Oleh: Dr H Hasan Matsum, MAg
Membuka tulisan ini saya terkesan dengan satu ungkapan Rasulullah Saw yang bersumber dari Abi Hurairah ra. beliau bersabda “Pada awal kedatangannya Islam itu dipandang aneh, dan suatu masa nanti akan kembali dipandang aneh. Pada saat itu beruntunglah orang yang dipandang aneh.”(Hadis Riwayat Muslim)
Keanehan itu terlihat karena Rasulullah Saw. sebagai Nabi, dalam misinya tidak hanya mengajarkan tauhid mengenalkan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan beribadah hanya kepada-Nya – sebagaimana yang dipahami para penganut agama ketika itu – namun juga melakukan reformasi/pembaruan secara radikal/mendasar pada hampir seluruh dimensi kehidupan. Misi Rasulullah Saw dipandang aneh bahkan menakutkan bagi sebagian orang, karena akan memberi dampak perubahan yang mendasar pada tatanan politik, sosial, dan ekonomi yang telah dipandang mapan ketika itu.
Oleh karenanya elit-elit masyarakat yang merupakan “penikmat” kemapanan tersebut berusaha mati-matian untuk menghempang misi/dakwah Rasulullah Saw. agar mereka tidak kehilangan kenikmatan sebagai pemimpin politik, menjadi tuan bagi para budak dan pemilik sumber-sumber ekonomi tanpa ada kewajiban berbagi untuk kalangan yang tidak mampu (fakir-miskin).
Karen Armstrong, seorang penulis kelahiran Inggris menulis sebuah buku berjudul Muhammad :A Western Attempt to Understand Islam. Dalam buku ini ia menjelaskan tentang pandangan keliru masyarakat barat terhadap Muhammad, khususnya dalam bidang politik. Mereka merasa aneh mengapa seorang Nabi menjadi pemimpin politik, terlibat bahkan memipin peperangan, bukankah idealnya seorang Nabi hanya bertugas mengajak masyarakat menyembah Tuhan dan mengajarkan kasih sayang?
Pada poin ini Armstrong memberikan pembelaan bahwa misi Nabi Muhammad yang utama adalah memperbaiki akhlak/moral masyarakat dan menegakkan sebuah sistem kemasyarakatan berlandaskan keadilan yang jauh dari penindasan. Oleh karena itu keterlibatan Muhammad dalam politik hanyalah sejauh menentang ketidak adilan dan kezaliman, jauh dari ambisi ingin menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan. Perhatian beliau pada politik selama politik itu membantunya untuk menegakkan keadilan dan membangun tatanan masyarakat yang penuh kasih sayang.
Belakangan ini para politisi dan masyarakat muslim agaknya mulai lupa dengan tujuan politik yang diajarkan Rasulullah tersebut, sehingga jika tiba masa kontestasi politik baik pemilu atau pilkada yang difikirkan adalah pencalonan kepala pemerintahan tidak lagi fokus pada misi menegakkan keadilan, melawan kezaliman bahkan tak jarang pemilu dan pilkada menjadi sebab tergerusnya hubungan sialturrahim dan kasih sayang.
Reformasi dalam bidang sosial Rasulullah merubah sistem sosial dari feodalisme kepada kesetaraan kelas masyaraka (egaliter) tidak ada kaum bangsawan dan rakyat jelata semua manusia memiliki derajat yang sama yang membedakannya hanyalah nilai ketaqwaan kepada Allah Swt., mempertegas sikap ini Rasulullah Saw bersabda “Ketahuilah bahwa tidak ada keutamaan orang Arab dibandingkan non Arab, demikian pula non Arab dibandingkan orang Arab, tidak pula ada keutamaan orang berkulit hitam dibandingkan orang berkulit putih atau sebaliknya kecuali karena taqwanya kepada Allah Swt (Hadis Riwayat Ahmad).
Melalui hadis ini tergambar jelas bahwa ajaran sosial Rasulullah tidak mengenal stratifikasi atau kelas masyarakat.
Pada masa Rasulullah masih hidup ada sebuah peristiwa tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh seorang perempuan dari qabilah makhzumiyah, karena kebetulan termasuk dalam kelompok elit/bangsawan, qabilah ini agak keberatan kalau harus dipotong tangannya, maka diutuslah beberapa orang untuk menemui Rasulullah guna melakukan negosiasi mohon agar Rasulullah membebaskan perempuan tersebut dari hukuman potong tangan, namun Rasulullah menolaknya sembari mengatakan “Demi Allah sekiranya Fathimah anak Muhammad mencuri niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Padahal Fathimah adalah putri beliau yang amat dicintainya.
Reformasi dalam bidang ekonomi, Rasulullah mengenalkan sistem ekonomi Islam yang memberi ruang bagi seseorang untuk hidup kaya, namun dengan ketentuan keharusan berbagi kepada orang yang tidak mampu. Sistem ini amat berbeda dengan sistem ekonomi yang dianut kala itu. Sistem ekonomi yang ada cenderung zalim karena menerapkan sistem riba dan ekploitasi tenaga kerja kelas budak. Masyarakat kala itu umumnya dibagi kepada dua kelas.
Pertama kelas elit yang memiliki sumber daya kekuatan modal dan perdagangan yang besar, para pedagang Quraisy masuk dalam kelas ini mereka berdagang pada dua musim, pada musim dingin mereka berdagang ke arah selatan yang suhunya lebih hangat dan musim panas mereka berdagang ke arah utara yang suhunya lebih sejuk. (QS.Al-Quraisy : 2).
Kelompok kedua adalah orang-orang miskin dan para budak belian. Hubungan antara dua kelompok ini sering diwarnai dengan penindasan dan kezaliman, yang lebih miris kelompok elit yang terdiri dari orang-orang kaya menjadikan doktrin agama sebagai legitimasi untuk menindas orang-orang miskin. Mereka mengatakan bahwa mereka kaya karena Tuhan ridha kepada mereka sedangkan kemiskinan disebabkan tidak adanya ridha Tuhan kepada orang-orang miskin tersebut.
Dengan kata lain, keridhaan Tuhan ditentukan oleh jumlah harta kekayaan yang dimiliki. Itulah ideologi yang diajarkan oleh orang-orang kaya sehingga mereka bisa menjadi terhormat atas nama Tuhan. Doktrin ini Allah gambarkan dalam Alqur’an surat al-Fajr ayat 15-16 : “adapun manusia itu, apabila diberi rizki yang banyak dia berkata “Tuhanku memuliakanku”, namun apabila disempitkan rizkinya, dia berkata “Tuhanku menghinakanku”.
Pandangan dan prilaku ekonomi mereka ini dikritik keras oleh Alqur’an dengan kecaman terhadap orang-orang kaya yang membanggakan harta kekayaannya dan mengejek orang-orang miskin, Allah berfirman “celakalah si pencaci dan si pencela, yaitu orang yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia menyangka hartanya akan mengekalkannya. Sekali-kali tidaklah demikian. Pasti dia akan dilemparkan ke neraka Hutamah (QS.Al-Lumazah : 1-4).
Ancaman neraka hutamah ditujukan kepada mereka yang sombong dengan harta dan enggan berbagi kepada sesama khususnya mereka yang membutuhkannya.