Oleh: Farid Wajdi
Hujan ekstrem menggulung sebagian besar wilayah Sumatera sepanjang akhir November. Peringatan dini telah dikeluarkan BMKG berulang kali sejak bulan-bulan sebelumnya, termasuk pernyataan resmi akhir November mengenai potensi hujan lebat dan angin kencang yang memanjang dari Aceh hingga Sumatera Barat.
Curah hujan tidak menurun, tanah yang sudah rapuh tidak mampu menahan limpasan, dan deretan banjir bandang menjadi keniscayaan ekologis yang dipicu cuaca dan dilebihkan kerusakan ruang hidup.
Namun ruang informasi memperlihatkan gejala yang jauh lebih mengusik nalar: upaya menormalisasi bencana. Narasi resmi dan para pengusung opini digital berulang kali menekankan cuaca ekstrem sebagai deretan penyebab tunggal.
Laporan Greenpeace Indonesia (2025) mengungkap gelondongan kayu dan pola deforestasi di kawasan terdampak, pernyataan pejabat yang diteruskan para pendukungnya berupaya meredam pembahasan faktor-faktor antropogenik. Dua dunia informasi berjalan paralel tanpa saling menyentuh.
Surono (2021) menyebut kontribusi manusia selalu muncul dalam bencana hidrometeorologi pada wilayah yang mengalami degradasi lahan. Kesimpulan tersebut lahir dari riset panjang tentang geomorfologi dan dinamika tanah.
Data Badan Geologi (2025) mempertegas pandangan itu melalui temuan mengenai kerentanan lereng, sedimentasi tinggi, dan struktur tanah yang sudah jenuh akibat deforestasi dan perubahan tutupan hutan.
Namun alih-alih menautkan data tersebut ke dalam penjelasan resmi, sebagian pejabat memilih meredamnya. Bencana diolah menjadi potret alam semata. Tidak ada ruang untuk mengakui kerusakan yang berasal dari praktik rakus dan izin yang longgar.
Ketika publik menyoroti kayu-kayu gelondongan yang berserakan di aliran banjir, beberapa buzzer lebih aktif menepis isu ketimbang pemerintah membenahi fakta. Foto dianggap manipulasi, laporan lapangan dituding provokasi, dan kritik terhadap manajemen risiko diarahkan seakan demi kepentingan politik.
Fenomena normalisasi bencana tumbuh dari tiga kepentingan: pelindungan reputasi pejabat, relasi politik-ekonomi dengan sektor yang mencederai ruang hidup, dan pola komunikasi kekuasaan yang menganggap kontrol persepsi lebih penting dibanding transparansi.
Kondisi ini menciptakan krisis empati. Ketika sebagian elite sibuk menenun narasi penyelamat citra, warga yang rumahnya terhantam banjir masih mengevakuasi balita di tengah malam. Relawan merayap menuju wilayah terisolasi, sementara layar ponsel dipenuhi pembenaran palsu.
Agus Pambagio (2022) pernah mengingatkan krisis memperlihatkan kualitas kepemimpinan secara telanjang. “Keterbukaan selalu lebih efektif dibanding penyangkalan,” ujarnya.
Prinsip sederhana itu terus terabaikan. Pemerintah lebih cepat menyanggah kritik dibanding memperkuat mitigasi. Peringatan dini BMKG justru menjadi senjata untuk menolak tanggung jawab, seakan curah hujan ekstrem otomatis menafikan buruknya tata kelola hutan dan tata ruang.
Normalisasi bencana menggerus daya kritis publik. Ketika ratusan jiwa mengungsi, sebagian pihak mereduksinya sebagai peristiwa rutin. Ketika longsor menghantam permukiman, penyebabnya digeser ke topografi bukit.
Ketika air bah menghantam jembatan, faktor manusia dipinggirkan. Publik secara perlahan diminta menerima tragedi sebagai kewajaran, bukan kegagalan tata kuasa.
Padahal Daniel Murdiyarso (2023) pernah menegaskan hilangnya tutupan hutan menciptakan risiko baru: air hujan yang seharusnya diserap tanah berubah menjadi energi destruktif pada aliran permukaan.
Pernyataan tersebut menegaskan hubungan linear antara kerusakan lanskap dan amplifikasi bencana. Namun penjelasan seperti ini tidak populer bagi siapa pun yang berkepentingan mempertahankan status quo.
Normalisasi bencana juga mendapat tenaga dari buzzer. Bukan sekadar pengalih isu, melainkan aktor yang mengubah tragedi menjadi arena produksi narasi tandingan.
Dorongan mereka tidak selalu lahir dari loyalitas; sering kali didorong keuntungan finansial, keberpihakan politik, atau sekadar motif untuk tetap relevan. Empati menjadi barang mewah. Kerusakan ekologis diperlakukan sebagai peluang untuk menyerang lawan atau menyingkirkan kritik.
Fenomena ini menandai ada sesuatu yang ingin ditutupi. Jika kerusakan hutan diakui, pertanyaan berikutnya akan muncul: siapa pemberi izin? Siapa penanggung jawab konsesi? Siapa yang menikmati keuntungan dari pembiaran ini?
Situasi menjadi semakin jelas ketika pejabat lebih sibuk meredam kritik ketimbang menjelaskan sumber kerentanan ekologis. Kecurigaan menguat bukan karena publik sinis, melainkan karena pola komunikasi negara tidak membuka ruang kejujuran.
Ketidakjujuran informasi memperpanjang daftar kerentanan. Banjir dan longsor tidak lagi dilihat sebagai hasil kombinasi cuaca dan kerentanan, namun sebagai “takdir geografis”.
Narasi semacam itu menumpulkan urgensi perubahan kebijakan. Negara perlahan terbiasa bekerja dengan ritme reaktif, bukan preventif.
Publik membutuhkan penjelasan yang jernih, bukan fabrikasi kata-kata. Bencana bukan sekadar peristiwa alam; bencana adalah ujian etika kekuasaan.
Pemerintah memiliki kewajiban moral untuk menjawabnya melalui kecepatan, ketegasan, pengakuan jujur, dan kebijakan korektif. Hilangnya kejujuran dalam komunikasi bencana hanya memperpanjang siklus kerusakan.
Normalisasi bencana mesti dihentikan agar negeri ini tidak terus-menerus terjebak dalam lingkar tragedi yang sama. Ekologi yang sehat memerlukan keberanian politik, pengawasan ketat, dan komitmen menebus kesalahan masa lalu.
Generasi berikut tidak berhak mewarisi gunungan risiko yang diciptakan oleh ketidakjujuran hari ini. Bumi selalu berbicara melalui banjir dan longsor. Manusia yang menutup telinga sedang menyiapkan musim duka yang lebih panjang. (Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU)












