Scroll Untuk Membaca

Opini

Pers, Pengusung Demokrasi (Refleksi Hari Pers Nasional)

Oleh Andryan, SH, MH

<strong>Pers, Pengusung Demokrasi</strong> <strong><em>(Refleksi Hari Pers Nasional)</em></strong>
Kecil Besar
14px

“Pers adalah the fourth estate (cabang kekuasaan keempat)” – Thomas Carlyle

Ketika pilar-pilar ketatanegaraan, terutama kekuasan yudisial, eksekutif dan legislatif tidak bisa bekerja secara baik, maka peran pers bebas menjadi pilar berikutnya yang sangat penting untuk mendorong transformasi demokrasi di suatu negara. Gagasan mendorong ‘pilar keempat demokrasi’ (the fourth estate of democracy) melalui kebebasan pers, bukanlah hal baru. Thomas Carlyle, telah mengungkapkan istilah tersebut merujuk pada aktifitas jurnalisme sebagai ekspresi sosial-publik. Kemudian istilah itu diperkenalkan oleh seorang negarawan Irlandia, Edmund Burke, dari Parlemen di Britain di tahun 1787. Di Amerika Serikat, istilah ini diperkenalkan melalui gagasan sebagai cabang keempat kekuasaan, yakni kemerdekaan pers.

Pers sebagai kekuatan demokrasi dan menjadi penopang bagi pilar-pilar demokrasi lainnya seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di saat pilar-pilar lainnya lumpuh, maka pers diharapkan akan tampil di depan untuk menyelamatkan tegaknya nilai-nilai demokrasi di sebuah negara demokrasi. Akses informasi melalui media massa ini sejalan dengan asas demokrasi, yaitu adanya tranformasi secara menyeluruh dan terbuka yang mutlak bagi negara penganut paham demokrasi, sehingga ada persebaran informasi secara merata. Untuk dapat melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan serta independensi dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang.

Kebebasan pers diperlukan untuk demokrasi, keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran; pembredelan atau pelarangan penyiaran; untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi; dan hak tolak sebagai bentuk pertanggungjawaban pemberitaan.

Konsep kebebasan atau kemerdekaan (liberty, freedom), mengandung makna: “seseorang bebas melakukan segala sesuatu sepanjang tidak melanggar kebebasan orang lain”. Dalam ungkapan John Locke dikatakan: “batas kebebasan seorang adalah kebebasan orang lain”. Dalam konteks negara hukum, kebebasan itu mengandung makna: “seseorang bebas melakukan atau tidak melakukan sesuatu sepanjang tidak ada hukum yang membatasinya”.

Muhammad Hatta melalui buku klasiknya “Demokrasi Kita“, menyebutkan belum ada kemandekan (freedom) tanpa persamaan (equality). Kebebasan dan persamaan merupakan dua sisi dari satu mata uang (two sides of one coin). Bahkan, seperti yang menjadi semboyan Revolusi Perancis (1789) dan senantiasa tercantum dalam pembukaan UUD-nya, ditambahkan unsur fraternity” (fraternité), sehingga menjadi: libertéegalité, dan fraternité). Tidak ada demokrasi tanpa pengakuan atau jaminan atas hak atas keberagaman. Jaminan dan perlindungan atas hak berpendapat khususnya hak berbeda pendapat, merupakan konsekuensi logis dari keberagaman atau kemajemukan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan dalam konteks sosio-kultural, demokrasi adalah konsekuensi keberagaman.

Bagir Manan (2016:40), yang merupakan salah satu tokoh dalam menyuarakan kemerdekaan pers, juga pernah mengatakan bahwa pers dalam tatanan demokrasi, dengan ciri dasar pers dalam demokrasi yaitu kebebasan dan independensi. Ada beberapa karakteristik pers bebas dan independen (dalam demokrasi). Pertama; tidak ada pers yang menjadi organ resmi negara atau pemerintah. Kalaupun ada lembaga pers di bawah naungan negara atau pemerintah, harus diletakkan dalam status hukum (diberi status hukum) yang mandiri terpisah atau terlepas dari kendali administrasi pemerintah (penyelenggara pemerintahan). Sebagai pranata demokrasi, pers ini bersifat otonom (mengatur dan mengurus diri sendiri.

Dalam khazanah otonomi, pers semacam ini menjalankan otonomi fungsional (functioneele autonomie). Dalam status hukum semacam itu, pers yang berada di bawah naungan negara atau pemerintah dapat menjalankan fungsi jurnalistik (jurnalisme) bebas dan independen. Kedua; pada saat ini ada diskursus yang berkelanjutan mengenai substansi “kebebasan pers” dan “independensi pers”. Di masa lalu, dua persoalan tersebut semata-mata dalam konteks politik (pers dikuasai penguasa politik, pers di bawah tekanan penguasa politik, pers dikenai berbagai pembatasan yang bersifat preventif dan represif).

Tantangan Pers Era Post Truth

Pers dalam perjalanannya tentu memiliki banyak rintangan dan tantangan, kita selalu menempatkan pers sebagai corong demokrasi melalui kebebsan berpendapat. Meskipun demikian, kini kebebasan pers tersebut seakan mulai menggrogoti pers dalam hal kepercayaan (trust) publik. Ironisnya, kepercayaan publik justru menjadikan pers sebagai alat dalam era post-truth. Pada tahun 2016, Oxford menjadikan kata post-truth sebagai Word of the Yeardengan jumlah penggunaan istilah post-truth di tahun 2016 meningkat 2000 persen bila dibandingkan dengan tahun 2015.

Sebelumnya, Ralph Keyes dalam bukunya The Post-truth Era (2004) dan comedian Stephen Colber mempopulerkan istilah yang berhubungan dengan post-truth yaitu truthiness yang kurang lebih sebagai sesuatu yang seolah-olah benar, meski tidak benar sama sekali. Di era post-truth, maka penguatan pers sebagai pilar demokrasi dalam menjaga profesionalisme dan kredibilitas, harus disertai dengan payung hukum yang kuat. Hal ini tidak hanya pers berfungsi untuk mengwasi jalannya pemerintah, tetapi juga sebagai penyambung lidah rakyat melalu keterbukaan informasi dengan pemberitaan yang dapat dipercaya (media trust).

Pers sebagai pilar keempat demokrasi, juga telah dijamin kemerdekaannya dan diakui keberadaannya oleh UUD 1945, seperti halnya tiga pilar demokrasi lainnya, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Apa yang diperjuangkan oleh pers tersebut, sama halnya dengan prinsip negara, yakni demokrasi, rule of law, dan social welfare. Sebagai salah satu dari pilar demokrasi, pers memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan profesionalisme. Dalam konsep negara hukum, salah satu roh dari rule of law adalah profesionalisme, dimana diantaranya menjaga kepercayaan (media trust).

Di era post-truth, batas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan ketidakjujuran, fiksi dan nonfiksi menjadi semakin kabur. Menyampaikan ketidakbenaran ke orang lain menjadi suatu tantangan, permainan, dan berakhir menjadi kebiasaan. Di era post truth, kebenaran jurnalistik mulai diambil alih oleh berita-berita bohong, berita-berita yang tidak jelas kebenarannya. Selama ini pemilik modal dan para penguasa lah yang disebut-sebut paling dominan dalam mengancam kebebasan pers dan profesionalisme jurnalisme. Namun, di era post truth ini ancaman bertambah menjadi satu yakni: hoax, fake and false news.

Tidak dapat dipungkiri apabila di era post truth ini memunculkan banyak kejutan terutama adalah terkait identitas dan eksistensi jurnalisme sebagai praktik profesional yang semakin dipertanyakan. Oleh karenanya, sebagai salah satu pilar demokrasi, pers di dalam sebuah negara yang berlandaskan hukum, tentu saja harus diberikan tempat dan kedudukan yang kuat. Hal ini bukan hanya sebatas memberikan legitimasi bahwa tidak ada suatu negara demokrasi tanpa memiliki pers yang kuat, melainkan juga pers harus senantiasa menjunjung nilai-nilai demokrasi itu sendiri sesuai dengan konsep negara hukum. Pada era post truth, peran pers semakin dibutuhkan, disamping memberikan informasi yang benar sesuai fakta dalam pemberitaan, pers juga harus mampu menjaga keseimbangan, terutama dalam hal menjadi alat kepentingan penguasa.

Penulis adalah Dosen dan Kepala Bagian HTN/HAN FH. UMSU Kandidat Doktor Ilmu Hukum USU.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE