Scroll Untuk Membaca

Opini

Potret Demokrasi: Jalan Bernurani Di Tengah Polarisasi

Potret Demokrasi: Jalan Bernurani Di Tengah Polarisasi
Kecil Besar
14px

Oleh Dr. H. Ikhsan Lubis, S.H., SpN., M.Kn

“Amarah hanya memecah, tetapi akal dan nurani menyatukan; perjuangan sejati lahir dari kemanusiaan yang beradab, bertumbuh dalam persatuan, dimatangkan oleh musyawarah bijak, dan menemukan makna sejati ketika berlandaskan Ketuhanan, hingga keadilan pun hadir bagi semua.”

Kalimat itu bukan sekadar petikan kata mutiara, melainkan sebuah refleksi tentang arah perjalanan bangsa. Dalam era ketika tensi politik kerap meninggi, dan demonstrasi sering dipenuhi teriakan serta otot yang menegang, kita diingatkan untuk kembali ke inti: bahwa sejatinya demokrasi bukanlah soal siapa paling kuat berteriak, melainkan siapa paling bijak mendengarkan.

Amarah memang mudah menyalakan api, tetapi api hanya membakar. Nurani-lah yang mampu menumbuhkan kehidupan. Di titik ini, kita diajak bercermin: apakah bangsa ini hendak terus terjebak dalam siklus amarah kolektif, atau justru tumbuh menuju demokrasi yang bernurani?

Fenomena Amarah vs Nurani

Fenomena demonstrasi dan unjuk rasa di Indonesia dalam dua dekade terakhir sering menghadirkan paradoks. Di satu sisi, demonstrasi adalah hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945. Di sisi lain, praktiknya sering melahirkan ekses: kekerasan, kerusakan fasilitas umum, hingga korban jiwa.

Laporan KontraS mencatat, sepanjang 2023 terdapat 281 aksi unjuk rasa yang berujung bentrokan dengan aparat, dengan 42 di antaranya menimbulkan korban luka serius di kalangan demonstran maupun aparat.[^1] Media mainstream juga banyak memberitakan bagaimana sebagian aksi mahasiswa yang pada awalnya damai, berubah menjadi kerusuhan saat emosi lebih dominan daripada rasionalitas.[^2][^3]

Kecenderungan ini menunjukkan pola: amarah sering mengambil alih, menyingkirkan akal sehat dan hati nurani. Padahal, filsuf klasik Yunani, Aristoteles, sudah menegaskan bahwa manusia adalah zoon politikon—makhluk politik yang mestinya mengedepankan akal budi dalam kehidupan berbangsa.[^4]

Pertanyaannya: mengapa amarah lebih sering muncul ketimbang nurani? Jawabannya kompleks. Faktor ketidakpuasan sosial-ekonomi, ketidakadilan hukum, hingga polarisasi politik berbasis identitas turut menyuburkan kultur amarah. Survei LSI Denny JA pada 2022 menemukan bahwa 61 persen responden merasa tidak percaya bahwa aspirasi mereka dapat ditampung melalui saluran politik formal.[^5] Ketidakpercayaan ini lalu bermuara pada aksi jalanan, dengan risiko besar terseret emosi kolektif.

Namun, kita tidak boleh lupa: amarah hanyalah energi awal, bukan tujuan akhir. Bila energi itu tidak ditransformasikan melalui nurani dan akal sehat, ia hanya akan menjadi api yang menghanguskan rumah kita bersama.

Pancasila sebagai Landasan Filosofis

Dalam konteks bangsa Indonesia, jalan tengah untuk mengatasi paradoks amarah dan nurani sudah tersedia: Pancasila. Ia bukan sekadar dasar negara, melainkan juga filsafat hidup yang menuntun kita untuk memadukan rasionalitas, spiritualitas, dan solidaritas.

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengajarkan bahwa setiap tindakan sosial-politik seharusnya berakar pada kesadaran spiritual, bukan sekadar kalkulasi kekuasaan. Dalam banyak kasus, hilangnya kesadaran transendental inilah yang membuat politik mudah berubah menjadi pertarungan amarah.

Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, adalah pengingat bahwa bahkan dalam perbedaan paling tajam, martabat manusia tetap harus dijunjung tinggi. Fenomena persekusi digital yang marak di media sosial, misalnya, jelas bertentangan dengan semangat sila ini.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menegaskan pentingnya menahan diri dari godaan polarisasi. Data Setara Institute pada 2022 menunjukkan bahwa polarisasi identitas masih menjadi problem serius, terutama menjelang tahun politik.[^6] Padahal, sejarah membuktikan: persatuan selalu menjadi modal utama bangsa ini bertahan.

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, merupakan antidot terhadap politik jalanan yang penuh amarah. Musyawarah menuntut sabar, mendengar, dan memahami. Sesuatu yang jarang kita jumpai ketika politik hanya dipenuhi teriakan.

Dan akhirnya, sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menjadi tujuan sekaligus ujian: apakah demokrasi kita sekadar ritual lima tahunan, atau benar-benar menghadirkan kesejahteraan merata? Data BPS menunjukkan tingkat ketimpangan (rasio gini) Indonesia masih stagnan di angka 0,381 pada 2023.[^7] Artinya, keadilan sosial masih jauh dari cita-cita.

Pancasila, bila sungguh dihidupi, sejatinya mampu meredam amarah, menumbuhkan nurani, dan menghadirkan keadilan.

Jejak Historis Perjuangan Bangsa

Sejarah bangsa Indonesia sarat dengan teladan bagaimana nurani mengalahkan amarah. Sumpah Pemuda 1928, misalnya, lahir bukan dari amarah sempit antar kelompok, melainkan dari kesadaran nurani kolektif bahwa persatuan lebih berharga daripada perbedaan bahasa dan suku.

Perjuangan kemerdekaan 1945 juga membuktikan hal serupa. Bung Karno, dalam pidato 1 Juni 1945, menegaskan bahwa dasar negara harus berakar pada Pancasila, bukan sekadar kompromi politik pragmatis.[^8] Itu adalah pilihan nurani seorang pemimpin yang melihat jauh ke depan.

Bahkan dalam masa-masa sulit pasca-reformasi, nurani kolektif bangsa masih terlihat. Reformasi 1998 memang lahir dari amarah rakyat terhadap rezim otoriter, tetapi transisi politiknya relatif damai dibandingkan dengan banyak negara lain. Data Freedom House mencatat bahwa Indonesia masuk kategori negara “partly free” dengan tren positif pada awal 2000-an karena mampu menjaga stabilitas transisi politik.[^9]

Jejak historis ini menegaskan satu hal: bangsa ini selalu menemukan jalannya ketika nurani dikedepankan.

Jalan Menuju Demokrasi yang Bernurani

Pertanyaannya kini: bagaimana kita membangun demokrasi yang lebih bernurani? Ada beberapa langkah konkret.

Pertama, membangun pendidikan politik yang berbasis etika, bukan hanya prosedural. Pendidikan politik selama ini lebih banyak menekankan teknis pemilu, padahal yang dibutuhkan adalah internalisasi nilai kejujuran, empati, dan gotong royong.

Kedua, memperkuat institusi demokrasi agar benar-benar menjadi saluran aspirasi rakyat. Jika rakyat percaya pada parlemen, partai politik, dan sistem hukum, maka energi sosial tidak akan lagi mudah meluap menjadi amarah di jalanan.

Ketiga, membudayakan musyawarah di ruang publik digital. Polarisasi di media sosial hari ini jelas bertentangan dengan semangat sila keempat. Upaya moderasi konten, literasi digital, dan ruang dialog lintas identitas mutlak diperlukan.

Keempat, menjadikan Pancasila bukan sekadar hafalan di sekolah, melainkan pedoman dalam praktik kebijakan. Ini menuntut konsistensi negara, terutama dalam menegakkan keadilan sosial.

Akhirnya, demokrasi bernurani hanya mungkin jika setiap individu mau menahan diri, mengedepankan empati, dan mendahulukan kepentingan bersama di atas ego kelompok. Survei Indikator Politik Indonesia pada 2023 menunjukkan, 74 persen warga masih percaya demokrasi adalah sistem terbaik bagi Indonesia.[^10] Angka ini adalah modal besar, asal diikuti dengan praktik politik yang bernurani.

Penutup dan Refleksi

Kita kembali pada kata mutiara di awal: amarah hanya memecah, nurani menyatukan. Dalam konteks bangsa, amarah mungkin menjadi alarm, tetapi nurani adalah kompas. Tanpa kompas, alarm hanya menimbulkan kepanikan.

Bangsa ini didirikan atas dasar kemerdekaan yang diraih dengan pengorbanan besar, bukan dengan amarah membabi buta. Pancasila lahir dari nurani para pendiri bangsa yang memilih jalan persatuan, musyawarah, dan keadilan.

Kini, tugas kita adalah memastikan nurani tetap menjadi cahaya yang menuntun demokrasi. Sebab, tanpa nurani, demokrasi hanya akan berubah menjadi arena amarah yang melelahkan. Tetapi dengan nurani, demokrasi bisa menjadi jalan bersama menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ketua Pengwil Sumatera Utara Ikatan Notaris Indonesia

Catatan Kaki

[^1]: Laporan KontraS, Tren Kekerasan dalam Aksi Massa 2023, KontraS, 2023.
[^2]: Ini Situasi Demo Tolak Omnibus Law di 5 Kota Besar, Tempo.co, 8 Oktober 2020. (tautan)
[^3]: Malioboro Mencekam, Demonstran Tolak UU Omnibus Law Serbu DPRD DIY, Tempo.co, 8 Oktober 2020. (tautan)
[^4]: Aristoteles, Politica, terjemahan 1981.
[^5]: LSI Denny JA, Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Politik, 2022.
[^6]: SETARA Institute, Indeks Demokrasi & Intoleransi 2022, 12 Desember 2022. (tautan)
[^7]: Badan Pusat Statistik (BPS), Laporan Ketimpangan Pendapatan 2023.
[^8]: Pidato Soekarno, 1 Juni 1945, dalam Risalah BPUPKI.
[^9]: Freedom House, Freedom in the World 2001: Indonesia Profile.
[^10]: Indikator Politik Indonesia, Evaluasi Publik atas Kinerja Lembaga Penegak Hukum dan Perpajakan, 2 Juli 2023. (tautan)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE