Oleh: Taufiq Abdul Rahim
Fenomena politik menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan berlangsung pada 27 Nopember 2024, semakin berhembus semilir, kadangkala kencang dan terasa pada nuansa kehidupan rakyat Aceh. Meskipun demikian, landasan berfikir serta aturan hukum yang selama ini dibangga-banggakan oleh rakyat Aceh dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yaitu, Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) ataupun UU Nomor 11 Tahun 2006, yang mengatur seluruh diensi kehidupan rakyat Aceh, juga merupakan “lex specialist” sebagai dasar hukum resmi di Aceh pasca Perjanjian Damai (Memorandum of Understanding/MoU) tahun 2004 yang masih selalu dibangga-banggakan. Maka UUPA merupakan derivasi undang-undang yang berlaku di Aceh, secara aturan undang-undang pada Pasal 65 ayat 1, Tentang Pemilihan Kepala Daerah di Aceh berlangsung 5 tahun sekali.
Karena itu, untuk Pilkada yang akan datang ternyata mengalami kemunduran ataupun tertunda 2 tahun dari ketentuan pasal tersebut, yang semestinya dilaksanakan Pilkada serentak di Aceh pada tahun 2022, hanya saja ada 3 daerah kabupaten/kota yang berbeda karena Pilkadanya pada tahun 2019, dan yang lainnya 20 kabupaten/kota pada 2017 lalu. Hal ini secara sederhana pemahmannya adalah, demokrasi Pilkada serentak secara nasional pelaksanaannya pada 27 Nopember 2024, berlandaskan kepada keputusan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024, Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. Sehingga Pilkada Aceh yang sebelumnya mengandalkan Pasal 65 Ayat 1 UUPA sebagai “lex specialist” Aceh yang memiliki keistimewaan, maupun kekhususan Aceh, hari ini posisi hukum dan aturan sama saja dengan daerah lainnya di Indonesia. Karena itu, secara nasional serta ke-Acehan tidak ada lagi keistimewaan dan kekhususan Aceh tidak dipertahankan dan sama dengan daerah lainnya. Inilah politik, meskipun pernah diperjuangkan secara bedarah-drarah, bertarung dan mengobankan nyawa dan darah, meninggalkan bekas luka sejarah yang menyayat hati, miris serta berbagai kegelapan kelam masa lalu, ternyata terlalu mudah dilupakan untuk sekedar permainan politik, jabatan politik, serta ambisi kekuasaan seseorang, sekelompok orang, partai politik serta manusia haus jabatan sehingga sangat mudah melupakan, meskipun landasan ideal dan politiknya etika moral manusia serta hak azasi manusia yang dilanggar serta dikorbankan.
Permasalahan politik dan kekuasaan demikian menjadikan manusia lupa diri, meskipun mengklaim dirinya sebagai pejuang, sementara itu rakyat banyak di Aceh sebelumnya ikut merasakan, berpartisipasi, yang terlibat langsung maupun tidak langsung sangat mudah disingkirkan dengan jargon “kamou” (kami; red) sebagai pejuang dalam konflik, meskipun semua terlibat konflik baik langsung mapun tidak langsung dalam memberikan fasilitas, akses, bantuan, menyembunyikan dan banyak lagi lainnya. Semua ini terlalu mudah dilupakan dengan kedudukan dan kekuasaan politik, karena pasca damai gerakan perlawanan Aceh berubah, dari gerakan bersenjata menjadi gerakan politik dan diplomasi. Pada dasarnya secara mendasar dengan perjanjian damai di Aceh tujuannya berlaku “Self Governance”, yang semestinya menjadikan Aceh mandiri berada pada posisi “kaki sendiri”, meskipun dengan kekuasaan dan kekuatan politik di awah integrasi maupun istilah lainnya secara politik kekhususan Aceh.
Akan tetapi, kekuasaan politik dari kelompok elite, pemimpin dan partai politik, ternyata mudah lupa serta terbuai dengan kewenangan kekuasaan serta jabatannya. Dikarenakan para elite pemimpin politik di Aceh hanya memahami kewenangan dan keuasaan politiknya adalah sekedar fungsi, maka menurut Almond (2005), sistem politik memiliki cara tersendiri dalam merekrut warganya untuk menduduki keududukan politik dan administrasi, jadi fungsi-fungsi politik dalam dua kategori yaitu fungsi-fungsi masukan (input function) dan fungsi-fungsi keluaran (output function). Sehingga disebabkan hanya menjalankan fungsi maka menurut Merton (1949), yaitu fungsi menunjukkan konsekwensi tindakan-tindakan yang menyebabkan suatu sistem tetap hidup, sedangkan dysfunction menunjukkan bahwa suatu sistem itu hancur atau terputus. Sehingga jelas bahwa, pada saat kekuasaan politik pada elite, pemimpin, kelompok dan partai tertentu berfungsi sebagai perpanjangan dari pemerintah pusat, sehingga kepentingannya mengacu ke sana, sementara itu sistem yang menghubungkan kepentingan rakyat, perubahan kehidupan, perbaikan, peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan hancur terputus seluruhnya terhadap kepentingan politik kerakyatan. Maka terciptanya politik ketergantungan terhadap kebijakan kepentingan pemerintah pusat sebagai pemberi mandat kewenangan serta kekuasaan politik dengan melalui surat keputusan (SK), kemudian abai, cuai dan menafikan dengan mandat serta kadaulatan atau kekuasaan politik tertinggi pada rakyat.
Sehingga fungsi politik dan kekuasaan serta kewenangan melalui Pilkada yang diberikan serta dipilih oleh rakyat Aceh, hanya fungsi bersifat administratif, mengurus kepentingan pusat, semakin abai terhadap aturan undang-undang dan landasan hukum yang sebenarnya berlaku di Aceh, serta sejarah panjang penderitaan dan konflik Aceh yang mengorban darah, nayawa dan air mata. Dikarenakan perjanjian damai secara politik dalam pemahaman sistem, menurut Easton (1957) yaitu, sistem politik alokasi nilai-nilai yang menggunakan paksaan atau kewenangan, dan paksaan dan kewenangan ini mengikat masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Jika secara ideologi politik menurut White (1948) adalah, jumlah ide atau doktrin politik dari sekelompok orang yang dapat dibedakan.
Hal ini menjadi semangat bersama pada awalnya menurut pemikiran Titus (1959) adalah, istilah yang digunakan untuk kelompok gagasan apa pun mengenai berbagai skema gagasan politik dan ekonomi yang dikembangkan oleh kelompok di kelas. Sehingga gambaran psikologis serta konsep perlawanan awal sehingga mengubah pola gerakan serta perlawanan dapat berubah, karena kekuasaan politik pada elite dan pemimpin Aceh berubah, orientasi, tujuan dan cara pandang memahami kekuasaan politik dari beberapa kali hasil pilkada, ide dan gagasan awal dimainkan oleh sistem secara terpusat dan terintegrasi memiliki ketergantungan politik yang luar biasa, terutama terhadap kebijakan politik anggaran, di Aceh populer dengan Anggaran pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), ada dengan cara menuangkan uang secara besar-besaran, menjebak para elite, pemimpin, kelompok, partai politik serta aktor politik dengan uang.
Maka pada saat kekuasaan dan penggunaan anggaran belanja publik karena kekuasaan yang “seolah-olah”, praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) semakin masif bahkan liar, memanfaatkan prinsip “aji mumpung” memiliki kekuasaan politik. Dengan demikian, hasil Pilkada yang melahirkan para elite pemimpin dan aktor politik Aceh menjadi “meuramah” (meremas, hancur; red), bahkan semakin terbuka peluang menjadi narapidana ataupun koruptor yang merampok dan mencuri uang rakyat Aceh yang diperuntukkan pada belanja publik APBA, agar makmur dan sejahtera.
Dalam pemahaman aturan undang-undang serta sistem hukum dan politik di Aceh, mesti tunduk patuh kepada aturan hukum yang berlaku secara nasional, jadi tidak ada lagi “lex specialist” terhadap tahapan, pelaksanaan dan hasil Pilkada sesuai ketetapan Pemerintah Pusat Jakarta, ini jelas secara hukum kekhususan Aceh sudah “meuramah”, sehingga kebanggaan pasca damai semakin pupus secara politik hukum. Selanjutnya wewenang lainnya di tengah ketidakpastian hukum negara di samping ketidakadilan, ketidakmerataan, ketidakpastian kehidupan masa depan, saat ini “trias politica” tidak setara dan seimbang dalam kekuasaan politik, maka kekuasaan eksekutif sangat semena-mena,otoiter, penuh paksaan ataupun adanya “abussed of power”, sehingga pesimisme rakyat Aceh hasil Pilkada serentak 2024, ini akan menciptakan kondisi rakyat Aceh semakin sulit kehidupannya, bahkan “meuramah” secara ekonomi dan politik, karena para elite pemimpin dan aktor politik terpilih akan tetap tunduk-patuh dengan berbagai ketentuan aturan Pemerintah Pusat Jakarta dan para oligarki ekonomi dan politik, termasuk penguasaan sumber daya alam (resources) Aceh yang banyak serta belimpah mesti tunduk dan patuh terhadap UUD 1945 Pasal 33, juga berbagai kewenangan lainnya. Dengan demikian, apa yang akan diharapkan oleh rakyat Aceh, “self governance” jauh diawang-awang, karena UUPA terus digerogoti dan dibredel habis tinggal kerangka, termasuk kewenangan Pilkada Aceh, hanya terus hidup “meuramah” dan Aceh predikat juara miskin.
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center/PEARC-Aceh