Oleh Izuddinsyah Siregar
Perbedaan usia pensiun guru dan dosen bukan semata soal historis atau teknis, tetapi menyentuh esensi penghargaan negara terhadap peran pendidik dalam membentuk generasi bangsa
Perkara Nomor 99/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi (MK) menghadirkan diskursus penting mengenai batas usia pensiun guru di Indonesia. Sri Hartono, seorang guru ASN bersertifikat pendidik memohon agar Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dimaknai, sehingga guru dapat pensiun pada usia 65 tahun yang sama dengan dosen. Bagi pemohon, menilai pembedaan usia pensiun ini tidak memiliki justifikasi objektif dan berpotensi diskriminatif mengingat keduanya sama-sama pendidik dalam satu payung hukum yang sama.
Di sisi lain, Pemerintah memberikan argumentasi bahwa perbedaan ini memiliki dasar legal historis dan justifikasi kebijakan publik yang kuat. Perdebatan yang muncul di ruang sidang MK bukan hanya soal angka 60 atau 65, tetapi soal paradigma memandang profesi guru dan dosen, prinsip kesetaraan, implikasi regenerasi tenaga pendidik, serta relevansi kebijakan dengan dinamika demografi dan kualitas pendidikan nasional.
Pemerintah menekankan bahwa perbedaan usia pensiun antara guru dan dosen bukanlah hal baru. Sejak Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 guru PNS memiliki batas usia pensiun 56 tahun dengan perpanjangan hingga 60 tahun untuk guru di SD, SMP, dan SMA. Dosen sejak awal sudah ditetapkan hingga 65 tahun bahkan profesor bisa sampai 70 tahun.
Ketika UU 14/2005 disahkan, batas usia pensiun guru ditetapkan langsung 60 tahun tanpa mekanisme perpanjangan. Sementara itu, batas usia dosen 65 tahun. Perbedaan ini diargumentasikan sebagai bagian dari open legal policy yaitu kebijakan hukum terbuka yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. MK sebelumnya telah berulang kali menegaskan bahwa penentuan batas usia pensiun adalah ranah legislatif selama tidak melanggar prinsip konstitusi.
Namun, argumentasi ini justru membuka ruang dialog kritis. Jika kebijakan adalah ranah legislatif, apakah Mahkamah tidak dapat mengoreksi ketika terdapat indikasi ketidakadilan atau ketidakrelevanan dengan perkembangan terkini seperti meningkatnya angka harapan hidup atau perubahan beban kerja guru?
Dalam persidangan, Pemerintah menekankan adanya perbedaan mendasar antara guru dan dosen. Guru disebut sebagai pendidik profesional dengan tugas fokus pada pembelajaran di satuan pendidikan dasar dan menengah. Dosen selain sebagai pendidik juga ilmuwan dengan kewajiban tridharma; pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Pemerintah juga mengutip dua penelitian. Pertama, penelitian yang ditulis oleh Dewi Rosita Rusydiana, terbit pada Proceedings of Annual Conference for Education Management and Sharia Economics pada tahun 2021 dengan judul “Pengaruh Usia Guru, Pengalaman dalam Mengajar, dan Tingkat Pendidikan Guru terhadap Profesionalitas Kinerja Guru di MTS Al Urwatul Wutsqo Bulurejo Diwek Jombang”. Kedua, penelitian yang ditulis oleh Sylvester JO Odanga dan Peter JO Aloka, terbit pada Athens Journal of Education pada tahun 2024 dengan judul “Effects of Age on Teachers’ Self-Efficacy: Evidence from Secondary Schools”.
Kedua peneltian ini menunjukkan adanya penurunan fisiologis dan self-efficacy guru seiring bertambahnya usia, sehingga 60 tahun dianggap batas ideal untuk menjaga kualitas kinerja. Usia memiliki pengaruh nyata terhadap performa guru baik dari sisi fisiologis maupun psikologis. Penelitian Dewi Rosita Rusydiana menunjukkan bahwa penurunan fungsi fisiologis mulai terdeteksi pada rentang usia 30–45 tahun yang berpotensi memengaruhi kualitas kinerja. Sementara penelitian Sylvester JO Odanga dan Peter JO Aloka menegaskan bahwa self-efficacy guru meningkat sejak awal karier hingga paruh baya, lalu cenderung stabil dan akhirnya menurun menjelang pensiun akibat tekanan serta tuntutan eksternal. Dengan demikian, kombinasi penurunan kapasitas fisik dan penurunan self-efficacy di usia lanjut dapat menjadi faktor yang memengaruhi efektivitas mengajar guru mendekati akhir masa pengabdiannya.
Hakim Arief Hidayat menyebut sedikit ada paradoks mengapa dosen yang memiliki beban kerja lebih berat justru mendapatkan usia pensiun lebih panjang, sementara guru yang mendidik sejak jenjang paling dasar bahkan mencakup pembinaan karakter dan tugas fisik di kelas justru dibatasi pada usia yang lebih muda. Bahkan, pengalaman para hakim sebagai guru besar menegaskan bahwa tugas guru tidak kalah kompleks baik secara emosional, intelektual, maupun fisik. Di sini terlihat bahwa perbedaan profesi antara guru dan dosen tidak sesederhana pembagian tugas administratif. Secara substansi keduanya memiliki kontribusi vital yang tidak bisa diukur hanya dari deskripsi beban kerja formal.
Para hakim mempertanyakan relevansi dan cakupan penelitian tersebut. Salah satunya dilakukan di Jombang dengan populasi terbatas, sehingga dipertanyakan validitasnya untuk generalisasi nasional. Lebih jauh, dengan meningkatnya angka harapan hidup dan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia, asumsi bahwa produktivitas guru menurun drastis setelah usia 60 perlu ditinjau ulang. Hakim mencontohkan putusan MK yang mengubah batas usia jabatan notaris dari 65 menjadi 70 tahun dengan syarat tes kesehatan berkala. Logikanya, pendekatan serupa bisa diterapkan untuk guru bukan sekadar mematok angka tanpa mempertimbangkan kondisi fisik dan kompetensi individual.
Argumen pemerintah lainnya adalah implikasi kebijakan terhadap regenerasi guru. Data Dapodik Juli 2025 menunjukkan 68.390 guru akan pensiun pada 2025, sementara lulusan sarjana kependidikan 2024 berjumlah 224.866 orang. Jika usia pensiun diperpanjang menjadi 65 tahun, maka selama lima tahun tidak akan ada gelombang pensiun besar yang berarti peluang kerja bagi lulusan baru akan sangat terbatas.
Pandangan ini sah secara manajerial tetapi mengandung asumsi bahwa penyediaan formasi guru semata ditentukan oleh pensiun massal. Padahal, kebutuhan guru juga dipengaruhi oleh distribusi tenaga pendidik, penambahan unit sekolah, dan kebijakan pemerataan kualitas pendidikan. Jika tidak diimbangi perencanaan tenaga kerja yang komprehensif, pembatasan usia pensiun justru bisa menjadi kebijakan yang lebih berorientasi pada sirkulasi formasi daripada kualitas pembelajaran.
Hal lain yang menjadi sorotan hakim adalah ketidakkonsistenan penerapan aturan batas usia pada jabatan fungsional. Dalam PP 11/2017, jabatan fungsional ahli utama memiliki batas usia pensiun 65 tahun. Dosen yang juga jabatan fungsional mengikuti skema ini. Namun, guru meski memiliki jenjang jabatan fungsional yang sama (guru pertama hingga guru utama) tetap batas usia pensiun 60 tahun. Pertanyaan yang muncul, mengapa jabatan fungsional guru tidak tunduk pada kerangka umum jabatan fungsional lainnya? Pertanyaan ini penting karena menunjukkan bahwa kebijakan usia pensiun guru bukan sekadar persoalan profesi, tetapi juga terkait dengan konsistensi regulasi dalam tata kelola ASN.
Refleksi
Perkara ini menguji batas antara kewenangan legislator dalam menentukan kebijakan publik dan peran MK dalam memastikan kesetaraan serta rasionalitas kebijakan tersebut. Memang benar bahwa open legal policy memberikan keleluasaan bagi pembentuk undang-undang, tetapi putusan-putusan MK sebelumnya menunjukkan bahwa keleluasaan ini tidak absolut. Ketika kebijakan berpotensi menimbulkan diskriminasi atau tidak lagi relevan dengan perkembangan masyarakat, maka MK dapat melakukan koreksi.
Secara normatif, ada beberapa opsi yang bisa menjadi titik temu antara kepentingan menjaga kualitas kinerja guru dan kebutuhan regenerasi, Pertama; peningkatan batas usia pensiun guru bersyarat, misalnya, memperpanjang usia pensiun hingga 65 tahun bagi guru yang lulus uji kompetensi dan kesehatan berkala. Kedua, batas usia pensiun berdasarkan jenjang jabatan fungsional pada jenjang tertinggi dengan pangkat Pembina Utama Madya/golongan IV/d, sementara jenjang lain tetap pada 60 tahun. Ketiga, perencanaan regenerasi berbasis kebutuhan riil yang tidak hanya mengandalkan pensiun massal, tetapi melalui redistribusi guru, perekrutan selektif, dan inovasi model pembelajaran.
Akhirnya, persidangan ini membuka ruang refleksi bahwa kebijakan publik terutama yang menyangkut profesi strategis seperti guru harus berlandaskan data yang valid, analisis mendalam, dan kesadaran akan nilai keadilan. Perbedaan usia pensiun guru dan dosen bukan semata soal historis atau teknis, tetapi menyentuh esensi penghargaan negara terhadap peran pendidik dalam membentuk generasi bangsa. Putusan MK akan menjadi preseden penting apakah MK akan mempertahankan status quo demi stabilitas formasi dan legal historis, atau membuka jalan bagi kebijakan yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman, kesetaraan profesi, dan martabat guru Indonesia.
Penulis adalah Dosen Prodi Pendidikan Antropologi, Universitas Negeri Medan.