Oleh Mardiansyah
Keliru jika Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menyetop kendaraan yang tidak melakukan pelanggaran hukum lalu lintas, hanya karena ingin mengarahkan pembayaran pajak ke Sumut
Beberapa waktu terakhir, Sumatera Utara menjadi sorotan nasional akibat viralnya tindakan petugas pajak yang menyetop kendaraan berpelat luar provinsi, khususnya BL dari Aceh. Tujuan penyetopan itu—menurut keterangan pihak terkait—adalah untuk mengarahkan pemilik kendaraan agar membayar pajak di Sumut, mengingat kendaraan tersebut digunakan setiap hari di wilayah ini.
Sekilas, tujuan ini tampak logis dalam kerangka peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, bila dikaji dari sudut administrasi publik, tindakan tersebut justru mengandung masalah serius: cacat secara hukum, tidak etis secara pelayanan publik, dan tidak efektif dalam tata kelola pemerintahan yang baik.
Legalitas: Fondasi yang Terabaikan
Dalam konteks hukum pajak daerah, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebut bahwa pajak kendaraan bermotor dipungut berdasarkan domisili registrasi kendaraan. Artinya, selama kendaraan tersebut terdaftar secara sah di Provinsi Aceh, maka urusan pajaknya merupakan kewenangan penuh Aceh.
Menjadi keliru jika Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui aparaturnya menyetop kendaraan yang tidak melakukan pelanggaran hukum lalu lintas, hanya karena ingin mengarahkan pembayaran pajak ke Sumut. Praktik ini bukan hanya berpotensi melanggar hukum administrasi, tapi juga membuka celah pelanggaran terhadap *hak warga negara atas kepemilikan dan penggunaan kendaraan.
Administrasi Publik Bukan Alat Pemaksaan
Dalam pendekatan New Public Service (Denhardt & Denhardt), peran birokrasi adalah melayani, bukan sekadar mengontrol atau memaksa masyarakat. Tindakan menyetop kendaraan di jalan tanpa dasar hukum kuat menunjukkan kegagalan memahami bahwa pelayanan publik harus berdasar pada kepercayaan, bukan ketakutan. Kebijakan sepihak yang menyasar kendaraan luar tanpa kerja sama antardaerah justru menimbulkan konflik administratif. Ini juga mencerminkan lemahnya perencanaan kebijakan dan ketiadaan pendekatan kolaboratif dalam penyusunan strategi peningkatan PAD.
Reformasi Birokrasi Harus Konsisten
Indonesia sudah memasuki era reformasi birokrasi dan pelayanan publik digital. Seharusnya, pendekatan peningkatan PAD melalui sektor kendaraan bermotor juga dibarengi dengan pemanfaatan sistem informasi terintegrasi seperti Samsat Digital Nasional, bukan kembali pada pendekatan manual yang mengesankan otoritarianisme.
Pemerintah daerah harus memimpin dengan memberi contoh birokrasi yang akuntabel, transparan, dan partisipatif, bukan dengan tindakan yang multitafsir dan berisiko melanggar hukum.
Penutup
Meningkatkan PAD adalah tujuan yang sah dan perlu. Namun, cara mencapainya harus tetap berpijak pada hukum, etika, dan prinsip pelayanan publik yang adil. Tindakan menyetop kendaraan berpelat luar dan memaksa membayar pajak di Sumut, tanpa dasar hukum yang kuat, hanya akan merusak kepercayaan publik dan menciptakan ketegangan antarwilayah.
Petugas pajak bukan aparat penegak hukum lalu lintas. Mereka tidak memiliki kewenangan menyetop kendaraan sembarangan, apalagi mengarahkan pembayaran pajak secara paksa. Tindakan seperti ini berpotensi merusak citra birokrasi sebagai pelayan publik yang profesional dan humanis.
Inefisiensi Dan Resistensi Publik
Dari sisi efektivitas kebijakan publik, pendekatan represif semacam ini terbukti kontraproduktif. Selain menuai kritik dan kecaman dari masyarakat, tindakan tersebut tidak menjawab akar masalah: yaitu kendaraan luar provinsi yang tidak dimutasi ke Sumut.
Solusi yang lebih rasional adalah memberikan insentif mutasi kendaraan, edukasi publik, serta pelayanan mutasi dan pembayaran pajak yang cepat dan mudah. Pemerintah daerah bisa bekerjasama dengan provinsi asal kendaraan untuk mengatur sistem distribusi pajak lintas wilayah. Pendekatan persuasif jauh lebih efektif daripada metode lapangan yang mengundang resistensi.
Ketiadaan Koordinasi Antardaerah
Administrasi publik yang baik menuntut adanya koordinasi vertikal dan horizontal. Dalam kasus ini, pemerintah daerah Sumut seharusnya menjalin kerja sama dengan pemerintah Aceh, Ditlantas, dan Kementerian Dalam Negeri terkait kendaraan luar yang menetap di wilayahnya.
Administrasi publik bukan alat tekanan, tapi jembatan antara kebijakan dan kebutuhan masyarakat. Bila birokrasi gagal memainkan peran ini, maka fungsi pelayanan akan berubah menjadi pemaksaan, dan itu bertentangan dengan semangat reformasi yang selama ini dibangun.
Penulis adalah Plt. Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Islam Sumatera Utara (UISU).