Oleh Taufiq Abdul Rahim
Perkembangan dunia pendidikan, terutama dalam dunia pendidikan tinggi dalam era modern merupakan suatu indikator keberhasilan pemahaman, perluasan dan peningkatan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia modern.
Makanya berbagai indikator ini menjadi semakin menarik untuk menjadi diskursus akademik, keilmuan, saintifik serta berbagai implikasi kondisi ril yang mendasari bahwa, ilmu pengetahuan terus berkembang serta memberikan manfaat dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya stimulus kehidupan dengan semakin banyaknya orang yang terdidik pada taraf yang lebih tinggi sebagai ilmuan, saintis dan orang berilmu menjadikan dambaan kehidupan manusia. Demikian juga status yang dimiliki dan melekat sebagai ilmuan, garduasi dan taraf posisi pengakuan di tengah kehidupan menjadi penting. Hal ini menjadi perbincangan serta penghormatan yang luar biasa tinggi dalam kehidupan manusia modern, jika jabatan fungsional seorang ilmuan telah mencapai taraf gelar profesor, dengan asumsi masyarakat luas orang yang dalam pengetahuan serta tinggi kompetensinya ditengah berbagai persoalan keilmuan zserta kemasyarakatan.
Dalam kehidupan akademik juga tidak terlepas dari pada lingkungan kehidupan, kemanusiaan dan keadaban yang semakin tinggi. Karena itu akademik menurut Heppy El-Rais (2015), yang berhubungan dengan orang disebut akademisi dan yang berhubungan bersifat ilmiah, bersifat ilmu pengetahuan, bersifat teori anpa arti praktis yang langsung. Dengan demikian yang berhubungan dengan akademisi (Heppy El-Rais. 2015) yaitu, orang yang berpendidikan tinggi dan anggota akademisi. Karena itu, wawasan, fenomena serta kondisi akademik mesti merupakan faktor penting sebagai usaha untuk menunjang performansi dan atau prasyarat penting terhadap kinerja Pendidikan tinggi, hal ini menjadi syarat mutlak kinerja sebuah perguruan tinggi dalam suatu wahana aktivitas serta atmosfir kehidupan ril. Dengan demikian Moordiningsih dkk (2010) menyatakan, pentingnya atmosfer akademik, maka penyusunannya diharapkan dapat mendukung terciptanya situasi dan kondisi yang kondusif bagi tim-tim belajar mahasiswa di perguruan tinggi untuk menampilkan kinerja yang lebih baik dan dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.
Karenanya, atmosfir terhadap pemahaman serta komitmen seluruh civitas akademika, ini juga tentang pentingnya atmosfer akademik dalam pendidikan tinggi harus diwujudkan dan dikembangkan secara konsisten. Studi ini bertujuan untuk mengembangkan model atmosfer akademik sebagai upaya pembentukan iklim kampus yang beretika dan bermoral. Pengertian “beretika” dan “bermoral” pada intinya adalah perilaku yang menjunjung tinggi kebenaran ilmiah bagi seluruh civitas akademika ketika berinteraksi dalam kegiatan yang berkaitan dengan proses pembelajaran.
Diharapkan model yang terbentuk dapat mendukung performansi intelektual ke arah yang lebih baik. Hal mana, secara keinstitusian pendidikan tinggi menjadikan, membentuk, mendidik, meningkatkan kompetensi secara akademik seluruh civitas akademika menjadi komunitas intelektual yang handal, mumpuni, berkompetensi serta berkapasitas terhadap seluruh lingkungan kehidupan serta bermanfaat dan juga memiliki dampak atau implementasi terhadap kehidupan manusia yang sesungguhnya.
Karenanya intelektual memiliki pemahaman umum serta yang sederhana yaitu, kata “intelektual” mengacu pada kemampuan berpikir, belajar, dan memahami informasi dengan baik. Sehingga dapat dipahami intelektual dalam kesehariannya juga bisa merujuk pada orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, dan mengembangkan gagasan atau ide secara kreatif, bergengsi, bermanfaat untuk lingkungan hidup sekitarnya serta kemanusiaan dan kehidupan secara umum. M
Menurut Lih. K. Prent, J. Adisubrata dan W.J.S. Poerwadarminta (1969), adalah intelektual berarti orang yang mengetahui, memahami, mengerti, ahli dalam banyak hal dan pandai menggunakan rasio atau akal budi. Kemudian dalam bahasa sehari-hari seorang intelektual dilihat sebagai orang pintar, tahu banyak, memiliki kemampuan untuk berpikir dan menalar secara baik, melewati studi yang tinggi, bersikap ilmiah, dan semua predikat lain yang berhubungan dengan inteligensi dan karya akal; atau orang yang mampu menggunakan akal untuk memanipulasi lingkungan dan dapat berpikir abstrak (The Oxford Companion to Philosophy; Oxford: Oxford University Press, 2005).
Dalam praktik peristilahan Bahasa Indonesia sering dikonotasikan dengan istilah cendekiawan. Dalam pemahaman empiris dari sebuah wawancara yang dilakukan oleh Sylvere Lotringer, yang mana Michel Foucault mengenai kaum intelektual, mengatakan bahwa dia hampir tidak pernah bertemu atau mengenal seorang intelektual. Dia hanya mengenal penulis buku dan artikel, atau para ahli dalam bidang ilmu-ilmu tertentu seperti fisika, kimia, dan lain sebagainya. Hal ini menjadikan istilah intelektual semakin berkembang dan menjadi perhatian tertentu dalam kalangan akademis dan keilmuan.
Kemudian perdebatan serta diskursus berkaitan intelektual terus berkembang secara dinamis, selaras dengan peran serta juga aktivitas yang dilakukan ditengah kondisi serta fenomena kehidupan yang semakin luas. Kemudian mudah dipahami serta dinikmati proses impklementasi dari keilmuan intelektual itu sendiri. Makanya Paul Rabinow (1984) menyatakan bahwa, karena itu tugas seorang intelektual ialah menggunakan konsep kodrat manusia sebagai standar untuk menilai masyarakat dan menggunakan ini untuk membentuk konseptualisasi yang tepat tentang suatu tata sosial yang lebih manusiawi dan adil. Sehingga dapat dipahami bahwa intelektual berhubungan sangat erat dengan kodrat dan kehidupan kemanusiaan serta sosial kemasyarakatan dan lingkungan hidup. Dengan demikian, kehidupan intelektual merupakan sebuah kejujuran, keadilan, kedamaian serta suara bathin yang mesti disampaikan secara benar dan baik.
Ditegaskan secara esensial dalam kehdiupan oleh Michael Faucolt (1983) adalah, dengan itu orang akan merasa tidak aman dan damai, karena sikap tidak jujur itu bertentangan dengan suara batin, jujur terhadap diri sendiri inilah yang ditekankan mengenai parrhesia atau relasi seseorang dengan kebenaran yang ada dalam dirinya sendiri (rapport a soi). Sehingga intelektual yang benar dalam kehidupan, aktivitas serta perilakunya berkaitan dengan ilmu pengetahuan, keilmuan, saintis serta berjalan lurus dengan kehidupan yang baik, jujur, aman, damai ditengah kehidupan yang sesungguhnya.
Karena itu secara jelas bahwa, dalam pemahaman filosofis dalam kajian ontologis, epistimologis dan aksiologis keilmuan bahwa, sebagai sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari, kemudian secara epistimologis akal budi pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana, sehingga dikenal adanya model-model seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dengan berbagai variasinya. Dan juga secara aksiologis ilmu meliputi nilai-nilai (values) bersifat normatif memberi makna terhadap kebenaran atau kenyataan menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik-material atau sebagai conditio sine qua non wajib dipatuhi segala aktivitas, baik dalam penelitian atau menerapkan ilmu. Maka ilmu dan teknologi perlu dikaji ulang bahwa cara memperoleh dan ilmu pengetahuan mesti “bebas nilai”, dalam dinamika mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sarat akan kepentingan. Disamping adanya penemuan baru fisika kuantum mulai mempersoalkan keterlibatan pengamat menentukan pengamatannya, sangat subjektif. Sehingga seberapa jauh sifat “bebas nilai” ilmu pengetahuan melalui telaah filsafat ilmu.
Ini menjadi area pemikiran para ilmuan, terutama para profesor yang selalu bergelut mengkaji ilmu pengetahuan serta menerapkannya secara realistik terhadap kehidupan masyarakat, sosial kemasyarakatan, lingkungan hidup sehingga benar-benar bermanfaat bagi profesor profesional dikenal luas. Menerapkan ilmu pengetahuan yang dimiliki, tidak hanya gelar diatas kerta hanya bernilai materialistik, juga hanya bercokol di “Menara Gading”, hidup eksklusif dikenal hanya pintar sendiri dalam ruang lingkup yang terbatas. Dimana secara resmi dapat Surat Keputusan (SK) resmi sebagai seorang profesor atas kertas, tapi tidak pernah hadir menyelesaikan ratusan serta ribuan persoalan dambaan masyarakat yang sulit, diperlukan pemikiran secara realistik bagi kehidupan kemanusian yang jujur, adil, aman, damai serta sejahtera secara objektif.
Penulis adalah Dosen FE Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti PERC-Aceh