Scroll Untuk Membaca

Opini

One Piece: Cara Cerdas Bersuara

One Piece: Cara Cerdas Bersuara
Kecil Besar
14px

Oleh Dandi Bachtiar

Alih-alih menertibkan atau melarang, lebih baik pemerintah mengajak dialog. Tanyakan langsung kepada rakyat: “Apa yang kalian harapkan dari negeri ini? Apa yang ingin kalian perbaiki?”

Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, sebuah fenomena tak biasa terjadi di berbagai sudut Indonesia. Di bawah bendera Merah Putih yang berkibar gagah, tampak sehelai bendera lain ikut melambai—bendera bajak laut Topi Jerami dari anime dan manga legendaris One Piece.

Mulanya hanya terlihat di beberapa tempat, namun dengan cepat menyebar secara sporadis dan serentak di berbagai daerah. Tidak ada instruksi, tidak ada orator, tidak ada gerakan resmi. Tapi pesannya terasa kuat dan terarah. Ini bukan sekadar fandom yang kebablasan. Ini adalah cara rakyat menjewer telinga pemerintah, dengan cara yang cerdas, damai, dan penuh makna.

Simbol Fiksi Menyentuh Realitas

Dalam semesta One Piece, bajak laut Topi Jerami dipimpin oleh tokoh utama, Monkey D. Luffy. Dia bukan bajak laut jahat, melainkan simbol kebebasan sejati. Bersama krunya, Luffy berlayar menantang sistem dunia yang korup, menolong mereka yang tertindas, dan membela nilai-nilai persahabatan, kesetiaan, dan keadilan.

Bendera bajak laut mereka—berlatar hitam dengan lambang tengkorak bertopi jerami—bukan simbol teror, melainkan simbol perlawanan terhadap ketimpangan. Bagi jutaan penggemarnya, khususnya generasi muda Indonesia, bendera itu bukan sekadar ornamen anime, tapi representasi dari aspirasi yang tidak lagi terwakili oleh simbol-simbol formal negara. Maka ketika bendera Topi Jerami dikibarkan di bawah Merah Putih, maknanya dalam: nasionalisme mereka tidak mati, tapi mereka ingin menegaskan bahwa ada sesuatu yang salah dalam perjalanan kapal besar bernama Indonesia.

Nasionalisme Gaya Baru

Berkibarnya bendera One Piece justru menunjukkan bahwa generasi muda tidak kehilangan rasa cinta tanah air. Mereka tidak sedang menghina Merah Putih, apalagi menistakannya. Sebaliknya, mereka meletakkan bendera alternatif itu di bawah bendera negara sebagai bentuk penghormatan hierarkis. Tapi mereka ingin menyuarakan bahwa nasionalisme hari ini tidak bisa lagi disuapi dengan upacara dan jargon semata. Ia harus hidup dalam nilai-nilai nyata: kebebasan berpikir, perlindungan terhadap yang lemah, dan keberanian menolak ketidakadilan.

Generasi ini sedang mencari bentuk baru dalam menyatakan cinta kepada tanah air. Mereka memilih simbol yang mereka pahami, mereka cintai, dan mereka yakini merepresentasikan dunia ideal yang mereka harapkan—dengan cara damai, kreatif, dan tidak destruktif. Ini bukan pengkhianatan. Ini bentuk baru dari kesetiaan: kesetiaan yang mengkritik agar tidak makin jauh dari cita-cita kemerdekaan.

Alarm Sosial

Kita hidup di tengah situasi yang penuh paradoks. Di satu sisi, kita rutin merayakan kemerdekaan; di sisi lain, banyak rakyat merasa tidak benar-benar merdeka. Merdeka secara politik, tapi dibungkam oleh oligarki. Merdeka secara hukum, tapi hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Merdeka secara ekonomi, tapi harga bahan pokok melambung, lapangan kerja menyusut, dan anak muda kehilangan harapan.

Dalam situasi ini, simbol-simbol baru muncul. One Piece menjadi pilihan karena isinya resonan dengan kondisi sosial kita. Pemerintahan dunia dalam cerita itu merepresi informasi, menyembunyikan sejarah asli, dan memonopoli kekuasaan lewat jaringan elite. Bukankah ini terasa familiar?

Simbol bajak laut bukanlah simbol kriminal, tapi representasi dari mereka yang memilih keluar dari sistem yang korup untuk menciptakan jalannya sendiri menuju keadilan. Maka tidak mengherankan bila bendera ini dikibarkan sebagai bentuk protes kreatif. Ini adalah alarm sosial, tanda bahwa rakyat masih punya nyali untuk bicara—meski tanpa mikrofon, tanpa baliho, tanpa partai.

Bukan Ancaman, Ini Ajakan

Respons terbaik dari pemerintah bukanlah panik, apalagi represif. Jika simbol ini disikapi sebagai pelanggaran atau penghasutan, maka makna damai dan cerdas yang dikandungnya akan tereduksi menjadi kegaduhan yang sia-sia. Pemerintah harus bijak membaca ini bukan sebagai pemberontakan, tetapi sebagai undangan terbuka: mari kita duduk bersama, tinjau ulang arah kapal, dan benahi layar yang mulai robek.

Alih-alih menertibkan atau melarang, lebih baik pemerintah mengajak dialog. Tanyakan langsung kepada rakyat: “Apa yang kalian harapkan dari negeri ini? Apa yang ingin kalian perbaiki?” Ruang dialog itu lebih produktif daripada intimidasi. Lagi pula, sejarah telah membuktikan, semakin ditekan simbol rakyat, semakin kuat dampak baliknya. Pemerintah seharusnya belajar dari masa lalu.

Bangkitnya Kesadaran Kolektif

Yang menarik dari fenomena ini adalah cara penyebarannya. Tidak ada satu komando, tidak ada aktor utama, bahkan tidak ada tuntutan politik yang eksplisit. Tapi justru karena sifatnya yang organik dan masif, kekuatannya menjadi sangat nyata. Ia menunjukkan bahwa di tengah frustrasi dan ketidakpercayaan, rakyat menemukan cara berkomunikasi yang baru—bukan lewat kerusuhan, tapi lewat budaya populer yang penuh makna simbolik.

Ini juga bukti bahwa generasi muda Indonesia bukan apatis. Mereka hanya menolak cara lama yang penuh kepalsuan. Mereka tidak ingin hanya disuruh upacara, tapi ingin dilibatkan dalam menyusun arah kebijakan negara. Mereka ingin menjadi “nakama” di kapal Indonesia, bukan sekadar penumpang yang disuruh diam sambil kapal oleng.

Momentum 17 Agustus

Fenomena ini datang pada waktu yang sangat tepat: menjelang hari kemerdekaan. Bukan kebetulan, tapi sangat simbolik. Seakan rakyat berkata: “Kami ingin merdeka lagi, tapi kali ini bukan dari penjajah asing, melainkan dari ketidakadilan dalam negeri sendiri. Kami ingin Indonesia yang tidak hanya bebas secara hukum, tapi juga bebas berpikir, berpendapat, dan bermimpi”.

Perayaan kemerdekaan seharusnya tidak dimonopoli oleh seremonial kenegaraan semata. Justru ini saatnya negara mendengarkan kembali suara rakyat. Merdeka bukan hanya hak pemerintah untuk merayakannya, tapi juga hak rakyat untuk menagih isinya.

Menjewer Tanpa Melukai

Dalam tradisi kita, “menjewer kuping” adalah cara lembut namun tegas untuk mengingatkan seseorang yang kita cintai. Fenomena One Piece ini adalah bentuk jeweran kolektif dari rakyat untuk pemerintahnya. Bukan dengan caci maki atau kekerasan, tapi dengan simbol yang mereka pahami dan hormati.

Mereka tidak mengganti Merah Putih, hanya menambahkan simbol bajak laut di bawahnya. Ini cara rakyat berkata. “Kami masih di kapal yang sama, tapi kami ingin haluan diperbaiki. Kami mencintai negeri ini, tapi kami tidak bisa diam ketika arah layar mulai melenceng dari mimpi para pendiri bangsa”.

Mari Membaca Tanda Zaman

Fenomena ini bukan sekadar viral atau euforia fans. Ini cermin zaman. Di mana rakyat mulai berani bersuara lewat bahasa baru: simbol, budaya populer, dan kesadaran kolektif. Pemerintah yang bijak adalah pemerintah yang tahu membaca tanda-tanda itu, bukan menolaknya.

Kalau hari ini rakyat mengibarkan bendera One Piece, itu karena mereka belum menyerah pada harapan. Mereka masih ingin negeri ini berlayar ke arah yang benar. Maka jangan biarkan suara itu dibungkam. Sebaliknya, dengarkan mereka. Rangkul mereka. Ajak mereka menjadi bagian dari perbaikan bersama.

Karena jika rakyat masih mau menjewer, itu artinya mereka belum benar-benar putus asa. “Kita bukan bajak laut, tapi nakama dalam kapal bernama Indonesia”.

Penulis adalah Dosen Departemen Teknik Mesin Dan Industri – USK.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE