Oleh Dr. Bukhari, M.H., CM
Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila. Momen ini bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan refleksi mendalam tentang arah berbangsa dan bernegara. Di tengah dinamika kebangsaan dan geliat ideologi transnasional yang makin deras, Aceh sebagai daerah istimewa yang menerapkan syariat Islam sering disorot apakah nilai-nilai Islam yang dijalankan selaras dengan Pancasila? Jawabannya: tidak hanya selaras, bahkan bersenyawa.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, sejak dahulu telah menjadi garda depan dalam menegakkan nilai-nilai keislaman sekaligus nasionalisme. Ulama-ulama Aceh tidak hanya mengajarkan fikih dan tauhid, tetapi juga menyemai semangat cinta tanah air. Dalam sejarah, kita mengenal Teungku Chik di Tiro, ulama pejuang yang mengangkat senjata bukan hanya karena penjajahan, tetapi karena mempertahankan kehormatan Islam dan bangsa.
Islam dan Pancasila Bukan Dua Kutub Bertentangan
Salah kaprah terbesar yang sering muncul adalah anggapan bahwa Islam bertentangan dengan Pancasila. Padahal, sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”lahir dari pengakuan terhadap nilai religius bangsa ini. Dalam konteks Aceh, pelaksanaan syariat Islam justru merupakan pengejawantahan dari sila tersebut. Syariat bukan ancaman terhadap kebhinekaan, melainkan ekspresi kultural dan spiritual masyarakat Aceh.
Sila keadilan sosial, kemanusiaan yang adil dan beradab, serta persatuan Indonesia, semuanya bisa ditemukan dalam praktik hukum adat dan nilai keislaman di Aceh. Di banyak gampong, prinsip musyawarah, gotong royong, dan keadilan sosial hidup subur bahkan sebelum Indonesia merdeka. Ini membuktikan bahwa nilai-nilai Pancasila bukan barang impor, melainkan tumbuh dari tanah nusantara, termasuk Aceh.
Aceh sebagai Role Model Harmoni
Aceh bisa menjadi contoh bagaimana Islam tidak menghalangi nasionalisme. Kita bisa berbeda dalam pelaksanaan hukum, tetapi tetap satu dalam ideologi bangsa. Keistimewaan Aceh bukan bentuk separatisme, tetapi pengakuan negara terhadap kekayaan budaya dan spiritualitas daerah. MoU Helsinki yang menjadi dasar perdamaian Aceh pun lahir dari semangat Pancasila mengakomodasi keadilan, kedamaian, dan persatuan.
Tantangannya kini adalah bagaimana generasi muda Aceh memahami Pancasila bukan sebagai hafalan lima sila di dinding kelas, tetapi sebagai nilai hidup. Di tengah gempuran media sosial, arus radikalisme, dan minimnya literasi ideologi, penting bagi dayah, sekolah, dan kampus untuk terus menanamkan bahwa menjadi muslim yang taat dan warga negara yang cinta NKRI bukan dua identitas yang saling menghapus, tetapi justru saling menguatkan.
Menjaga Titik Temu, Merawat Indonesia
Pancasila adalah titik temu, bukan titik pisah. Ia bukan untuk menyeragamkan, tetapi untuk menyatukan. Di tanah Aceh, harmoni antara Islam dan nasionalisme telah lama terjalin. Sekarang tugas kita adalah menjaga titik temu ini agar tidak diganggu oleh ideologi transnasional yang memecah belah umat dan bangsa.
Aceh, dengan warisan sejarah dan spiritualitasnya, harus tetap menjadi benteng Pancasila. Bukan hanya karena syariatnya, tapi karena semangat kebangsaannya yang tak pernah padam sejak zaman sultan hingga republik. Dari Serambi Mekkah, kita tunjukkan pada dunia: Islam dan Pancasila bisa hidup berdampingan, saling menyuburkan, dan bersama-sama membangun Indonesia yang adil, damai, dan beradab.
Penulis adalah akademisi UIN Sultanah Nahrasiyah sekaligus Konsultan Hukum











