Scroll Untuk Membaca

Opini

Perang Iran Vs Israel (Ujian Literasi Geopolitik Umat Islam)

Perang Iran Vs Israel (Ujian Literasi Geopolitik Umat Islam)
Kecil Besar
14px

Oleh Irwan H Daulay

Iran menempati posisi unik sebagai negara Muslim yang secara terbuka menantang Israel dan menolak tunduk pada tekanan Barat. Iran tidak hanya mendukung Palestina secara diplomatik, tetapi juga secara militer dan logistik, termasuk dukungan kepada Hamas dan Hizbullah

Konflik Iran-Israel yang memanas pada pertengahan 2025 bukan sekadar pertarungan dua negara, melainkan menjadi panggung ujian bagi kesadaran dan literasi geopolitik umat Islam secara global. Konflik ini memperlihatkan pertarungan antara hegemoni kapitalisme global yang menopang Israel dan perlawanan ideologis yang diwakili oleh Iran sebagai satu-satunya negara Muslim yang secara konsisten menentang eksistensi Zionis-Israel dan membela Palestina secara aktif.

Dominasi Barat & Hegemoni Global

Israel tetap eksis dan kuat berkat dukungan militer, intelijen, dan diplomasi dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Bantuan ini tidak hanya berupa persenjataan canggih, tetapi juga perlindungan di forum internasional dan dukungan ekonomi yang masif. Dominasi kapitalisme global ini menjadikan Israel sebagai aktor utama dalam menjaga status quo di Timur Tengah, sekaligus menekan negara-negara yang menentangnya, seperti Iran.

Iran menempati posisi unik sebagai negara Muslim yang secara terbuka menantang Israel dan menolak tunduk pada tekanan Barat. Iran tidak hanya mendukung Palestina secara diplomatik, tetapi juga secara militer dan logistik, termasuk dukungan kepada kelompok perlawanan seperti Hamas dan Hizbullah.

Presiden terpilih Iran, Masoud Pezeshkian, menegaskan bahwa dukungan terhadap Palestina akan terus berlanjut hingga pembebasan Al-Quds, sejalan dengan prinsip Revolusi Islam. Di tengah embargo dan tekanan, Iran mampu mengembangkan teknologi militer dan pertahanan, membuktikan bahwa negara berideologi Islam bisa mandiri dan berdaulat.

Sebaliknya, mayoritas negara Arab memilih jalur kompromi, diam, atau bahkan normalisasi hubungan dengan Israel. Sejak Abraham Accords 2020, gelombang normalisasi terus meluas, melibatkan Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan, serta sinyal terbuka dari Arab Saudi dan beberapa negara lain, meski diwarnai penolakan publik yang kuat. Normalisasi ini seringkali didorong oleh kepentingan ekonomi, keamanan, dan tekanan geopolitik, sementara isu Palestina semakin terpinggirkan dalam agenda resmi negara-negara tersebut.

Mayoritas negara Arab mengambil sikap yang beragam terhadap Israel. Beberapa negara seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan telah secara resmi melakukan normalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accords. Langkah ini membuka kerja sama di bidang ekonomi dan militer, menandai pergeseran besar dalam lanskap politik Timur Tengah.

Sementara itu, Arab Saudi menunjukkan sinyal keterbukaan terhadap normalisasi, meski hingga kini belum mengambil langkah resmi dan masih menunggu momentum politik yang tepat. Mesir dan Yordania sudah lebih dulu menandatangani perjanjian damai dengan Israel sejak beberapa dekade lalu, menjalin hubungan strategis yang tetap diwarnai penolakan publik di dalam negeri.

Di sisi lain, negara-negara seperti Qatar, Kuwait, dan Aljazair konsisten menolak normalisasi serta tetap mendukung perjuangan Palestina, meski menghadapi tekanan dari Barat. Sikap beragam ini mencerminkan kompleksitas kepentingan politik, ekonomi, dan keamanan di kawasan, sekaligus memperlihatkan adanya jarak antara kebijakan negara dan aspirasi masyarakat luas.

Turki, sebagai kekuatan strategis regional, mengambil posisi ambigu. Presiden Erdoğan menegaskan kesiapan Turki menjadi fasilitator perdamaian dan menolak agresi Israel, namun belum mengambil langkah strategis yang tegas berpihak pada Iran atau Palestina secara militer. Turki lebih menonjolkan diplomasi dan penguatan industri pertahanan nasional, sembari menjaga hubungan pragmatis dengan berbagai pihak di kawasan.

Literasi Geopolitik

Konflik ini menjadi momentum penting bagi umat Islam, khususnya generasi muda dan kaum intelektual, untuk meningkatkan literasi geopolitik. Survei terbaru menunjukkan adanya pergeseran persepsi di kalangan pemuda Arab, yang kini lebih memandang Turki dan China sebagai sekutu strategis dibanding AS atau Rusia. Namun, literasi geopolitik yang kuat diperlukan agar umat Islam tidak terjebak dalam narasi sektarian atau propaganda Barat, melainkan mampu membaca dinamika Timur Tengah dari perspektif ideologis dan peradaban Islam.

Perang Iran-Israel bukan sekadar konflik dua negara, melainkan simbol perlawanan terhadap penjajahan modern dan dominasi global. Iran, dengan segala keterbatasan, menunjukkan bahwa perlawanan ideologis dan kemandirian strategis tetap mungkin di era hegemoni kapitalisme global. Sementara itu, normalisasi Arab dengan Israel menandai pergeseran geopolitik yang menuntut refleksi kritis dari umat Islam tentang makna solidaritas dan perjuangan membela yang tertindas.

Penutup

Umat Islam tidak bisa selamanya menjadi penonton. Diperlukan pemahaman mendalam, keberanian, dan solidaritas global untuk menghadirkan kembali peradaban Islam yang berdaulat, mandiri, dan melindungi yang tertindas. Literasi geopolitik menjadi kunci agar umat Islam mampu mengambil peran aktif dalam percaturan politik global, bukan sekadar menjadi objek, tetapi subjek perubahan peradaban.

Penulis adalah Alumni Unimed, Mantan Aktivis ’98, Saat Ini Bergerak Dalam Bidang Pengembangan Infrastruktur.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE