yang efektif, risiko tumpang tindih dan potensi kriminalisasi jabatan tetap terbuka, terlebih di era digitalisasi yang menuntut regulasi adaptif terhadap teknologi informasi dan akta elektronik.
Lebih lanjut, modernisasi KUHP dan KUHAP melalui pendekatan Ius Integrum Nusantara 2045 tidak hanya mengedepankan legalitas formal, tetapi juga menuntut rekonstruksi hukum kenotariatan yang responsif terhadap dinamika sosial budaya dan revolusi teknologi digital. Jabatan notaris harus berkembang menjadi agen utama dalam ekosistem teknologi hukum yang terpercaya, mengintegrasikan standar etika, akuntabilitas publik, dan teknologi canggih seperti blockchain untuk menjaga keabsahan dan integritas dokumen elektronik. Pendekatan modern ini juga diwujudkan melalui pedoman pemidanaan KUHP baru yang mengadopsi prinsip proporsionalitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam penjatuhan sanksi pidana. Hal ini berimplikasi langsung pada penguatan mekanisme kontrol terhadap tindakan notaris, dengan tetap menjaga ruang gerak profesi agar tidak tersandera oleh ancaman kriminalisasi yang tidak berdasar. Pendekatan multidimensional yang menggabungkan aspek pidana, administratif, dan etik menjadi kunci agar jabatan notaris dapat menjalankan fungsinya sebagai Custodian of Legal Trust secara berkelanjutan dan berkeadilan.
Dengan demikian, modernisasi regulasi pidana dan prosedur dalam KUHP dan KUHAP baru, bila diimplementasikan melalui paradigma Ius Integrum Nusantara, menawarkan sebuah sistem hukum pidana yang adaptif, manusiawi, dan berbudaya. Sinergi antara UUJN dan KUHAP harus diperkuat secara normatif dan prosedural untuk menjamin perlindungan hukum yang efektif bagi notaris tanpa mengabaikan penegakan hukum yang tegas dan adil. Selain itu, jabatan notaris dapat bertransformasi sebagai pilar utama sistem hukum nasional yang berintegritas, responsif terhadap teknologi, dan berorientasi pada keadilan substantif yang menghormati kekayaan budaya bangsa.
KUHP Baru dan Tantangan Hukum Jabatan Notaris
Semangat reformasi hukum pidana nasional yang digelorakan melalui pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 2023 dan akan berlaku efektif mulai 2026, posisi strategis notaris dalam sistem hukum Indonesia mendapatkan sorotan yang semakin tajam. Relevansi regulasi pidana terhadap jabatan kenotariatan tidak dapat dipandang sekadar sebagai wacana sektoral, melainkan sebagai bagian integral dari pembentukan struktur hukum yang menjamin keadilan prosedural sekaligus perlindungan profesi hukum. Ketentuan yang menyentuh ranah pemalsuan dokumen otentik, seperti diatur dalam Pasal 391 hingga Pasal 393 KUHP baru, bukan hanya merepresentasikan respon negara terhadap eskalasi tindak pidana korporatif dan administratif, melainkan juga menyiratkan reposisi peran notaris dalam ekosistem hukum modern yang berbasis kepercayaan dan akuntabilitas.
Dinamika ini menuntut pemahaman yang lebih dalam terhadap hakikat ius constitutum dan ius constituendum dalam kerangka jabatan notaris, yang pada dasarnya memiliki karakter dualistik: sebagai pejabat publik yang menjalankan fungsi negara di bidang perdata dan sekaligus sebagai profesional independen. Dalam konteks ini, KUHP baru menawarkan pendekatan sistemik yang memperkuat aspek perlindungan hukum terhadap akta otentik, sembari mengedepankan prinsip proporsionalitas dalam pemidanaan terhadap notaris yang diduga melakukan kesalahan profesional. Prinsip culpa dan dolus tetap menjadi instrumen utama dalam pembuktian unsur pidana, menegaskan bahwa unsur kesengajaan (intention) harus dibedakan secara jelas dari kelalaian administratif yang lazim terjadi dalam praktik kenotariatan.
Paradigma ini mengarah pada penguatan doktrinal yang mengakui bahwa jabatan notaris tidak dapat disimplifikasi sebagai sekadar produsen akta. Sebaliknya, notaris merupakan penjaga nilai-nilai legalitas dan kepercayaan publik (public trust doctrine), yang kedudukannya secara historis telah berkembang sejak masa hukum Romawi dan kemudian diterjemahkan ke dalam sistem hukum civil law Eropa Kontinental. Menurut studi historis oleh Temporini (2021), keberadaan notaris dalam kerangka hukum kontinental tidak terlepas dari posisi strategisnya sebagai agen stabilitas hukum sosial dan ekonomi, khususnya dalam masyarakat yang semakin kompleks dan terdigitalisasi. Akta autentik bukan sekadar dokumen, melainkan bentuk konkret prima facie evidence yang memiliki konsekuensi hukum langsung bagi para pihak yang terkait. Oleh karena itu, pemalsuan akta bukan hanya ancaman terhadap struktur hukum formal, tetapi juga terhadap legitimasi sosial hukum itu sendiri.
Selanjutnya analisiss pembahasan dalam kerangka komparatif di negara-negara seperti Jerman dan Belanda menunjukkan praktik hukum yang cukup progresif dalam melindungi independensi notaris. Penegakan hukum terhadap pelanggaran profesi dilakukan melalui pendekatan dual track—memisahkan secara tegas antara yurisdiksi pidana dan disipliner. Menurut Keller dan Schmitt (2022), sistem ini dimaksudkan untuk menghindari kriminalisasi berlebihan terhadap tindakan profesional yang bersifat administratif, sekaligus menjaga akuntabilitas melalui lembaga pengawas independen. Pendekatan ini penting untuk dicermati dalam konteks Indonesia, di mana sistem pengawasan profesi notaris masih menghadapi tantangan koordinatif antara Majelis Pengawas Notaris, Kementerian Hukum dan HAM, dan organisasi profesi seperti Ikatan Notaris Indonesia (INI).
Di sisi lain, KUHP baru juga mempertegas posisi recht van weigering (hak tolak) sebagai perlindungan hukum terhadap rahasia jabatan notaris. Dalam konteks ini, hak tolak bukanlah bentuk pembangkangan terhadap proses peradilan, melainkan perwujudan dari legal privilege yang diakui dalam banyak sistem hukum modern untuk melindungi independensi profesi hukum. Implementasi norma ini harus dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan prinsip due process of law, agar tidak menimbulkan konflik interpretatif antara kewajiban etik dan tanggung jawab pidana. Dalam praktiknya, penyidik maupun penuntut umum harus memahami batasan kewenangan dalam meminta keterangan dari notaris, terutama jika informasi tersebut menyangkut pihak ketiga yang dilindungi oleh prinsip kerahasiaan hukum.
Integrasi antara KUHP baru dan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 menunjukkan bahwa penataan regulasi profesi hukum kini mengarah pada pendekatan holistik. Tanggung jawab pidana tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung erat dengan aspek etik dan perdata. Dalam ranah perdata, notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban atas dasar wanprestasi atau negligence yang menimbulkan kerugian, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Dalam ranah etik, mekanisme internal seperti kode etik yang ditegakkan oleh Dewan Kehormatan Notaris menjadi instrumen penting untuk menjaga integritas dan profesionalitas. Sitanggang dan Busro (2023) menekankan bahwa integrasi tiga dimensi tanggung jawab ini merupakan bentuk multi-layered accountability yang diperlukan dalam jabatan publik berisiko tinggi.
Namun, penerapan KUHP baru juga tidak luput dari tantangan struktural, dan karenanya dalam masa transisi hingga tahun 2026, dualisme sistem hukum—antara KUHP lama dan KUHP baru—menimbulkan potensi kerancuan dalam penegakan hukum, baik bagi notaris maupun aparat penegak hukum. Koherensi antar norma dan kepastian hukum hanya dapat dicapai melalui pelatihan intensif dan sosialisasi substansi KUHP baru secara menyeluruh kepada aktor-aktor hukum, termasuk organisasi profesi, pengadilan, dan penyidik. Hukumonline (2024) menyebutkan bahwa masih terdapat kesenjangan pemahaman di kalangan penegak hukum terkait norma baru dalam KUHP, terutama dalam hal pembuktian unsur pidana pemalsuan yang terkait jabatan publik.
Di tengah tantangan itu, reformasi hukum ini menawarkan peluang strategis bagi notaris untuk menegaskan ulang perannya sebagai gatekeeper dalam menjaga keabsahan transaksi hukum dan integritas dokumentasi sipil. Dengan semakin kompleksnya dinamika hukum modern—baik di ranah bisnis, warisan digital, maupun layanan perjanjian daring—peran notaris tidak bisa lagi dipandang sebagai formality agent, tetapi sebagai juru tafsir dan pelaksana norma hukum yang adaptif terhadap perubahan zaman. Oleh karena itu, penguatan sistem pengawasan, pendidikan hukum berkelanjutan, dan reformasi institusional menjadi syarat mutlak agar norma yang dituangkan dalam KUHP baru tidak menjadi beban tambahan, melainkan pijakan dalam memperkuat kembali legitimasi dan eksistensi profesi notaris dalam kerangka rule of law Indonesia.
Reformasi pidana dalam KUHP baru pada akhirnya mencerminkan upaya sistematis negara untuk mengadaptasi norma hukum terhadap kompleksitas dunia kontemporer, termasuk dalam perlindungan dan pengaturan profesi hukum seperti notaris. Namun, efektivitas norma pidana ini tidak bergantung semata pada teks undang-undang, melainkan pada bagaimana norma tersebut diinterpretasikan, diimplementasikan, dan diawasi secara adil, akuntabel, dan berorientasi pada keadilan substantif. Notaris, sebagai bagian dari struktur hukum nasional, harus diberikan ruang perlindungan yang adil, sekaligus dibebani tanggung jawab profesional yang tinggi. Hanya dengan pendekatan hukum yang berimbang, profesi ini dapat terus menjadi penjaga garda depan dalam menegakkan kepastian dan keadilan hukum di Indonesia.
Dinamika Hukum Notaris dalam KUHP Baru: Tafsir Ius Integrum Nusantara
Suatu keniscayaan dalam konstelasi hukum nasional yang terus mengalami transformasi, jabatan notaris berada dalam titik simpang yang menuntut kemampuan adaptif dan ketangguhan etik untuk menavigasi perubahan sosial, regulatif, dan teknologi yang berlangsung cepat. Pengesahan KUHP baru melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 menjadi penanda penting dalam transisi hukum Indonesia menuju kodifikasi yang lebih modern, sistematis, dan sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat pluralistik. Dalam konteks ini, notaris tidak hanya dilihat sebagai officium legis atau pelaksana hukum, melainkan juga sebagai officium fiduciae dan officium nobile yang bertanggung jawab atas integritas sosial dan moral hukum. Pembacaan ulang terhadap peran notaris dalam KUHP baru menuntut pendekatan konseptual yang melampaui normativitas tekstual, yakni melalui paradigma Ius Integrum Nusantara 2045 yang mengintegrasikan nilai-nilai hukum lokal, prinsip global keadilan, dan pendekatan futuristic, deterministic, serta responsive terhadap perubahan zaman.
Paradigma Ius Integrum Nusantara 2045, sebagai formulasi hukum nasional berbasis kearifan lokal dan visi masa depan, menekankan pentingnya sistem hukum yang mampu memprediksi arah perubahan sosial (futuristic), menetapkan batasan hukum yang pasti dan adil (deterministic), serta memberikan respons efektif terhadap tantangan kontemporer (responsive). Dalam kerangka ini, notaris sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan negara untuk membuat akta autentik, menjadi perpanjangan tangan dari negara dalam memastikan bahwa lalu lintas hukum privat tetap berada dalam koridor tertib hukum. Akta autentik yang dibuat oleh notaris bukan hanya bentuk formil, tetapi juga manifestasi dari kepercayaan publik (public trust) yang menjadi fondasi utama keberlangsungan sistem hukum (Mertokusumo, 2022). Oleh karena itu, ketentuan pidana terhadap pemalsuan akta autentik dalam Pasal 392 KUHP baru harus dibaca bukan hanya sebagai larangan (prohibitive norm), melainkan sebagai pernyataan etik dan politik hukum negara dalam melindungi integritas lembaga hukum yang menjadi tulang punggung kehidupan sosial-ekonomi.
Selain itu, dalam kacamata hermeneutika hukum keberadaan KUHP baru merepresentasikan pergeseran paradigma hukum dari legal formalism menuju substantive justice. Hal ini tercermin dari keberanian pembentuk undang-undang memperluas ruang lingkup pemalsuan dokumen yang sebelumnya bersifat teknis dan formil dalam KUHP lama, menjadi regulasi yang mengakui dimensi substansial, sosial, dan moral dari dokumen hukum. Pasal 391 hingga 393 KUHP baru tidak hanya mengatur tentang pemalsuan akta, tetapi juga mencakup penyimpanan alat dan bahan pemalsuan, memperlihatkan bahwa sistem hukum kita mulai merespons secara preventif dan sistemik terhadap kejahatan dokumen (Widodo, 2024). Ini menunjukkan bahwa notaris tidak lagi hanya ditempatkan sebagai aktor pasif yang menjalankan fungsi formil, tetapi sebagai legal guardian dari sistem keadilan substantif yang terhubung langsung dengan ketertiban hukum nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Melalui pendekatan deterministic notary dalam KUHP baru juga memperluas pengertian tanggung jawab hukum. Dalam sistem hukum sebelumnya, tanggung jawab notaris banyak dibatasi pada aspek administratif dan formil. Kini, melalui konstruksi norma KUHP baru, tanggung jawab tersebut merambah ke ranah tanggung jawab substantif, di mana notaris dituntut untuk tidak sekadar memastikan terpenuhinya syarat formal akta, tetapi juga menghindari keterlibatan langsung atau tidak langsung dalam pemalsuan isi, penyalahgunaan dokumen, dan pelanggaran etika profesi. Pemidanaan terhadap notaris bukan lagi berbasis pada kesalahan prosedural semata, melainkan pada keterlibatan dalam mens rea dan actus reus yang terbukti merusak sistem hukum dan kepercayaan masyarakat. Paradigma ini sejalan dengan teori hukum responsif yang menempatkan hukum sebagai refleksi kebutuhan masyarakat dan bukan sekadar alat penguasa (Nonet & Selznick, 2001).
Konsekuensinya, tanggung jawab notaris juga harus dipahami dalam kerangka triangulasi hukum modern, yaitu keterkaitan antara hukum positif (KUHP), kode etik profesi (melalui Ikatan Notaris Indonesia), dan prinsip moral yang bersumber dari nilai-nilai lokal serta agama yang hidup dalam masyarakat. Ius Integrum Nusantara membentuk fondasi holistik di mana ketiga aspek tersebut saling melengkapi dalam membentuk karakter hukum jabatan notaris yang adil, bermartabat, dan berkeadaban. Dalam masyarakat yang semakin plural dan terhubung secara digital, peran notaris dalam menjamin keabsahan hukum atas transaksi dan perbuatan hukum menjadi sangat strategis. Oleh karena itu, pendekatan terhadap pengaturan hukum notaris dalam KUHP tidak dapat bersifat parsial dan teknokratis semata, tetapi harus integratif dan berorientasi pada perlindungan menyeluruh terhadap nilai-nilai hukum yang hidup (living law).
Transformasi ini menjadi semakin relevan dalam menghadapi tantangan digitalisasi akta dan perkembangan e-notary, yang membuka kemungkinan terjadinya bentuk-bentuk pemalsuan elektronik yang lebih kompleks dan sulit dideteksi. Dalam situasi ini, hermeneutik hukum digital menjadi penting untuk membaca ketentuan pidana dalam KUHP baru secara adaptif dan kontekstual. Perlindungan terhadap keaslian dan otentisitas dokumen harus diperluas ke dalam bentuk digital, termasuk perlindungan atas tanda tangan elektronik dan sistem penyimpanan data berbasis blockchain. KUHP baru perlu diinterpretasikan dengan paradigma technology-aware jurisprudence agar nilai-nilai keadilan yang hendak ditegakkan tetap relevan di tengah perubahan struktur sosial akibat revolusi digital (Kementerian Hukum dan HAM RI, 2024).
Dengan demikian, pembacaan atas pasal-pasal KUHP baru mengenai pemalsuan akta autentik tidak dapat dilepaskan dari fungsi strategis notaris dalam membangun sistem hukum yang resilient dan berkeadilan. Sebagai bagian dari Ius Integrum Nusantara 2045, sistem hukum nasional dituntut untuk memberikan perlindungan maksimal terhadap profesi notaris, tanpa mengorbankan prinsip akuntabilitas dan integritas. Perlindungan ini meliputi hak untuk menolak memberikan keterangan (recht van weigering), perlindungan terhadap kriminalisasi administratif, serta jaminan etik dan profesionalitas melalui lembaga pengawas yang independen dan kredibel. Fungsi kontrol sosial terhadap notaris harus berjalan berdampingan dengan upaya memperkuat kompetensi etik dan literasi hukum digital para notaris agar mampu menjawab tantangan zaman secara adaptif dan bermartabat.
Dengan demikian, berdasarkan hasil analisis ini, keberadaan jabatan notaris bukan sekadar entitas teknis dalam lalu lintas hukum privat, melainkan bagian dari civilizational legal framework yang menopang struktur keadaban hukum di Indonesia. Pemidanaan terhadap penyalahgunaan akta autentik bukan hanya bentuk penegakan hukum, tetapi juga afirmasi moral negara dalam menjaga integritas pejabat publik yang menjadi simbol kepercayaan masyarakat. Dengan mengadopsi pendekatan Ius Integrum Nusantara, sistem hukum Indonesia diharapkan mampu membentuk karakter hukum notaris yang tidak hanya legally valid, tetapi juga socially trusted dan morally upright. Sebuah sistem hukum yang tidak hanya mencatat, tetapi juga mendidik; tidak hanya menghukum, tetapi juga membina; tidak hanya menjamin legalitas, tetapi juga merawat keadilan substantif yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Membangun Sistem Hukum Notaris yang Futuristik, Deterministik, dan Responsif di Indonesia
Pembaharuan hukum pidana nasional melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan tonggak penting dalam transformasi sistem hukum Indonesia. Salah satu implikasi substansial dari pembaruan ini tampak jelas dalam kerangka perlindungan terhadap jabatan notaris sebagai pejabat publik. Paradigma lama yang berakar pada legal positivism kolonial telah menunjukkan keterbatasannya dalam menjawab dinamika sosial hukum yang kompleks. Dalam konteks ini, konsep Ius Integrum Nusantara hadir sebagai formulasi futuristik, deterministik, dan responsif untuk menjamin perlindungan, keberlanjutan moralitas profesi, serta relevansi jabatan notaris dalam kerangka hukum nasional.
Secara historis, sistem hukum pidana Indonesia mewarisi konstruksi normatif dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indië (KUHP lama) yang sarat dengan pendekatan formalistik dan rigid. Notaris dalam konstruksi ini cenderung diposisikan sebagai subjek hukum pasif yang rentan terhadap kriminalisasi, tanpa mempertimbangkan dimensi etik dan sosial dari profesinya (Utrecht, 1962). Pendekatan hukum yang sempit ini tidak hanya membatasi makna jabatan notaris sebagai penjaga legalitas dan pembuat akta autentik, tetapi juga mereduksi peran sosialnya sebagai penjaga kepercayaan publik dalam sistem hukum. Dalam kerangka hukum baru, negara secara eksplisit menggeser orientasi hukum pidana dari hukum yang represif menuju sistem hukum yang humanis dan kontekstual.
Konsep Ius Integrum Nusantara yang diadopsi dalam KUHP baru memperluas horizon hukum pidana dengan mengintegrasikan dimensi yuridis-normatif, historis-filosofis, dan kultural dalam satu kerangka sistemik. Lubis (2024) mencatat bahwa konsep ini tidak sekadar menjadi narasi filosofis, melainkan berperan sebagai kerangka metodologis yang mendorong hukum berfungsi prediktif terhadap perubahan sosial, determinatif terhadap integritas pejabat hukum, dan responsif terhadap pluralitas masyarakat. Dalam konteks jabatan notaris, pendekatan ini menjadi sangat signifikan karena jabatan ini berada dalam irisan antara kewenangan hukum negara dan kepercayaan masyarakat sipil. Dari sudut deterministik, jabatan notaris menjalankan fungsi vital dalam memberikan kepastian hukum melalui akta autentik. Namun, KUHP baru menolak determinasi hukum yang bersifat absolut dan mekanistik. Sebaliknya, ia mengadopsi pendekatan yang adaptif dan reflektif, menekankan pentingnya niat (mens rea), tanggung jawab etik, serta dampak sosial dari setiap tindakan hukum. Ini menandai evolusi penting dalam cara negara memandang peran notaris, tidak hanya sebagai alat administratif, melainkan sebagai aktor sosial yang turut membentuk keadilan substantif (Muladi & Arief, 1992).
Paradigma responsif dalam KUHP baru juga membuka ruang bagi pengakuan atas nilai-nilai lokal, hukum adat, dan norma kultural yang selama ini termarginalisasi dalam sistem hukum positif Indonesia. Jabatan notaris, yang dalam praktiknya sering bersinggungan dengan kepentingan masyarakat adat dan kearifan lokal, kini memiliki landasan hukum untuk menyesuaikan praktiknya dengan nilai-nilai komunitas. Dengan demikian, hukum pidana tidak menjadi entitas yang mengalienasi masyarakatnya, tetapi menjadi sistem yang menyatu dalam denyut nadi kultural masyarakat (Rahardjo, 2008). Pendekatan ini menghidupkan kembali filosofi officium nobile yang telah lama menjadi fondasi jabatan notaris di banyak sistem hukum kontinental. Dalam perspektif yuridis-filosofis, jabatan ini tidak sekadar administratif, tetapi merupakan pengemban moral dan sosial yang memiliki kewajiban menjaga integritas hukum dan martabat masyarakat. Model ini selaras dengan nilai-nilai hukum Gustav Radbruch yang menyeimbangkan tiga pilar utama hukum: kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam konstruksi Ius Integrum Nusantara, jabatan notaris dipahami sebagai penjelmaan dari ketiga nilai tersebut dalam praktik hukum sehari-hari.
Namun, dalam konteks implementasi, terdapat persoalan struktural yang belum sepenuhnya menjawab kebutuhan perlindungan hukum terhadap notaris. Misalnya, keberadaan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) yang diatur dalam Pasal 66A UU Jabatan Notaris (UUJN) masih terbatas dalam ruang lingkup perlindungannya, yakni hanya pada tahap penyidikan. Padahal, fase peradilan berikutnya merupakan titik rawan kriminalisasi, yang apabila tidak diikuti dengan pendampingan dan kontrol etik yang berkelanjutan, justru dapat meruntuhkan martabat jabatan itu sendiri. Hal ini menandakan pentingnya reformasi normatif untuk memperluas jangkauan perlindungan hukum terhadap notaris.
Permenkumham Nomor 17 Tahun 2021 yang mengatur pengawasan notaris telah menegaskan pentingnya independensi jabatan dari intervensi eksternal yang dapat mengganggu objektivitas hukum. Namun, pengawasan yang bersifat administratif perlu diperkuat dengan pendekatan etik dan prosedural yang mampu mengidentifikasi persoalan substansial secara lebih mendalam, khususnya terkait risiko pemalsuan dan tuduhan penyalahgunaan jabatan. Dalam hal ini, metode hermeneutik hukum menjadi instrumen yang penting dalam menafsirkan norma secara kontekstual, adaptif, dan teleologis.
Sumpah jabatan yang diatur dalam Pasal 4 UUJN bukan sekadar simbolik, tetapi merupakan deklarasi moral yang mengikat secara hukum. Sumpah ini menciptakan norma etik yang menjadi rujukan utama dalam menilai tanggung jawab profesi notaris. Pelanggaran terhadap sumpah ini tidak hanya memiliki implikasi administratif, tetapi juga dapat merujuk pada tanggung jawab pidana dan perdata. Dalam praktik perbandingan, sistem hukum Belanda dan Prancis memberikan perlindungan kuat terhadap notaris yang menjalankan tugasnya dengan itikad baik, sekaligus menerapkan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan kewenangan (Rahardjo, 2008).
Salah satu isu krusial yang sering muncul adalah tuduhan pemalsuan baik secara materiil maupun intelektual terhadap akta yang dibuat notaris. Dalam hal ini, penegak hukum perlu menerapkan prinsip diferensiasi antara kesalahan prosedural dan actus reus yang mengandung unsur pidana. Tidak semua pelanggaran administratif harus serta-merta dikriminalisasi. Ketika notaris telah menjalankan tugas sesuai ketentuan hukum dan kode etik, maka ia seharusnya mendapat perlindungan hukum dari potensi kriminalisasi yang tidak berdasar. KUHP baru, dalam pasal-pasalnya yang mengatur mengenai rahasia jabatan (misalnya Pasal 322), penyalahgunaan jabatan (Pasal 417), serta pemalsuan (Pasal 263 dan 264), tetap memberikan kerangka pengawasan yang ketat, tetapi tidak mengesampingkan perlindungan terhadap profesi. Perlindungan ini diperkuat dengan hak ingkar (recht van weigering) sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHAP, yang menegaskan hak notaris untuk menolak memberikan keterangan yang dapat melanggar rahasia jabatan. Mekanisme ini merupakan bentuk perlindungan yuridis fundamental terhadap posisi notaris sebagai penjaga kepercayaan hukum.
Selain itu, dari perspektif komparatif dari praktik negara-negara seperti Belanda dan Prancis memberikan otoritas tinggi kepada lembaga pengawas notaris untuk mendampingi dan membela notaris dalam semua tahapan proses hukum. Indonesia perlu mengambil pelajaran dari praktik tersebut guna merumuskan sistem perlindungan hukum yang lebih komprehensif dan terintegrasi. Dalam era digitalisasi dan globalisasi hukum, tantangan terhadap profesi notaris tidak hanya berasal dari penyalahgunaan kewenangan, tetapi juga dari potensi serangan siber, manipulasi digital, dan pemalsuan dokumen elektronik yang semakin kompleks.
Reformasi hukum nasional dalam kerangka Ius Integrum Nusantara bukan hanya agenda legislasi, tetapi juga revolusi epistemik yang menuntut pemikiran ulang tentang fungsi, peran, dan perlindungan pejabat publik seperti notaris. Dengan pendekatan hukum yang futuristik, deterministik, dan responsif, Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun sistem hukum yang berkeadaban, pluralistik, dan transformatif. Jabatan notaris, dalam kerangka ini, tidak lagi sekadar pelaksana normatif, tetapi aktor integral dalam pembentukan keadilan substantif yang hidup dan dinamis dalam masyarakat majemuk.
Memperkuat Mekanisme Perlindungan Notaris dalam Sistem Hukum
Tidak dapat dipungkiri, dalam arsitektur hukum nasional terkait dengan keberadaan notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik menempati posisi yang strategis dalam menopang tertib administrasi hukum serta menjamin kepastian dan perlindungan hukum masyarakat. Notaris bukan sekadar teknokrat hukum yang mencatat peristiwa hukum, melainkan aktor pengayom yang memediasi antara norma hukum dengan kebutuhan masyarakat sipil dalam ranah perdata. Oleh karena itu, sistem hukum yang mengatur perlindungan dan pengawasan terhadap notaris tidak boleh sekadar berorientasi pada kepatuhan prosedural, tetapi harus adaptif dan responsif terhadap dinamika sosial, teknologi, dan tuntutan keadilan yang berkembang. Dalam konteks inilah, hukum kenotariatan perlu dilihat melalui kerangka konseptual Ius Integrum Nusantara 2045 sebagai visi hukum nasional yang holistik dan transformatif.
Secara yuridis-normatif, Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), khususnya Pasal 66 yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, mencerminkan prinsip perlindungan hukum terhadap profesi kenotariatan. Ketentuan ini menyatakan bahwa pemanggilan notaris oleh aparat penegak hukum, baik penyidik, penuntut umum, maupun hakim, untuk memberikan keterangan atau menyerahkan minuta akta, harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN). Mekanisme ini menjadi manifestasi dari due process of law dalam konteks jabatan publik, bukan sebagai bentuk impunitas, melainkan sebagai sarana menjamin objektivitas dan menghindari kriminalisasi jabatan (Yuliana, 2022). Majelis Kehormatan Notaris sendiri diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016, yang menetapkan struktur tripartit MKN—melibatkan unsur pemerintah, organisasi notaris, dan akademisi—sebagai bentuk partisipasi multipihak dalam pengawasan profesi. Regulasi ini juga menetapkan bahwa keputusan atas permohonan aparat penegak hukum harus diberikan dalam waktu maksimal 30 hari, guna mencegah stagnasi administratif yang berpotensi menghambat proses hukum yang sah.
Selanjutnya, dalam konteks historis-filosofis diketahui bahwa sistem pengawasan seperti ini sejalan dengan gagasan corpus honorum dalam hukum Romawi klasik, di mana pejabat hukum memiliki privilegium fori—hak untuk diperiksa hanya oleh otoritas setara atau lebih tinggi secara hierarkis (Weber, 2019). Dalam sistem hukum sipil modern, prinsip ini dikembangkan dalam bentuk perlindungan profesi melalui mekanisme etik internal sebelum pejabat publik dapat diproses secara pidana. Indonesia melalui UUJN dan MKN mencoba mengadopsi model serupa dengan nuansa lokal, sebagai bentuk rekognisi terhadap integritas jabatan notaris dan kepercayaan publik yang menyertainya.
Lebih lanjut, penguatan pengawasan internal diakomodasi dalam Permenkumham Nomor 17 Tahun 2021, yang memperluas cakupan pengawasan oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD), Wilayah (MPW), dan Pusat (MPP). Fungsi pengawasan ini tidak hanya bersifat reaktif terhadap pelanggaran, tetapi juga preventif dan sistemik, mencakup pemeriksaan berkala atas protokol notaris, pelaporan akta, dan evaluasi pelaksanaan sumpah jabatan. Dalam perspektif comparative legal governance, sistem ini sejajar dengan model pengawasan profesi notaris di negara-negara seperti Jerman dan Belanda, di mana lembaga etik dan administratif profesi memiliki otoritas awal sebelum yurisdiksi pidana dapat dijalankan (Beurskens, 2020).
Meski demikian, tantangan masih hadir dalam bentuk ketidakefektifan implementasi perlindungan hukum bagi notaris, terutama ketika notaris dipanggil sebagai saksi atau tersangka tanpa melalui persetujuan MKN. Hal ini dapat terjadi karena lemahnya koordinasi antar lembaga atau karena tafsir aparat penegak hukum yang sempit terhadap norma hukum. Bahkan, dalam beberapa kasus, notaris telah diperiksa atau ditetapkan sebagai tersangka atas dasar dugaan pemalsuan akta atau pelanggaran administratif yang sebenarnya tidak memiliki mens rea dalam tindak pidana. Di sinilah urgensi pendekatan hermeneutika hukum menjadi relevan, yakni untuk menafsirkan norma secara kontekstual dan teleologis, guna mengungkap makna substantif dari perlindungan hukum yang dikehendaki pembentuk undang-undang.
Selain itu, dalam kerangka Ius Integrum Nusantara 2045 pentingnya paradigma hukum nasional harus melampaui pendekatan legalistik dan beralih ke hukum yang bersifat futuristik, prediktif, dan adaptif. Kerangka ini mensyaratkan bahwa hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat ketertiban (law as order), tetapi juga sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat dan katalisator perubahan sosial (law as a tool of social engineering). Dalam konteks kenotariatan, ini berarti bahwa hukum harus menjadikan notaris bukan sekadar pencatat peristiwa hukum, melainkan agen transformasi sosial yang menjembatani keadilan legal-formal dengan keadilan substantif (Rahardjo, 2006). Sebagai contoh, peran notaris dalam legalisasi waris, transaksi properti, dan perjanjian bisnis memiliki pengaruh langsung terhadap redistribusi aset dan kesejahteraan masyarakat.
Maka dari itu, reformasi sistem perlindungan hukum terhadap notaris tidak dapat berhenti pada kepatuhan terhadap prosedur administratif, tetapi harus mencakup pembentukan lembaga etik independen berbasis digital, penyusunan standar prosedur pemanggilan yang transparan, serta penggunaan teknologi legal analytics untuk mendeteksi potensi pelanggaran sebelum menjadi masalah hukum. Selain itu, pemberian hak asistensi hukum terhadap notaris yang sedang menghadapi proses pidana juga menjadi kebutuhan yang tidak dapat diabaikan dalam iklim hukum yang semakin kompleks.
Dengan demikian, perlindungan hukum terhadap notaris bukanlah bentuk keistimewaan yang bersifat eksklusif, melainkan bagian integral dari sistem hukum yang menjunjung tinggi profesionalisme, keadilan, dan integritas jabatan publik. Dalam semangat Ius Integrum Nusantara 2045, hukum kenotariatan harus menjadi bagian dari ekosistem hukum nasional yang responsif, prediktif, dan transformatif—yakni hukum yang tidak hanya menjaga tertib formalitas, tetapi juga mendorong kesejahteraan masyarakat secara inklusif dan berkelanjutan.
Evolusi Jabatan Notaris dan Urgensi Harmonisasi Sistem Perlindungan Hukum
Dinamika sistem hukum nasional yang terus bertransformasi, keberadaan notaris sebagai officium publicum tidak dapat lagi diposisikan semata sebagai teknokrat pencatat kehendak hukum para pihak. Notaris merupakan institusi yang menyerap legitimasi negara dalam bentuk kekuasaan untuk menghasilkan akta autentik yang berkekuatan hukum prima facie. Namun demikian, realitas hukum positif Indonesia masih menyisakan berbagai ketimpangan normatif dan institusional dalam menjamin perlindungan hukum terhadap jabatan notaris. Ketidaksinkronan antara norma dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta absennya kerangka hukum digital yang adaptif, menempatkan notaris pada posisi rawan dikriminalisasi dalam situasi hukum yang semestinya bersifat administratif atau etik.
Secara yuridis-normatif, Pasal 66 UUJN mengatur bahwa sebelum notaris dapat dipanggil oleh aparat penegak hukum untuk memberikan keterangan terkait minuta akta atau protokol, harus terlebih dahulu diperoleh persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN). Mekanisme ini merupakan refleksi dari prinsip due process of law yang memastikan jabatan publik mendapatkan pengawasan etik sebelum memasuki proses hukum pidana. Namun dalam praktik, ketentuan ini seringkali tidak dijalankan secara konsekuen. Penyidik kerap mengabaikan keberadaan MKN sebagai legal filter, dengan alasan bahwa KUHAP sebagai lex generalis tidak mengenal prosedur serupa. Akibatnya, notaris dapat diperiksa bahkan ditetapkan sebagai tersangka tanpa adanya pemeriksaan etik awal, sebagaimana tampak dalam Putusan No. 97/Pid.B/2022/PN.Jkt.Sel (Supardi, 2023).
Secara historis-filosofis, jabatan notaris berakar dari tradisi Latijnse notariaat yang berkembang sejak masa hukum Romawi, di mana notaris merupakan representasi negara dalam menjamin validitas dan integritas dokumen hukum sipil (Corpus Juris Civilis). Sumpah jabatan notaris: Tabellionis Officium Fideliter Exercebo, bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan ekspresi etik yang mengikat secara moral dan institusional. Di Belanda, sebagai model hukum awal Indonesia, posisi notaris memiliki keunikan sebagai fidei commissarius—penjaga kepercayaan publik. Konsep ini terus hidup dalam sistem hukum Eropa Kontinental, termasuk Jerman dan Prancis, yang menerapkan preliminary disciplinary mechanism sebelum notaris dapat diproses secara pidana (Beurskens, 2020; Conseil Supérieur du Notariat, 2023).
Perbandingan sistem di negara-negara civil law menunjukkan adanya functional differentiation yang ketat antara pelanggaran etik, administratif, dan pidana dalam penanganan jabatan notaris. Di Jerman, Notarkammer dan Disziplinargericht menjadi gerbang etik yang wajib dilalui sebelum penyidik dapat melakukan tindakan hukum terhadap notaris. Begitu pula di Prancis, Conseil Supérieur du Notariat (CSN) memiliki otoritas etik yang tak dapat dilewati dalam proses hukum terhadap notaris. Bahkan Singapura, dengan sistem hukum common law, menempatkan notaris dalam yurisdiksi administratif di bawah Kementerian Hukum, dan mewajibkan adanya pemeriksaan etik sebelum proses pidana dapat dilanjutkan (Singapore Statutes Online, 2022). Dalam seluruh sistem ini, prinsip utama yang dijaga adalah professional immunity with ethical accountability—yakni perlindungan terhadap jabatan publik dalam kerangka pengawasan etik yang terstruktur.
Sebaliknya, di Indonesia, posisi MKN tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dalam perspektif KUHAP. Permintaan persetujuan dari MKN oleh penyidik kerap dipandang sebagai prosedur administratif semata. Hal ini menciptakan celah hukum (legal loophole) yang mengakibatkan criminalisasi jabatan notaris, termasuk penyitaan dokumen dan pemeriksaan digital tanpa pengawasan forensik atau etik terlebih dahulu. Kondisi ini menunjukkan ketidaksiapan sistem hukum Indonesia dalam menghadapi kompleksitas peran notaris, apalagi dalam konteks transformasi digital yang mengaburkan batas antara dokumen fisik dan digital.
Lebih jauh lagi, melalui pendekatan hermeneutika hukum menjadi krusial, dan penafsiran hukum tidak dapat hanya berbasis textual positivism, melainkan harus mempertimbangkan maksud teleologis pembentuk undang-undang, serta konteks etik dan sistemik jabatan publik. Pemaknaan ulang terhadap perlindungan hukum terhadap notaris mesti memperhitungkan posisi mereka sebagai bagian dari state-regulated professions, bukan aktor privat biasa.
Perkembangan digitalisasi hukum menambah tantangan baru yang belum diantisipasi oleh sistem hukum positif. Notaris kini terlibat dalam penyusunan electronic deed, penggunaan digital signature, blockchain-based timestamping, serta penyimpanan akta dalam sistem digital berbasis cloud infrastructure. Namun, KUHAP maupun UU ITE belum menyediakan kerangka normatif yang mampu menjawab isu-isu seperti pembuktian digital, keaslian dokumen elektronik, dan penyitaan protokol notaris dalam format digital (Prasetyo & Harahap, 2023). Di sinilah peran notaris sebagai Custodian of Digital Legal Trust menjadi signifikan, sekaligus menuntut penguatan hukum digital yang responsif.
Melalui gagasan Ius Integrum Nusantara 2045, perlindungan terhadap notaris seharusnya tidak hanya diletakkan dalam dimensi prosedural, tetapi dikembangkan sebagai sistem holistik yang mencakup empat elemen utama: Four Point Determination Agrarian, Trias Officium Notary, Tabellionis Officium Fideliter Exercebo, dan Custodian of Digital Legal Trust. Elemen pertama menekankan fungsi notaris dalam menjamin kepastian hukum agraria, khususnya dalam konflik pertanahan. Elemen kedua menggarisbawahi bahwa jabatan notaris mencakup dimensi normatif, praktis, dan etik. Elemen ketiga menghidupkan kembali sumpah jabatan sebagai fondasi moral dalam perlindungan hukum. Dan elemen keempat menempatkan notaris sebagai penjaga keabsahan dan keutuhan dokumen hukum digital, yang membutuhkan kerangka regulasi baru, seperti legal forensics dan blockchain authentication.
Maka, urgensi harmonisasi sistem hukum menjadi keniscayaan. Reformasi terhadap KUHAP perlu dilakukan melalui amandemen terbatas yang mengakui jabatan publik seperti notaris dalam bab khusus perlindungan jabatan, serta menyelaraskan ketentuan tentang hak ingkar, penyitaan, dan prosedur pemeriksaan akta dengan ketentuan dalam UUJN. Di sisi lain, UUJN juga harus direvisi agar lebih adaptif terhadap tantangan digitalisasi, dengan memasukkan ketentuan tentang electronic act, legal metadata, dan digital audit trail sebagai komponen integral dari protokol notaris. Tanpa langkah konkret ini, perlindungan hukum terhadap notaris akan terus bersifat deklaratif dan tidak menjawab persoalan riil yang mereka hadapi di lapangan.
Dengan demikian, jabatan notaris adalah institusi hukum publik yang tidak hanya membutuhkan perlindungan normatif, tetapi juga penguatan etik, teknologi, dan pengawasan institusional yang komprehensif. Harmonisasi sistem hukum melalui pendekatan konseptual dan komparatif merupakan jalan menuju sistem perlindungan hukum yang tidak hanya adil secara formal, tetapi juga substantif dan kontekstual. Tanpa itu, kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum akan terkikis, dan fungsi kenotariatan sebagai penjamin kepastian hukum akan kehilangan makna strategisnya dalam sistem hukum nasional yang demokratis dan inklusif.
Reformasi KUHAP dalam Kerangka Ius Integrum Nusantara 2045
Dinamika pembangunan hukum nasional yang semakin kompleks dan multidimensional, jabatan notaris sebagai pelaksana fungsi publik memiliki posisi yang sangat strategis, terutama dalam menjamin kepastian hukum atas dokumen-dokumen yang bernilai pembuktian tinggi. Notaris bukan sekadar pembuat akta, tetapi juga penjaga legalitas dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, atau custodian of public trust. Namun, dalam konteks hukum acara pidana, posisi notaris justru terancam oleh kekosongan regulasi yang menjamin perlindungan hukum yang deterministik, berkeadilan, dan responsif. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menjadi pilar utama dalam sistem peradilan pidana Indonesia, belum mengakomodasi secara eksplisit perlindungan jabatan notaris dalam proses pemeriksaan, penyitaan, dan pembuktian, khususnya ketika menyangkut protokol notaris atau dokumen digital.
Ketidakhadiran norma lex specialis dalam KUHAP yang secara langsung mengatur pemeriksaan terhadap notaris membuka ruang tafsir yang bias dan prosedur yang tidak proporsional. Hal ini menimbulkan risiko kriminalisasi jabatan notaris, khususnya ketika akta otentik dijadikan sebagai objek pembuktian pidana tanpa melalui mekanisme Majelis Kehormatan Notaris (MKN) yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). Secara normatif, Pasal 66 UUJN mengatur bahwa pemeriksaan terhadap notaris dalam kaitannya dengan pelaksanaan jabatan harus mendapatkan persetujuan dari MKN. Namun, dalam praktik, banyak aparat penegak hukum yang mengabaikan ketentuan tersebut, dan tetap melakukan penyitaan atau pemeriksaan terhadap notaris tanpa melalui persetujuan MKN, sebagaimana terlihat dalam berbagai putusan pengadilan (Supardi, 2023).
Selanjutnya, dari sudut pandang historis-filosofis keberadaan jabatan notaris lahir dari tradisi hukum civil law, yang dalam konteks Eropa Kontinental merupakan jabatan kehormatan negara (officium publicum) yang memiliki dimensi etik, normatif, dan sosiologis. Dalam naskah klasik seperti Corpus Juris Civilis, notaris diposisikan sebagai penjamin integritas dan legitimasi akta, dengan prinsip dasar tabellionis officium fideliter exercebo, yaitu menjalankan jabatan secara jujur, setia, dan berdasarkan sumpah profesi (Vriesendorp, 2019). Di Indonesia, meskipun sistem ini diadopsi dalam UUJN, namun belum mendapatkan elaborasi dan penguatan normatif dalam sistem hukum acara pidana, khususnya KUHAP yang masih bersifat generik dan tidak sensitif terhadap fungsi jabatan publik yang bersifat spesifik.
Untuk menjawab tantangan tersebut, pendekatan Ius Integrum Nusantara 2045 menjadi kerangka analisis yang relevan dan visioner. Formulasi hukum ini menekankan pembangunan sistem hukum nasional yang futuristic, deterministic, dan responsive—yakni sistem hukum yang mampu memprediksi arah perubahan sosial, menjamin kesinambungan keadilan, dan memberdayakan masyarakat melalui kerangka hukum yang transformatif, pluralistik, dan berkeadaban. Dalam konteks ini, perlindungan hukum terhadap notaris dalam KUHAP harus diperkuat melalui lima instrumen integratif yang berfungsi sebagai fondasi transformasi hukum nasional.
Pertama, Four Point Determination Agrarian, yaitu paradigma hukum pertanahan yang berlandaskan pada keadilan, legalitas, kepastian hukum, dan integritas dokumen, menempatkan akta notaris sebagai alat bukti utama dalam transaksi agraria. Ketidakjelasan perlindungan terhadap akta ini dalam proses pidana dapat merusak sistem pertanahan nasional dan melemahkan kepercayaan publik terhadap negara.
Kedua, Trias Officium Notary menegaskan tiga pilar jabatan notaris: normatif, praktis, dan etik-moral, yang masing-masing memerlukan jaminan hukum yang spesifik. KUHAP yang bersifat umum belum memadai untuk menjamin ketiga dimensi ini secara utuh, apalagi dalam konteks pelanggaran etik yang semestinya diselesaikan melalui mekanisme etik, bukan kriminal.
Ketiga, prinsip Tabellionis Officium Fideliter Exercebo menuntut bahwa notaris, sebagai pejabat yang disumpah, memiliki perlindungan hukum terhadap segala bentuk penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum yang tidak memahami peran dan fungsi jabatan ini secara konseptual.
Keempat, Custodian of Digital Legal Trust Notary mengarahkan pembaruan KUHAP untuk mengakomodasi realitas digitalisasi dokumen hukum. Penyitaan dokumen elektronik, pemeriksaan tanda tangan digital, serta keabsahan timestamp atau blockchain verification sebagai bukti harus diatur secara eksplisit dalam hukum acara pidana, agar tidak terjadi kekosongan hukum dalam pembuktian dan perlindungan atas akta digital (Prasetyo & Harahap, 2023).
Selanjutnya, dalam kerangka tersebut akan terdapat beberapa aspek krusial yang perlu dimasukkan dalam revisi KUHAP. Pertama, penyelidikan atau penyidikan terhadap notaris yang berkaitan dengan pelaksanaan jabatannya harus terlebih dahulu mendapatkan izin tertulis dari MKN. Hal ini bertujuan untuk menyaring dugaan pelanggaran etik dan administratif dari proses pidana yang dapat menimbulkan overcriminalization. Kedua, perlu adanya standar teknis dan legal atas hak tolak (recht van weigering) yang mencakup definisi yuridis terhadap “rahasia jabatan”, termasuk pedoman pelaksanaannya dalam proses pemeriksaan. Ketiga, penyitaan dokumen digital harus tunduk pada prinsip kehati-hatian dan keabsahan forensik digital, sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Keempat, penyediaan bantuan hukum negara terhadap notaris dalam perkara pidana yang menyangkut protokol jabatan merupakan keniscayaan dalam memastikan jaminan keadilan prosedural. Terakhir, sinkronisasi antara KUHAP dan UUJN serta regulasi agraria menjadi prasyarat penting dalam menciptakan sistem hukum yang coherent dan terhindar dari bias yurisdiksi.
Tanpa adanya pembaruan struktural terhadap KUHAP, maka hukum acara pidana akan terus menjadi medan abu-abu yang memfasilitasi praktik-praktik abuse of power, terutama terhadap jabatan notaris yang menjalankan kewenangan negara secara administratif. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat konstitusional untuk menjamin perlindungan terhadap setiap warga negara, terlebih kepada mereka yang menjalankan fungsi publik dalam kerangka negara hukum. KUHAP tidak bisa lagi bersikap netral atau formalistik ketika menyangkut jabatan publik strategis seperti notaris. Sistem hukum harus berpihak pada keadilan substantif, bukan semata-mata pada prosedur yang dapat diselewengkan oleh kuasa penegakan hukum.
Dengan demikian, arah pembangunan hukum acara pidana ke depan harus dilandasi oleh prinsip legal futurism yang memproyeksikan tantangan sosial-hukum masa depan, seperti digitalisasi, keadilan data, dan kepercayaan publik. Perlindungan jabatan notaris harus ditempatkan dalam konteks pembangunan hukum nasional yang mengedepankan integrasi antara hukum positif, sistem etik, dan teknologi hukum modern. Reformasi KUHAP dengan berlandaskan pada paradigma Ius Integrum Nusantara 2045 tidak hanya merupakan kebutuhan hukum, melainkan menjadi imperatif konstitusional dalam menciptakan negara hukum yang demokratis, humanistik, dan beradab.
Harmonisasi Pedoman Pemidanaan dan Jabatan Notaris dalam Reformasi Hukum Digital Nasional
Kajian pembahasan dalam lanskap transformasi hukum nasional yang semakin terdigitalisasi dan kompleks, integrasi pedoman pemidanaan dalam KUHP Baru dengan sistem jabatan notaris memerlukan kerangka normatif yang holistik, bukan semata koreksi administratif. Jabatan notaris, sebagai pejabat umum yang menjalankan fungsi autentikasi hukum negara, berada dalam posisi strategis yang menghubungkan ranah privat masyarakat dengan legalitas negara. Namun, ketika KUHP Baru secara eksplisit menetapkan standar baru dalam pemidanaan berdasarkan nilai moral, rasionalitas, dan proporsionalitas, maka kedudukan notaris juga terdampak secara langsung, terutama dalam konstruksi tanggung jawab pidana jabatan. Hal ini menuntut desain hukum yang tidak hanya reformatif, tetapi juga transformatif secara epistemologis dan sosiologis, agar jabatan notaris tidak terjerat dalam jebakan kriminalisasi administratif yang berulang.
Pendekatan Ius Integrum Nusantara 2045 menempatkan sistem hukum nasional sebagai organisme hidup yang bergerak dinamis mengikuti arah perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi. Dalam paradigma ini, reformasi KUHP bukan hanya tentang peralihan dari Wetboek van Strafrecht ke sistem pidana nasional, melainkan tentang rekonseptualisasi struktur hukum Indonesia secara integral. Dengan mengusung nilai-nilai futuristik, deterministik, dan responsif, pendekatan ini berupaya membangun sistem hukum yang mampu mengantisipasi disrupsi sosial, menjamin kesinambungan keadilan, dan sekaligus memberdayakan masyarakat melalui hukum yang inklusif dan berkeadaban. Dalam konteks kenotariatan, prinsip ini bermakna bahwa jabatan notaris harus mengalami reorientasi dari jabatan administratif ke jabatan hukum digital yang adaptif dan akuntabel.
Reposisi notaris sebagai Custodian of Digital Legal
Trust bukan sekadar jargon modernitas, melainkan bentuk konkret dari penguatan legitimasi jabatan dalam era ekosistem hukum digital. Notaris tidak hanya dituntut memahami mekanisme hukum klasik, tetapi juga memikul tanggung jawab terhadap sistem legal berbasis kriptografi, otentikasi digital, dan interoperabilitas data lintas yurisdiksi. Ketika akta otentik kini dibuat, disimpan, dan diverifikasi secara digital, maka pelanggaran atas integritasnya bukan hanya ancaman etik, melainkan potensi delik pidana dengan dampak sistemik, terutama bila menyangkut kepentingan publik, korporasi, atau keuangan negara. Dalam konteks ini, pengaturan pedoman pemidanaan harus dijadikan alat kontrol etis dan rasional atas kekuasaan jabatan notaris, tanpa mengabaikan karakteristik unik profesi yang dilandasi kepercayaan publik.
Dari sudut yuridis-normatif, KUHP Baru secara implisit membuka ruang bagi penerapan prinsip dualisme tanggung jawab jabatan, yakni pemisahan yang tegas antara pelanggaran administratif dengan unsur pidana dalam jabatan publik. Model ini telah lama diterapkan dalam sistem hukum Jerman melalui konsep Berufshaftung (tanggung jawab profesi) dan Dienstvergehen (pelanggaran jabatan), yang masing-masing memiliki jalur hukum dan standar pembuktian berbeda (Zimmermann, 2022). Dalam konteks Indonesia, belum terdapat pengaturan eksplisit tentang standar etik versus pidana dalam jabatan notaris, sehingga dalam praktik banyak ditemukan tumpang tindih penanganan antara Majelis Pengawas Notaris (MPN), Majelis Kehormatan Notaris (MKN), dan aparat penegak hukum. Harmonisasi norma-norma ini menjadi prasyarat krusial agar KUHP Baru tidak justru menciptakan hiper-kriminalisasi terhadap jabatan notaris yang rentan terhadap tekanan sosial dan politis.
Lebih dari itu, dalam kerangka filosofis-historis, jabatan notaris merupakan warisan dari sistem civil law Eropa Kontinental yang menjunjung tinggi integritas dan kepercayaan sebagai basis legalitas, bukan semata hasil kontrak administratif. Di Prancis dan Jerman, jabatan notaris dilindungi secara ketat oleh sistem hukum yang menjamin independensi, akuntabilitas etik, serta pembatasan campur tangan negara dalam penilaian profesional (Dezalay & Garth, 2019). Indonesia, yang mewarisi model serupa, semestinya juga menyusun mekanisme perlindungan jabatan notaris dalam kerangka hukum acara pidana yang responsif terhadap nilai profesi, termasuk dalam penerapan pedoman pemidanaan.
Sebagai contoh konkret, pertimbangan pidana terhadap kesalahan notaris dalam penerbitan akta perusahaan yang kemudian digunakan untuk tindak pidana korupsi atau penggelapan, harus dibedakan antara kelalaian prosedural dan keterlibatan aktif dalam niat jahat (mens rea). Dalam KUHP Baru, aspek ini dapat ditelaah melalui Pasal 55 dan 56 tentang penyertaan, dikaitkan dengan Pasal 57 tentang keadaan yang meringankan atau memberatkan. Namun, tanpa standar forensik dan audit digital yang memadai, posisi notaris dalam perkara pidana akan berada pada posisi rawan, apalagi bila sistem pengawasan digital belum siap untuk membedakan antara kesalahan teknis dan intensi kriminal.
Selain itu, dalam kerangka Ius Integrum Nusantara 2045 diperlukan adanya reformasi sistem kenotariatan yang terintegrasi dengan KUHP Baru harus mengedepankan tiga prinsip utama: prediktabilitas hukum, keadilan prosedural, dan partisipasi inklusif. Prediktabilitas berarti bahwa sistem hukum harus memberikan kepastian atas batas-batas tanggung jawab jabatan notaris, termasuk melalui codifikasi norma pidana yang spesifik terhadap pelanggaran profesi. Keadilan prosedural menuntut bahwa proses pemeriksaan pidana terhadap notaris harus melalui tahap-tahap etik dan administratif terlebih dahulu sebelum ditingkatkan menjadi perkara pidana. Partisipasi inklusif menghendaki bahwa perubahan sistem hukum ini melibatkan komunitas profesi, akademisi, dan masyarakat sipil agar legitimasi hukum tidak hanya berasal dari negara, tetapi juga dari penerimaan sosial.
Penguatan jabatan notaris dalam sistem hukum digital nasional juga memerlukan rekonstruksi kurikulum pendidikan hukum dan pelatihan profesi yang berbasis legal tech. Notaris masa depan harus dilatih untuk memahami aspek kriptografi hukum, desain smart contracts, dan prinsip audit digital forensik. Institusi pendidikan tinggi dan organisasi profesi wajib menyusun program sertifikasi dan pelatihan berkelanjutan yang adaptif terhadap revolusi teknologi hukum. Negara, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, harus berperan aktif dalam membentuk lembaga pengawasan terpadu berbasis teknologi yang mampu membaca pola penyimpangan jabatan secara sistematis dan prediktif. Dengan demikian, penegakan hukum tidak lagi bersifat reaktif, melainkan preventif dan transformatif.
Akhirnya, pedoman pemidanaan dalam KUHP Baru bukanlah ancaman terhadap kebebasan profesi, melainkan peluang untuk membangun sistem hukum jabatan publik yang lebih bertanggung jawab, rasional, dan berorientasi pada keadilan substantif. Melalui harmonisasi antara norma pidana baru dengan sistem kenotariatan yang direformasi dalam bingkai Ius Integrum Nusantara 2045, Indonesia dapat menghadirkan paradigma hukum nasional yang tidak hanya modern dalam teknologi, tetapi juga luhur dalam etika, adil dalam prosedur, dan kuat dalam integritas. Jabatan notaris, dalam kerangka ini, adalah simbol kepercayaan hukum digital bangsa—sebuah posisi yang hanya dapat dipertahankan melalui regulasi yang adaptif, pengawasan yang cerdas, dan pemidanaan yang proporsional serta berkeadaban.
Reformasi Pedoman Pemidanaan dan Digitalisasi Notaris dalam Sistem Hukum Berkeadaban
Tinjauan pembahasan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, terutama setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) merupakan titik balik monumental dalam menegaskan identitas hukum nasional yang berdaulat, progresif, dan berorientasi masa depan. Tak sekadar menggantikan Wetboek van Strafrecht warisan kolonial yang sudah usang secara moral maupun fungsional, KUHP Baru menandai lahirnya sistem hukum pidana yang berakar pada nilai-nilai Pancasila dan mengintegrasikan semangat keadilan substantif, restoratif, dan kontekstual. Di dalamnya, terdapat pembaruan substansial dalam bentuk Pedoman Pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 hingga 63, yang tidak hanya membatasi diskresi hakim, tetapi sekaligus mengarahkan pemidanaan agar lebih berkeadaban, rasional, dan akuntabel. Pembaruan ini bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan memiliki implikasi yang luas, termasuk terhadap sistem kenotariatan yang kini semakin terdorong ke ranah tanggung jawab pidana karena kompleksitas transaksi hukum digital yang melibatkan notaris sebagai pejabat publik.
Dalam konteks normatif, jabatan notaris yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris mengalami tantangan besar untuk diharmonisasi dengan sistem hukum pidana baru yang menuntut pertanggungjawaban lebih tinggi atas tindakan jabatan, khususnya dalam praktik digital. KUHP Baru secara eksplisit mendorong agar pertimbangan pemidanaan tidak lagi bersifat kasuistik dan subjektif, tetapi berpijak pada asas proporsionalitas, keadilan korektif, serta pertimbangan sosial dan moral. Hal ini membawa dampak langsung terhadap praktik kenotariatan, yang sebelumnya lebih sering diletakkan dalam ranah administratif dan etik, tetapi kini memiliki potensi masuk ke wilayah pidana substantif, terutama dalam kasus pemalsuan akta, penyalahgunaan kewenangan, atau keterlibatan dalam kejahatan korporasi melalui instrumentasi akta otentik.
Relevansi Pedoman Pemidanaan bagi notaris menjadi semakin penting mengingat posisi strategis notaris dalam menjamin keabsahan hukum dokumen, identitas para pihak, dan keotentikan kehendak hukum dalam transaksi privat. Dengan meningkatnya digitalisasi proses kenotariatan, seperti pemanfaatan tanda tangan elektronik, platform e-notary, dan validasi dokumen berbasis blockchain, maka celah kesalahan prosedural maupun penyimpangan etika menjadi lebih kompleks dan multidimensional. Dalam sistem baru yang diusung KUHP, kesalahan atau penyimpangan jabatan tidak bisa lagi dibenarkan dengan alasan kekeliruan administratif semata, sebab pemidanaan kini memiliki standar moral yang lebih tinggi dan berbasis integritas publik. Maka, jabatan notaris harus mengalami transformasi dari sekadar officium nobile menjadi custodian of digital legal trust—penjaga integritas hukum digital yang tak hanya andal secara teknis, tetapi juga kokoh secara etik dan tanggung jawab pidana.
Secara historis, jabatan notaris di Indonesia merupakan hasil transplantasi hukum dari sistem civil law Eropa Kontinental, khususnya Belanda, yang menekankan pentingnya dokumentasi hukum privat yang sah dan otentik untuk mendukung tertib hukum masyarakat. Akan tetapi, pendekatan klasik ini mulai mengalami dekadensi fungsional di tengah perkembangan masyarakat digital dan kompleksitas kejahatan korporasi modern. KUHP Baru mencoba merestorasi fondasi hukum ini melalui pendekatan pidana yang lebih adaptif dan inklusif, termasuk memberi ruang bagi pidana non-penjara seperti pidana kerja sosial, pidana pengawasan, dan pidana denda proporsional. Bagi notaris, pendekatan ini membuka peluang untuk membedakan antara pelanggaran etik-administratif dan tindakan pidana berat, sehingga tidak semua kesalahan profesi otomatis dikriminalisasi.
Selanjutnya, dalam kerangka filosofis hadirnya reformasi ini merupakan bagian dari pencarian sistem hukum yang deterministik dan transformatif—yang mampu memprediksi arah perubahan sosial, menjamin kesinambungan keadilan, dan memberdayakan masyarakat dalam kerangka hukum yang berkeadaban. Sistem hukum semacam ini menuntut bahwa jabatan notaris tidak boleh semata-mata tunduk pada regulasi tertulis, tetapi harus menanamkan tanggung jawab moral terhadap keadilan sosial dan kemaslahatan publik. Di sinilah pentingnya menggeser paradigma jabatan notaris dari fungsi statis sebagai pembuat akta, menjadi aktor dinamis dalam sistem hukum digital yang berorientasi pada trust, transparansi, dan teknologi.
Studi komparatif terhadap model kenotariatan di negara lain memperlihatkan bahwa reformasi ini tidak dapat dilakukan secara setengah hati. Jerman, misalnya, melalui sistem Notarordnung, telah membangun sistem yang menyinergikan standar etik, tanggung jawab pidana, dan audit digital secara terintegrasi (Hertogh, 2020). Estonia bahkan telah mengimplementasikan sistem e-Notary secara nasional, memungkinkan layanan kenotariatan berlangsung secara daring, dengan jaminan keamanan hukum berbasis tanda tangan digital dan sistem autentikasi negara (Saarniit, 2021). Indonesia memiliki peluang besar untuk mengadopsi praktik baik ini, tentu dengan adaptasi terhadap nilai-nilai hukum nasional dan kebutuhan masyarakat yang pluralistik.
Secara konseptual, KUHP Baru melalui Pasal 54 ayat (2) tentang judicial pardon membuka ruang baru bagi fleksibilitas hakim dalam menilai kasus pelanggaran etik profesi seperti notaris. Namun, keleluasaan ini tidak boleh disalahgunakan untuk melemahkan integritas hukum jabatan. Maka, peran Majelis Pengawas Notaris dan Majelis Kehormatan Notaris menjadi vital dalam menentukan apakah suatu tindakan cukup diselesaikan secara etik atau harus masuk ranah pidana. Harmonisasi antar-regulasi ini menjadi penting agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan kriminalisasi yang berlebihan terhadap profesi hukum. Dibutuhkan perangkat hukum turunan yang mengatur secara tegas mekanisme diferensiasi antara kesalahan etik dan tindak pidana dalam praktik kenotariatan.
Transformasi sistem pengawasan juga harus berbasis teknologi. Penggunaan forensic audit digital, sistem pelaporan daring, serta integrasi data antara Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, dan organisasi profesi notaris harus menjadi prioritas. Dalam jangka menengah, pengembangan Legal Tech Ecosystem yang mendukung compliance, verifikasi dokumen elektronik, dan real-time monitoring terhadap aktivitas notariat akan menjadi fondasi sistem kenotariatan masa depan yang adaptif terhadap disrupsi digital. Pendekatan ini bukan sekadar penambahan perangkat, tetapi transformasi menyeluruh terhadap sistem hukum jabatan yang berbasis prinsip-prinsip good governance, rule of law, dan keadilan restoratif.
Dengan perspektif futuristik, sistem hukum notariat ke depan harus diselaraskan dengan visi Ius Integrum Nusantara 2045 sebagai paradigma hukum nasional yang berdaulat, adil, dan terintegrasi secara teknologi. Di dalam visi ini, hukum bukan hanya sebagai alat pengendali, tetapi sebagai instrumen transformasi sosial. Notaris yang selama ini ditempatkan di antara ranah publik dan privat harus memainkan peran sentral dalam menjembatani kepentingan hukum negara dan masyarakat, dengan tetap menjunjung integritas profesi. Maka, reformasi kenotariatan tidak boleh berhenti pada tataran regulatif, tetapi harus menyentuh aspek struktural, kultural, dan paradigmatik secara bersamaan.
Dengan demikian, reformasi Pedoman Pemidanaan dalam KUHP Baru tidak hanya menyentuh dimensi teknis perundang-undangan, tetapi juga memicu rekonstruksi epistemik terhadap sistem kenotariatan di Indonesia. Dalam era hukum digital yang semakin kompleks, notaris harus ditata ulang sebagai aktor hukum yang tidak hanya memiliki fungsi legal formal, tetapi juga tanggung jawab moral dan sosial terhadap keadilan masyarakat. Melalui penyelarasan norma pidana dengan etika profesi dan teknologi digital, sistem hukum Indonesia dapat membangun notariat masa depan yang tidak hanya kuat secara hukum, tetapi juga berakar pada nilai-nilai keadaban publik, integritas digital, dan kepercayaan hukum nasional.
Transformasi Sistem Pemidanaan dan Kenotariatan Digital Menuju Ius Integrum Nusantara 2045
Reformasi hukum pidana nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menandai babak baru yang krusial dalam upaya melepaskan sistem peradilan Indonesia dari warisan kolonial Wetboek van Strafrecht yang telah berusia lebih dari satu abad. Pembaruan ini tidak sekadar mengganti norma-norma lama, melainkan merupakan rekonstruksi mendalam atas nilai-nilai, arah penegakan hukum, dan pendekatan pemidanaan yang lebih kontekstual, berkeadilan sosial, dan responsif terhadap dinamika masyarakat kontemporer. Dalam konteks tersebut, posisi notaris sebagai bagian integral dari sistem layanan publik hukum harus dilihat bukan hanya sebagai pemenuhan kepatuhan terhadap norma konstitusional, tetapi sebagai aktor strategis yang dapat berperan sebagai katalisator transformasi hukum demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan.
Pendekatan yuridis-normatif terhadap Pasal 56 hingga 63 KUHP baru memperlihatkan kodifikasi pedoman pemidanaan yang tidak semata bersifat represif, tetapi juga korektif dan preventif. Hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana di Indonesia tidak hanya bertujuan menghukum pelaku tindak pidana, tetapi juga membentuk perilaku hukum yang sehat dalam masyarakat, termasuk di ranah fungsi kenotariatan. Notaris, yang dikenal sebagai custodian of legal truth, memegang posisi krusial dalam berbagai proses hukum perdata dan korporasi. Di era digital dan korporasi modern, peran notaris meluas sebagai penjaga keabsahan dokumen dan integritas hukum digital. Kelalaian atau keterlibatan notaris dalam praktik penyalahgunaan, seperti pemalsuan akta, money laundering, dan tindak pidana korporasi, dapat menjeratnya secara pidana apabila tidak menjalankan prinsip due diligence dan kepatuhan hukum yang ketat (Latif, 2023). Oleh karena itu, norma-norma pemidanaan dalam KUHP baru harus menjadi rambu-rambu yang jelas dalam mengatur tanggung jawab profesional notaris, agar jabatan ini tidak hanya sekadar menjalankan fungsi administratif, melainkan juga bertindak sebagai penjaga integritas hukum yang adaptif terhadap perkembangan zaman.
Secara filosofis-historis, jabatan notaris memiliki akar yang kuat dalam prinsip Tabellionis Officium Fideliter Exercebo, yakni sumpah untuk menjalankan jabatan dengan setia dan jujur. Prinsip ini merupakan fondasi etis yang tertanam dalam tradisi kenotariatan Eropa dan diadopsi ke dalam sistem hukum Indonesia melalui pengaruh Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Strafrecht. Namun, perubahan lanskap hukum yang dipicu oleh digitalisasi dan globalisasi menuntut redefinisi prinsip ini dalam kerangka Ius Integrum Nusantara 2045, sebuah visi hukum nasional yang mengintegrasikan nilai-nilai lokal, norma universal, dan teknologi digital untuk menciptakan sistem hukum yang adaptif, humanis, dan berdaulat (Nugroho, 2024). Dengan demikian, jabatan notaris tidak hanya harus mematuhi norma formal, melainkan juga harus menjadi pionir dalam penerapan etika profesional yang berbasis digital accountability dan responsif terhadap perubahan teknologi.
Kerangka Ius Integrum Nusantara 2045 bukan sekadar jargon kebijakan, melainkan sebuah konstruksi konseptual yang mengusung reformasi hukum berakar pada prinsip legal pluralism yang selaras dengan inovasi hukum (legal innovation). Dalam konteks ini, peran notaris harus melampaui fungsi klasik sebagai pencatat akta menjadi penjaga kepercayaan hukum digital—custodian of digital legal trust—yang menjaga keabsahan, keautentikan, dan keamanan dokumen hukum berbasis digital. Fenomena ini relevan dengan perkembangan ekosistem teknologi hukum (legal tech ecosystem) yang melibatkan teknologi blockchain, tanda tangan elektronik, smart contracts, dan tata kelola data yang kompleks. Oleh karena itu, sistem sanksi dan pedoman pemidanaan dalam UU No. 1 Tahun 2023 harus dipandang tidak hanya sebagai instrumen hukuman, tetapi juga pedoman etik-profesional bagi notaris agar mampu menghindari keterlibatan dalam praktik kriminal korporasi yang memanfaatkan kelemahan sistem dokumentasi dan otorisasi digital.
Selain itu, analisis pembahasan dalam perspektif komparatif-fungsional terkait praktik negara-negara seperti Belanda, Jerman, dan Jepang telah lebih dahulu menyesuaikan sistem kenotariatan mereka dengan perkembangan digitalisasi hukum. Di Belanda, Koninklijke Notariële Beroepsorganisatie (KNB) mengawasi penerapan akta notaris digital dengan teknologi tinggi, sementara Jerman memiliki sistem verifikasi elektronik terintegrasi yang diawasi oleh Bundesnotarkammer. Jepang menerapkan model hibrida civil law dengan kebijakan techno-legal yang mengedepankan standar keamanan digital tinggi dalam layanan kenotariatan berbasis e-government. Perbandingan ini menegaskan bahwa Indonesia masih dalam fase transisi, dengan belum adanya standar nasional yang komprehensif untuk digitalisasi kenotariatan dan sistem sanksi yang jelas terkait pelanggaran berbasis teknologi.
Dari sisi pemidanaan, Pasal 56 KUHP baru memberikan kerangka yang rinci mengenai penjatuhan pidana terhadap korporasi, termasuk parameter tingkat kerugian, frekuensi tindak pidana, serta peran pejabat korporasi dan profesional, termasuk notaris. Penafsiran norma-norma ini harus dilakukan secara hermeneutik dengan pendekatan Gadamerian, yang menempatkan teks hukum dalam dialog dinamis dengan realitas praktik hukum, sehingga prejudices dan horizon of understanding hakim dapat memperkaya penafsiran norma dalam konteks sosial dan struktural. Penjatuhan pidana tidak dapat dilepaskan dari pemahaman mendalam mengenai struktur korporasi dan hubungan profesional hukum, sehingga prinsip keadilan substantif dapat terwujud secara menyeluruh.
UU No. 1 Tahun 2023 juga memperkenalkan sanksi pidana tambahan berupa pembekuan, pencabutan izin, dan pembubaran korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 118–120. Posisi notaris sebagai gatekeeper dalam layanan publik hukum menuntut kesadaran akan risiko tanggung jawab pidana kolektif-profesional, terutama dalam praktik ilegal korporasi. Oleh karena itu, pengembangan regulasi teknis yang mengatur compliance-based regulation berbasis risiko dan teknologi menjadi sangat penting untuk menguatkan sistem pengawasan dan pencegahan penyalahgunaan wewenang notaris.
Sebagai respons konkret, penyusunan regulasi teknis terkait sistem sanksi dan pengawasan kenotariatan mutlak diperlukan. Regulasi ini tidak hanya menyambungkan norma KUHP baru dengan praktik kenotariatan, tetapi juga meningkatkan legal certainty dan predictability dalam penegakan hukum. Penguatan peran Majelis Pengawas Notaris, pemanfaatan audit trail digital, dan mekanisme pelaporan mandiri (self-reporting) menjadi fondasi utama sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel.
Selain itu, dapat dipahami dalam kerangka konseptual, strategi nasional yang mengedepankan kerjasama quadruple helix—pemerintah, akademisi, pelaku industri hukum, dan masyarakat—harus diperkuat sebagai bagian dari realisasi visi Ius Integrum Nusantara 2045. Sinergi ini tidak hanya mempercepat inovasi regulasi, tetapi juga meningkatkan kapasitas sumber daya manusia hukum, khususnya notaris, untuk menghadapi tantangan multidimensional di era digital dan kompleksitas hukum korporasi yang semakin tinggi.
Dengan demikian, sistem pemidanaan dalam UU No. 1 Tahun 2023 tidak dapat dipisahkan dari transformasi kelembagaan dan profesionalisme aktor hukum, khususnya notaris. Penempatan notaris sebagai custodian of digital legal trust bukan sekadar simbol retoris, melainkan manifestasi konkret dalam membangun sistem hukum nasional yang adaptif, berintegritas, dan berlandaskan pada keadilan substantif serta kearifan lokal. Kajian ini memberikan perspektif kritis dan akademik dalam mengisi kekosongan teori dan praktik pengaturan pemidanaan serta peran kenotariatan di era digital, sekaligus mendorong kolaborasi para pemangku kepentingan hukum dalam membangun sistem keadilan pidana yang progresif dan inklusif.
Integrasi Pedoman Pemidanaan KUHP Baru dan Reformasi Hukum Kenotariatan dalam Perspektif Ius Integrum Nusantara 2045
Perubahan fundamental dalam sistem hukum pidana Indonesia melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menandai era baru yang penting dan sangat menentukan bagi dinamika hukum nasional, khususnya dalam menghadapi kompleksitas masyarakat modern dan kemajuan teknologi. KUHP baru yang mulai efektif pada Januari 2026 menggantikan Wetboek van Strafrecht yang selama ini menjadi warisan kolonial Belanda, sebuah sumber hukum yang secara historis telah membelenggu perkembangan hukum nasional dan tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan kebutuhan hukum kontemporer Indonesia. Dari perspektif yuridis-normatif, penghapusan norma-norma kolonial tersebut merupakan langkah esensial menuju kedaulatan hukum nasional, sekaligus mengokohkan relevansi dan legitimasi aturan pidana yang berpijak pada nilai-nilai luhur bangsa. Di antara inovasi yang paling menonjol adalah pengaturan pedoman pemidanaan dalam Pasal 53–63 KUHP baru, yang tidak hanya berfungsi sebagai instrumen normatif, tetapi juga sebagai fondasi filosofis dan moral dalam proses pengambilan keputusan hakim terkait pemberian sanksi pidana. Pedoman ini mewujudkan prinsip proporsionalitas, akuntabilitas, dan transparansi yang harus menjadi pijakan dalam menegakkan keadilan pidana.
Pendekatan historis-filosofis terhadap transformasi KUHP ini menunjukkan bahwa evolusi sistem hukum pidana Indonesia merupakan manifestasi dari kesadaran kolektif bangsa dalam menegakkan kedaulatan hukum dan keadilan substantif. Melalui metode hermeneutika hukum, interpretasi terhadap teks KUHP baru mengungkap bahwa pedoman pemidanaan tidak sekadar berorientasi pada kepatuhan formalistik, melainkan sebagai cermin nilai-nilai keadilan substantif yang rasional, responsif terhadap perkembangan sosial-politik, dan mampu menyesuaikan diri dengan revolusi teknologi informasi. Implikasi paling nyata dari pedoman ini terlihat pada profesi notaris, yang secara historis sangat rentan terhadap pelanggaran hukum pidana, seperti pemalsuan akta, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran etik, yang pada gilirannya berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi kenotariatan. Oleh sebab itu, reformasi hukum kenotariatan harus dikembangkan secara integratif dan kontekstual, membangun paradigma baru jabatan notaris sebagai Custodian of Digital Legal Trust yang berperan menjaga integritas hukum digital dalam ekosistem teknologi hukum yang semakin maju.
Selanjutnya, dalam kerangka konseptual Ius Integrum Nusantara 2045 urgensi reformasi hukum kenotariatan diarahkan untuk menegakkan sistem hukum nasional yang bebas dari bayang-bayang kolonialisme dan menempatkan keadilan substantif, kepastian hukum digital, serta pelayanan publik yang dapat dipertanggungjawabkan secara digital sebagai pilar utama. Pendekatan ini menuntut rekonstruksi hukum kenotariatan yang holistik, dengan mengintegrasikan kerangka ekosistem teknologi hukum (legal tech ecosystem) dan kolaborasi quadruple helix, yaitu keterlibatan simultan antara notaris, negara, akademisi, dan masyarakat sipil. Paradigma baru ini mendorong jabatan notaris untuk melampaui fungsi administratif-formal tradisional dan bertransformasi menjadi agen utama dalam transformasi hukum nasional yang berbasis pada kepercayaan hukum digital serta integritas profesi publik.
Analisis komparatif-fungsional memperlihatkan bahwa rekonstruksi hukum kenotariatan dapat dirumuskan dalam kerangka Four Point Determination Notary yang secara ilmiah mampu membongkar sekaligus menyusun ulang tatanan hukum kolonial yang timpang dan tidak relevan. Pertama, Determination of Legal Sovereignty menegaskan posisi notaris sebagai penjamin keabsahan akta, terutama dalam ranah agraria, yang merupakan kunci menjaga kedaulatan hukum atas tanah dan hak masyarakat adat. KUHP baru memperberat ancaman pidana bagi pemalsuan dokumen tanah, sehingga notaris wajib melaksanakan due diligence secara ketat agar terhindar dari risiko pidana jabatan. Kedua, Determination of Ethical Integrity menuntut notaris beroperasi dalam koridor itikad baik (good faith), mematuhi kode etik profesi, dan menjaga integritas jabatan sebagai fondasi moral publik, sejalan dengan pedoman pemidanaan KUHP baru yang mempertimbangkan motif dan niat sebagai faktor pemaaf atau pembenar dalam penjatuhan sanksi. Ketiga, Determination of Public Accountability menempatkan notaris sebagai pejabat publik yang bertanggung jawab pada kepentingan hukum masyarakat luas, sehingga akta yang dikeluarkan memiliki konsekuensi hukum yang luas dan membutuhkan pengawasan ketat untuk menghindari penyalahgunaan hukum yang dapat berujung pada sanksi pidana. Paradigma digitally accountable public legal service memperkuat posisi notaris sebagai pilar utama kepercayaan publik di era digital. Keempat, Determination of Digital Legal Trust menuntut transformasi notaris menjadi penjaga integritas hukum digital yang mampu memverifikasi legalitas dokumen menggunakan teknologi canggih seperti blockchain dan cloud computing, sekaligus menjadi mediator transaksi hukum digital yang aman dan transparan. Sejalan dengan maraknya kejahatan siber yang diatur dalam KUHP baru, notaris harus beradaptasi dan berperan aktif sebagai pelopor dalam pencegahan kejahatan digital dan penyalahgunaan identitas hukum.
Secara yuridis-normatif, sinergi antara pedoman pemidanaan KUHP baru dan reformasi hukum kenotariatan memperkuat sistem hukum pidana yang lebih proporsional, adil, dan terukur. Pedoman ini tidak membatasi kebebasan hakim, melainkan menyediakan alat kontrol yang menjamin konsistensi putusan serta menjaga keseimbangan antara kebebasan yudisial dan kebutuhan kepastian hukum. Dalam konteks jabatan notaris, sinergi ini memberikan dasar legal dan etis yang kokoh untuk menegakkan akuntabilitas secara objektif, menghindari multitafsir dalam pelaksanaan tugas, serta memastikan integritas profesi tetap terjaga dalam menghadapi dinamika hukum dan teknologi. Transformasi kenotariatan yang integratif ini harus mengadopsi paradigma hukum yang deterministik, kontekstual, dan futuristik dengan menggabungkan unsur hukum nasional, etika profesi, dan inovasi teknologi secara harmonis.
Kesimpulannya, integrasi pedoman pemidanaan dalam KUHP baru dengan reformasi hukum kenotariatan dalam koridor Ius Integrum Nusantara 2045 bukan sekadar tuntutan akademik atau administratif, melainkan kebutuhan konstitusional yang mendesak untuk membangun sistem hukum nasional yang berdaulat, berkeadilan, dan adaptif terhadap kemajuan teknologi. Jabatan notaris harus diorientasikan ulang agar mampu menjalankan fungsi secara transparan, akuntabel, dan berkeadilan substantif, sekaligus berkontribusi secara aktif dalam rekonstruksi sistem hukum nasional yang modern dan berdaulat. Oleh karena itu, pelaksanaan sosialisasi masif, pelatihan teknis terpadu, serta penyusunan regulasi pelaksana yang komprehensif menjadi sangat krusial untuk memastikan implementasi KUHP baru dan reformasi kenotariatan berjalan secara konsisten dan efektif, sehingga terwujud ekosistem hukum yang adil dan dipercaya oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Penulis adalah Ketua Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia Sumatera Utara
Daftar Pustaka
Annas, M. R. (2024). Pemalsuan Akta dan Perlindungan Hukum Jabatan Notaris dalam KUHP Baru. Jakarta: Forum Hukum Nasional Press.
Az Zahra, R. (2022). Perlindungan Hukum terhadap Notaris: Studi Perbandingan KUHAP dan UUJN. Jurnal Ilmu Hukum Aktual, 7(2), 134–150.
Beurskens, M. (2020). Professional Legal Ethics in Notarial Practice in the EU. European Legal Studies Journal, 5(2), 223–245.
Hukumonline. (2024, Mei 3). Tantangan implementasi KUHP baru dalam praktik peradilan pidana. https://www.hukumonline.com
Keller, T., & Schmitt, L. (2022). Comparative analysis of notarial liability in Europe: A civil law perspective. European Journal of Legal Studies, 14(1), 55–78. https://doi.org/10.2924/EJLS.2022.014
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. (2024). Peluang dan Tantangan Digitalisasi Akta Autentik dalam Era e-Notary. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Hukum Nasional.
Mertokusumo, S. (2022). Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Muladi, & Arief, B. N. (1992). Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
Narotama, R., & Anand, A. (2024). Digitalisasi Akta Notaris dan Tantangan Regulasi di Indonesia. Jurnal Hukum & Teknologi, 6(1), 77–92.
Nonet, P., & Selznick, P. (2001). Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. New Brunswick, NJ: Transaction Publishers.
Nugroho, F. S. (2023). Konstruksi Tanggung Jawab Pidana Notaris dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Rahardjo, S. (2008). Hukum Progresif: Hukum untuk Manusia. Jakarta: Kompas.
Sitanggang, R. T., & Busro, M. (2023). Profesi hukum dan tanggung jawab multidimensi: Perspektif etik dan normatif terhadap jabatan notaris. Jurnal Hukum dan Etika Profesi, 8(2), 112–130.
Soekanto, S., & Mamudji, S. (2021). Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sriwati. (2021). Tinjauan Yuridis Atas Peran Majelis Kehormatan Notaris dalam Pemeriksaan Pidana. Jurnal Hukum Kenotariatan, 9(1), 55–68.
Temporini, A. (2021). The historical roots of notarial function in European civil law systems. Journal of Legal History, 42(3), 207–223. https://doi.org/10.1080/01440362.2021.1932217
Utrecht, E. (1962). Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru.
Weber, M. (2019). The Sociology of Law: Historical Contexts and Institutions. London: Routledge.
Widodo, B. H. (2024). Transformasi Karakter Hukum Pidana dalam KUHP Baru: Kajian Hermeneutik dan Praktik Peradilan. Jakarta: Sinar Grafika.
Yuliana, D. (2022). Perlindungan Profesi Notaris Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Konstitusi & Profesi Hukum, 11(2), 89–102.
Zulkhainen, Q. U. R. (2023). Efektivitas Pasal 66 UUJN dalam Melindungi Notaris dari Kriminalisasi. Jurnal Hukum Lex Legis, 8(3), 212–229.