Scroll Untuk Membaca

Opini

Pejabat Suruh Ganti Plat BL Ke BK, Ini Negara Hukum Atau Negara Kepala Daerah?

Pejabat Suruh Ganti Plat BL Ke BK, Ini Negara Hukum Atau Negara Kepala Daerah?
Kecil Besar
14px

Oleh Dr. Bukhari, M.H., CM

Satu hari lalu publik dikejutkan oleh aksi pejabat di Sumatera Utara yang menghentikan sebuah truk berplat BL (Aceh) yang beredar di media sosial di Jalan Lintas Sumatera, Langkat. Sopir truk diminta untuk mengganti plat BL menjadi BK agar bisa beroperasi di wilayah Sumut. Sepintas terlihat sepele, tapi jika ditelaah lebih dalam, tindakan ini justru membuka ruang diskusi serius: apakah kita hidup dalam negara hukum atau sedang meluncur ke arah negara kepala daerah?

Plat tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) bukanlah barang mainan birokrasi daerah. Sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Perkapolri Nomor 7 Tahun 2021 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor, TNKB adalah identitas resmi kendaraan yang diterbitkan oleh Korlantas Polri. BL ditetapkan untuk Aceh, sedangkan BK untuk Sumatera Utara.

Kendaraan berplat BL sah melintas ke Sumut, Riau, bahkan ke Jakarta selama membawa STNK dan BPKB yang sah. Tidak ada satu pasal pun yang menyebut kendaraan harus mengganti plat sesuai provinsi yang dilalui.

Tindakan pejabat yang menyuruh sopir mengganti plat BL ke BK jelas melampaui kewenangan atau ultra vires. Kewenangan registrasi kendaraan ada di Polri, bukan pemerintah daerah. Pejabat eksekutif tidak punya hak mencabut, mengganti, atau memerintahkan perubahan TNKB. Perintah semacam itu berpotensi menciptakan diskriminasi antar daerah dan melanggar prinsip distribusi barang antar wilayah yang dijamin oleh UUD 1945.

Jika ditinjau dari aspek konstitusi, masalah ini lebih serius lagi. Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menegaskan Indonesia adalah negara hukum, artinya semua tindakan pejabat harus berlandaskan hukum, bukan sekadar kehendak pribadi atau ego daerah. Pasal 27 ayat 2 menjamin hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sehingga melarang kendaraan Aceh beroperasi di Sumut sama saja menghambat hak masyarakat untuk mencari nafkah.

Pasal 33 menegaskan pentingnya perdagangan antar daerah, distribusi barang lintas provinsi adalah bagian dari roda ekonomi nasional. Membatasi kendaraan berplat BL berarti melawan prinsip ekonomi konstitusional.

Bahkan jika kita kembali pada UU LLAJ, Pasal 68 dan 69 dengan jelas menyebut bahwa TNKB berlaku nasional sesuai registrasi tempat kendaraan terdaftar. Tidak ada kewajiban ganti plat lintas provinsi.

Bahaya besar mengintai jika pola ini dibiarkan. Bayangkan jika setiap pejabat daerah bisa seenaknya melarang plat luar provinsi. Aceh bisa melarang plat BK masuk Lhokseumawe, Riau bisa menolak plat BA dari Sumbar, Jakarta bisa menutup pintu bagi semua plat luar DKI. Indonesia akan kembali ke zaman raja-raja kecil daerah yang bertindak tanpa norma hukum. Ini jelas berlawanan dengan semangat NKRI.

Negara hukum mengajarkan bahwa hukum adalah panglima, bukan pejabat. Apa jadinya jika masyarakat harus mengganti plat tiap kali lintas provinsi? Selain absurd, hal ini merusak kepastian hukum dan menimbulkan biaya tambahan yang tidak masuk akal. Pejabat seharusnya jadi teladan dalam menghormati hukum, bukan justru menabraknya.

Aksi menyuruh ganti plat itu bukan hanya salah kaprah, melainkan juga dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Kita patut mengingatkan, plat BL adalah sah di Sumut, hanya Polri yang berwenang soal registrasi dan perubahan TNKB, dan setiap tindakan pejabat harus tunduk pada undang-undang, bukan sebaliknya.

Penulis adalah Konsultan Hukum & Akademisi UIN Lhokseumawe.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE