Oleh Mulia Safrida Sari, S.Pd., M.Si
Dan siapa sangka, harapan itu bisa datang dari sesuatu yang sederhana—spirulina, si mikroalga kecil berwarna hijau kebiruan, yang diam-diam menyimpan kekuatan besar untuk kesehatan manusia.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Diabetes hingga kini masih menjadi salah satu masalah kesehatan terbesar di dunia. Federasi Diabetes Internasional (IDF) mencatat, pada 2021 jumlah penderita diabetes di dunia mencapai lebih dari 530 juta orang, dan angka ini diprediksi akan terus meningkat. Indonesia sendiri menempati peringkat kelima dengan jumlah penderita terbanyak, yakni sekitar 19,5 juta orang. Fakta ini tentu mengkhawatirkan, mengingat diabetes tidak hanya membebani biaya kesehatan, tetapi juga menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Salah satu tantangan utama dalam penanganan diabetes adalah deteksi dini. Banyak penderita baru menyadari dirinya mengidap diabetes setelah mengalami komplikasi. Padahal, semakin cepat dideteksi, semakin besar peluang mencegah dampak buruk penyakit ini. Oleh karena itu, inovasi teknologi untuk mendeteksi diabetes lebih cepat, akurat, dan terjangkau sangat dibutuhkan.
Spirulina: Dari Superfood ke Super Sensor
Selama ini, spirulina dikenal luas sebagai “superfood” karena kandungan nutrisinya yang kaya, mulai dari protein, vitamin, mineral, hingga antioksidan. Tidak banyak yang menyadari bahwa mikroalga berwarna hijau kebiruan ini juga menyimpan potensi besar di bidang teknologi kesehatan.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa spirulina dapat dimanfaatkan sebagai biotransduser dalam teknologi Surface Plasmon Resonance (SPR). SPR sendiri adalah sebuah metode deteksi biomolekul berbasis cahaya, yang mampu mengukur interaksi antara ligan (pengikat) dengan target biologis, misalnya protein atau DNA. Teknologi ini sudah lama dipakai dalam penelitian biomedis karena sensitif, cepat, dan tidak memerlukan pewarnaan khusus.
Dengan memanfaatkan senyawa aktif yang terkandung dalam spirulina, para ilmuwan melihat peluang menjadikannya sebagai ligan spesifik yang mampu berikatan dengan biomarker biologis terkait diabetes. Jika pengembangan ini berhasil, spirulina berpotensi menjadi “kunci” dalam menciptakan alat deteksi dini diabetes yang sederhana, murah, dan akurat.
Menjembatani Sains dan Kesehatan Publik
Memang, riset pemanfaatan spirulina sebagai biotransduser SPR masih dalam tahap awal. Banyak hal perlu ditelisik lebih jauh, mulai dari kestabilan interaksi dengan biomarker, sensitivitas terhadap konsentrasi gula darah, hingga efektivitas dalam kondisi nyata. Namun, arah penelitian ini sangat menjanjikan.
Bayangkan jika suatu saat nanti alat deteksi diabetes tidak lagi harus bergantung pada prosedur laboratorium yang rumit, tetapi cukup dengan sebuah sensor sederhana berbasis spirulina. Hal ini akan sangat membantu negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana akses masyarakat ke layanan kesehatan masih terbatas.
Lebih jauh, pemanfaatan spirulina juga mendukung prinsip bioteknologi ramah lingkungan. Spirulina mudah dibudidayakan, relatif murah, dan berkelanjutan. Jika berhasil diterapkan, teknologi ini tidak hanya menjawab tantangan medis, tetapi juga menghadirkan solusi yang sejalan dengan agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs), khususnya dalam aspek kesehatan (SDG 3) dan inovasi (SDG 9).
Dari Laboratorium ke Masyarakat
Pertanyaannya kini adalah bagaimana menjembatani hasil penelitian ini agar benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Di sinilah peran kolaborasi antara ilmuwan, pemerintah, industri kesehatan, dan masyarakat menjadi sangat penting.
Pemerintah dapat mendorong riset lanjutan dengan memberikan dukungan dana dan kebijakan. Perguruan tinggi dan lembaga penelitian perlu terus mengembangkan teknologi ini hingga tahap uji klinis. Industri kesehatan dapat menyiapkan jalur produksi dan distribusi massal. Sedangkan masyarakat, terutama komunitas penderita diabetes, dapat dilibatkan sebagai pengguna awal untuk menguji efektivitasnya.
Harapan Baru bagi Penderita Diabetes
Spirulina mungkin selama ini lebih dikenal di meja makan sebagai suplemen, tetapi masa depannya bisa jadi lebih besar daripada sekadar “superfood”. Dengan potensi yang dimilikinya, spirulina berpeluang menjadi pilar inovasi kesehatan dalam mendeteksi diabetes secara dini.
Kita memang belum sampai pada tahap di mana spirulina benar-benar digunakan sebagai alat diagnostik. Namun, setiap terobosan besar selalu bermula dari sebuah riset kecil yang dianggap tidak mungkin. Jika kita mampu memberi perhatian serius pada riset-riset semacam ini, bukan tidak mungkin Indonesia dapat menjadi bagian dari lahirnya teknologi deteksi diabetes masa depan.
Di tengah meningkatnya ancaman diabetes, harapan baru selalu dibutuhkan. Dan siapa sangka, harapan itu bisa datang dari sesuatu yang sederhana—spirulina, si mikroalga kecil berwarna hijau kebiruan, yang diam-diam menyimpan kekuatan besar untuk kesehatan manusia.
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Biologi Universitas Gadjah Mada dan Dosen Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Samudra













