Oleh: Dr. Bukhari, M.H., CM.
Hari ini, 12 Februari 2025, Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem resmi dilantik sebagai Gubernur Aceh bersama wakilnya, Fadhlullah (Dek Fadh). Pelantikan ini bukan sekadar seremonial, tetapi menjadi titik awal yang krusial dalam perjalanan Aceh ke depan. Harapan besar disematkan kepada duet kepemimpinan ini, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan solusi konkret dan kepemimpinan yang visioner.
Dari Panglima Perang ke Pemimpin Rakyat
Sebagai mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), perjalanan politik Mualem selalu menjadi sorotan. Latar belakangnya sebagai pejuang di masa konflik dan perannya dalam proses perdamaian menempatkannya pada posisi yang unik. Ia tidak hanya memiliki legitimasi historis di mata sebagian besar masyarakat Aceh, tetapi juga memiliki tanggung jawab besar untuk membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar pemimpin simbolik, melainkan pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata.
Mualem perlu memastikan bahwa kepemimpinannya tidak hanya didasarkan pada nostalgia masa lalu, tetapi juga pada visi ke depan yang lebih progresif. Dengan kata lain, era kepemimpinannya harus menjadi babak baru yang menitikberatkan pada pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat.
Tantangan Besar Di Depan Mata
Aceh masih bergelut dengan berbagai permasalahan klasik seperti tingginya angka kemiskinan, pengangguran, ketergantungan pada dana otonomi khusus, serta kualitas pendidikan yang masih tertinggal dibandingkan daerah lain.
Selain itu, implementasi syariat Islam di Aceh juga masih menghadapi banyak tantangan, baik dalam hal regulasi maupun penerapan di lapangan. Masyarakat menanti bagaimana kebijakan Mualem dalam memperkuat syariat tanpa mengabaikan prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial.
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintahan Aceh. Selama ini, banyak kritik yang dilontarkan terhadap birokrasi yang lamban, proyek pembangunan yang mangkrak, serta berbagai dugaan penyalahgunaan anggaran. Kepemimpinan Mualem akan dinilai dari sejauh mana ia mampu membawa reformasi birokrasi yang transparan dan akuntabel.
Harapan Baru, Politik Yang Rekonsiliatif
Salah satu pernyataan menarik yang disampaikan Mualem adalah ajakan untuk bersatu setelah melewati proses pilkada. “Sekarang tidak ada lagi kosong satu atau kosong dua, yang ada Aceh ke masa hadapan,” ujarnya.
Pernyataan ini patut diapresiasi, karena menunjukkan bahwa Mualem memahami pentingnya rekonsiliasi politik untuk memastikan stabilitas pemerintahan. Namun, rekonsiliasi politik tidak boleh sekadar retorika. Mualem perlu memastikan bahwa semua elemen masyarakat, termasuk mereka yang sebelumnya berbeda pandangan politik, tetap dilibatkan dalam pembangunan Aceh.
Kesimpulan
Kepemimpinan Mualem dan Dek Fadh akan diuji dalam lima tahun ke depan. Harapan masyarakat Aceh begitu besar, tetapi tantangan yang dihadapi juga tidak ringan. Untuk itu, diperlukan keberanian dalam mengambil kebijakan yang berpihak kepada rakyat, ketegasan dalam memberantas korupsi, serta kebijaksanaan dalam mengelola dinamika politik dan sosial di Aceh.
Saatnya Aceh bergerak maju, dan semua mata kini tertuju pada Mualem: apakah ia mampu mewujudkan harapan rakyat, atau justru akan menjadi bagian dari siklus kepemimpinan yang stagnan? Hanya waktu yang menjawab.
Penulis adalah Akademisi dan Praktisi Hukum
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.