Oleh Farid Wajdi
Di balik setiap rupiah pajak tersimpan perjanjian sunyi antara negara dan rakyat. Bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan janji moral: rakyat menyerahkan sebagian daya hidupnya, negara mengelola dan mengembalikannya dalam bentuk kesejahteraan nyata.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Ketika janji itu berjarak dari realitas, suara korektif menjadi keniscayaan sejarah. Di sinilah fatwa ulama menemukan relevansinya, bukan sebagai penantang negara, melainkan penjaga arah keadilan.
Fatwa Munas XI menegaskan rumah berpenghuni tak layak dikenai pajak berulang. Seruan ini bukan luapan emosional, melainkan koreksi terhadap orientasi fiskal yang kerap mengaburkan batas antara kebutuhan primer dan aset spekulatif.
Rumah tidak berdiri sebagai komoditas pasar semata, melainkan ruang martabat dan perlindungan hidup. Kebijakan yang memerasnya secara rutin menandai negara gagal membedakan fungsi sosial dan nilai ekonomi.
Pandangan ini sejalan dengan gagasan keadilan distributif yang menempatkan kebutuhan dasar sebagai zona aman dari tekanan fiskal.
John Rawls (1971) menyebut prinsip keadilan sebagai keberpihakan pada mereka yang paling rentan melalui pengaturan struktural yang tidak memperdalam ketimpangan. Dalam konteks ini, pemajakan terhadap hunian primer memindahkan risiko struktural ke pundak yang seharusnya dilindungi.
Usulan penyamaan ambang pajak penghasilan dengan nisab zakat mal membuka diskursus moral yang lebih dalam. Nishab sebagai ukuran kemampuan riil telah lama dikenal dalam fikih zakat sebagai penanda batas kepantasan membebani individu.
Yusuf al-Qaradawi (1999) menegaskan kewajiban fiskal dalam Islam hanya layak diterapkan setelah terpenuhi kebutuhan pokok pemilik harta. Prinsip ini mengajarkan pajak tidak boleh lahir dari tekanan, melainkan dari kelapangan.
Negara, dalam konsep tata kelola modern, bukan pemilik mutlak sumber daya publik, melainkan pemegang amanah.
Al-Mawardi (2006) dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah menegaskan kekuasaan bertujuan menjaga maslahat dan mencegah mafsadat.
Pajak termasuk instrumen untuk itu, bukan sarana menguatkan dominasi atas warga. Setiap rupiah yang dipungut mengandung tanggung jawab etis untuk kembali dalam bentuk layanan publik berkualitas.
Persoalan muncul ketika peruntukan pajak tidak terasa dalam keseharian masyarakat. Jalan rusak, layanan kesehatan terbatas, pendidikan mahal, sementara penerimaan pajak terus meningkat. Inilah titik krisis kepercayaan.
Francis Fukuyama (1995) menyebut trust sebagai fondasi utama keberlanjutan negara modern. Saat kepercayaan menurun, legitimasi ikut rapuh, sekalipun hukum tetap berlaku.
Fatwa ulama hadir sebagai suara pengingat: pajak harus kembali kepada rakyat dalam bentuk nyata, bukan sekadar laporan di meja birokrasi. Negara wajib menjaga transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan sosial. Tanpa itu, pajak berubah dari gotong royong menjadi beban sepihak.
Jika menengok praktik negara lain, perlindungan terhadap hunian primer telah menjadi standar etika fiskal global. OECD (2022) mencatat mayoritas negara maju memberikan insentif atau perlindungan pajak lain bagi rumah utama, sementara membebani berat properti kedua dan investasi spekulatif.
Di Belanda dan Jerman, pajak properti difokuskan pada nilai komersial dan kepemilikan berlebih (Andersen, 2020). Prinsipnya tegas: negara melindungi ruang hidup warganya.
Di Kanada, kebijakan Principal Residence Exemption memberikan pembebasan pajak keuntungan modal atas rumah utama (Milligan, 2016).
Di Jepang, pajak properti mempertimbangkan fungsi sosial hunian dan kondisi ekonomi pemilik (Suzuki, 2018). Semua menunjukkan satu pola: hunian primer dilindungi, spekulasi dikendalikan.
Kontras dengan praktik tersebut, kebijakan pajak yang terus membebani rumah utama menandakan kegagalan perspektif. Negara seolah memandang hunian warga sebagai ladang pemasukan rutin, bukan ruang kehidupan yang sakral.
Lebih jauh, Islam mengenal konsep maslahah sebagai tujuan utama kebijakan publik. Al-Ghazali (2000) menyebut pemeliharaan jiwa, harta, dan kehormatan sebagai prioritas utama. Pajak yang menggerogoti ruang hidup justru bertentangan dengan fondasi ini. Prinsip syariah bukan menjadikan rakyat objek pungutan, tetapi subjek kesejahteraan.
Relasi negara dan rakyat bukan transaksi dingin, melainkan hubungan amanah. Ibn Taimiyyah (1995) menegaskan penguasa bertanggung jawab mengelola kekayaan publik demi keadilan dan keseimbangan sosial.
Penyimpangan dari prinsip ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan pelanggaran moral.
Dalam konteks ini, fatwa ulama harus dibaca sebagai alarm etik, bukan ancaman politik. Ia merekam kegelisahan sosial, mengartikulasikan suara sunyi yang terpendam di balik tagihan dan beban rutin. Koreksi ini memanggil negara untuk menata ulang arah kebijakan: dari sekadar mengumpulkan menjadi mengangkat martabat.
Pajak ideal bukan penindas yang sunyi, melainkan perpanjangan solidaritas sosial. Ia terasa adil ketika jalan membaik, sekolah terjangkau, layanan kesehatan manusiawi, dan ketimpangan menyempit. Tanpa manifestasi itu, pajak kehilangan legitimasi moralnya.
Akhirnya, pertanyaan mendasarnya sederhana namun menentukan: apakah pajak saat ini menghadirkan keadilan atau justru memperhalus ketimpangan? Apakah ia memuliakan rakyat atau mengikis daya hidupnya secara perlahan?
Fatwa ulama telah menyodorkan jawaban awal: kembalikan pajak ke ruh keadilan. Lindungi ruang hidup, ukur beban secara jujur, dan jadikan setiap rupiah sebagai jalur pelayanan.
Negara yang amanah tidak diukur dari besarnya penerimaan, tetapi dari seberapa jauh ia menjaga martabat warganya.
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU.












