Oleh Yanhar Jamaluddin dan Syafrial Pasha
OTONOMI daerah adalah janji reformasi. Ia hadir sebagai koreksi atas sentralisme kekuasaan Orde Baru dan sebagai harapan akan kemandirian lokal dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Namun di Sumatera Utara, otonomi sering kali tinggal sebagai dokumen normatif, bukan praksis institusional. Di balik semangat desentralisasi, terselip watak oligarkis yang menahan otonomi pada level retoris.
Sumatera Utara memiliki sejarah panjang dalam dinamika kekuasaan lokal dan pusat. Sebagai salah satu provinsi yang secara ekonomi dan politik cukup penting sejak masa kolonial, wilayah ini tidak pernah sepenuhnya lepas dari tarik-menarik antara kepentingan lokal dan nasional. Pada masa Orde Baru, struktur kekuasaan sangat tersentralisasi.
Reformasi membuka peluang bagi perubahan. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004, dan seterusnya) menjadi dasar legal bagi pelaksanaan otonomi daerah.
Namun, kebijakan ini tidak serta-merta membawa demokratisasi di tingkat lokal. Di Sumatera Utara, otonomi sering kali tidak berjalan seiring dengan penguatan kapasitas institusi lokal dan partisipasi warga.
Sebaliknya, muncul fenomena konsolidasi kekuasaan oleh kelompok-kelompok elite daerah—baik yang berasal dari kalangan politisi, birokrat lama, pengusaha, maupun tokoh adat dan agama. Oligarki lokal ini sering memanfaatkan kelemahan regulasi dan rendahnya literasi politik masyarakat untuk mempertahankan dominasi mereka.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa desentralisasi tidak otomatis menghasilkan pemerintahan yang partisipatif dan responsif. Alih-alih membebaskan masyarakat dari sentralisme, otonomi daerah justru membuka ruang baru bagi pembentukan kekuasaan lokal yang eksklusif dan tertutup. Praktik politik uang, jual beli jabatan, dan proyek-proyek infrastruktur yang sarat kepentingan menjadi wajah nyata dari birokrasi lokal yang seharusnya melayani.
Membongkar Teks dan Wacana Otonomi
Derrida mengajarkan bahwa makna selalu tertunda dan berlapis-lapis. Dalam konteks ini, “otonomi daerah” bukanlah entitas tunggal yang transparan. Otonomi ini hadir dalam teks-teks hukum dan dokumen perencanaan, namun maknanya dikonstruksi oleh relasi kuasa yang bekerja di baliknya.
Di Sumatera Utara, ditemukan bahwa otonomi tidak sepenuhnya berarti kebebasan lokal, melainkan ruang tawar-menawar antara elite lokal dan kekuatan ekonomi-politik yang lebih besar.
Pemerintah kabupaten/kota kerap terjebak dalam struktur kekuasaan informal: jaringan politik dinasti, kontraktor besar, dan pengaruh partai yang bekerja di luar sistem formal.
Dekonstruksi terhadap “otonomi” ini mengungkap bahwa yang selama ini dianggap sebagai proses desentralisasi, pada banyak titik, justru merupakan relokasi kekuasaan dari pusat ke kelompok oligarkis lokal.
Dalam pemikiran Derrida, setiap teks atau wacana selalu mengandung ketegangan internal antara apa yang dikatakan dan apa yang disembunyikan. Bahasa tidak pernah stabil; makna selalu ditunda (différance) dan dikonstruksi oleh oposisi biner yang tidak setara, seperti pusat-pinggiran, kuat-lemah, pusat-daerah.
Otonomi daerah, dalam wacana negara, seringkali dimaknai sebagai bentuk pembebasan daerah dari dominasi pusat. Namun jika dikaji secara dekonstruktif, wacana otonomi juga mengandung kontradiksi: wacana ini menjanjikan kemandirian, namun dalam praktik sering mereproduksi relasi kekuasaan lama dalam bentuk baru.
Dengan menggunakan pendekatan dekonstruksi, tulisan ini tidak sekadar ingin menunjukkan kegagalan administratif, melainkan menelusuri bagaimana konsep “otonomi” itu sendiri bekerja sebagai bahasa kekuasaan.
Kata “otonomi” menjadi semacam signifier yang terbuka untuk diisi berbagai kepentingan, termasuk kepentingan oligarki lokal. Sebab itu, pembacaan kritis terhadap teks-teks kebijakan dan praktik administrasi publik di tingkat lokal menjadi penting untuk membongkar apa yang tersembunyi di balik klaim desentralisasi.
Arena Kekuasaan dan Praktik Birokrasi
Dalam logika administrasi publik, otonomi seharusnya menghasilkan pelayanan yang lebih responsif, anggaran yang sesuai kebutuhan lokal, dan partisipasi warga yang meningkat.
Namun kenyataannya, di banyak daerah Sumatera Utara, proses perencanaan dan penganggaran daerah dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan.
Misalnya, dalam penyusunan APBD, pada awalnya proyek-proyek strategis kerap ditentukan bukan berdasarkan Musrenbang atau aspirasi masyarakat, melainkan berdasarkan lobi-lobi ekonomi-politik, sehingga birokrasi daerah menjadi pelaksana teknis dari agenda oligarki, bukan mediator kepentingan publik.
Sementara itu, administrasi publik tidak hanya dipahami sebagai praktik teknokratis, melainkan juga sebagai ruang politik dimana keputusan diambil, sumberdaya dialokasikan, dan kekuasaan dijalankan.
Pendekatan ini melihat birokrasi sebagai institusi yang tidak netral, melainkan dipengaruhi oleh relasi sosial, ekonomi, dan politik yang membentuknya.
Dalam konteks Sumatera Utara, birokrasi daerah tidak jarang menjadi instrumen kekuasaan elit lokal. Struktur organisasi, sistem rekrutmen, pengelolaan anggaran, serta pelaksanaan program pembangunan sering mencerminkan relasi patron-klien daripada logika pelayanan publik.
Studi administrasi publik kritis menekankan perlunya melihat bagaimana praktik birokrasi tidak hanya dipandu oleh regulasi formal, tetapi juga oleh logika informal seperti jaringan kekerabatan, loyalitas politik, dan negosiasi kekuasaan.
Dengan menggabungkan dua pendekatan ini, tulisan ini berupaya mengurai paradoks otonomi daerah sebagai gejala struktural dan kultural. Otonomi tidak hanya gagal karena kelemahan desain institusi, tetapi juga karena adanya reproduksi kekuasaan dalam wacana, simbol, dan praktik birokrasi yang mendistorsi makna sejati dari kemandirian daerah.
Membangun Makna Baru Otonomi Daerah
Jika kita terjebak dalam membaca otonomi sebagai kata kunci administratif, maka yang hadir hanyalah rutinitas tata kelola. Tetapi bila dilakukan dekonstruksi, terlihat bahwa otonomi sesungguhnya adalah arena pertarungan tafsir—antara yang melayani dan yang menguasai.
Dekonstruksi bukanlah ajakan untuk membongkar tanpa arah, tetapi membuka kemungkinan baru dalam memahami dan menata ulang makna kebijakan.
Melalui pendekatan dekonstruksi, kita diajak untuk membongkar mitos bahwa otonomi otomatis berarti kemajuan. Sementara melalui administrasi publik, kita ditantang untuk membangun kembali institusi yang berbasis pada prinsip transparansi, meritokrasi, dan akuntabilitas.
Di Sumatera Utara, transformasi otonomi daerah menuntut reformasi birokrasi berbasis etika pelayanan publik, bukan sekadar efisiensi procedural dan penguatan partisipasi warga yang autentik.
Kesimpulan
Infeksi oligarki lokal pada pemerintahan daerah merupakan fenomena kompleks yang tidak hanya bisa dibaca dari aspek teknis administrasi publik, tetapi juga perlu dianalisis melalui dekonstruksi bahasa dan wacana kekuasaan.
Dominasi kebijakan oleh elit, praktik klientelisme, pengendalian informasi, institusionalisasi ketimpangan, dan lemahnya akuntabilitas merupakan ciri khas infeksi oligarki yang saling terkait dan saling memperkuat.
Pendekatan dekonstruksi Derrida membantu membuka lapisan-lapisan makna tersembunyi dalam praktik dan narasi pemerintahan lokal, sehingga memudahkan pemahaman kritis terhadap dinamika kekuasaan yang sebenarnya. (Penulis 1. Kepala Pusat Kajian Program Studi MAP Universitas Medan Area, dan 2) Etnografer Sumatera Utara)