Scroll Untuk Membaca

Opini

Rakyat Sumut Butuh Harga Stabil, Bukan Aksi Heroik

Rakyat Sumut Butuh Harga Stabil, Bukan Aksi Heroik
Kecil Besar
14px

Oleh Elfenda Ananda

Teguran Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian kepada Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution bukan sekadar peringatan administratif, tetapi ini tamparan keras terhadap lemahnya kendali pemerintah daerah atas harga dan pasokan barang.

Dengan inflasi mencapai 5,32 persen secara tahunan (per September 2025), Sumut menjadi provinsi dengan inflasi tertinggi di Indonesia.

Angka ini bukan hanya statistik ekonomi, melainkan cerminan nyata bahwa beban hidup masyarakat semakin berat di tengah stagnasi pendapatan dan daya beli rendah.

Sekaligus menunjukkan bahwa Gubernur Bobby Nasution abai dalam memastikan inflasi Sumut terkendali. Kalah dengan Provinsi Papua Selatan yang skornya 3,42 persen.

Ironisnya, Sumut memiliki potensi logistik dan sumber pangan yang besar dari pelabuhan, jalur distribusi, hingga produksi pertanian yang cukup.

Jika daerah sebesar Sumut masih gagal menekan inflasi, maka masalahnya jelas terletak pada gagalnya seorang gubernur dalam manajemen program kegiatan ekonominya, sehingga harga yang buruk dan lemahnya koordinasi antar instansi.

Pemerintah Provinsi Sumut lebih sibuk dengan aksi heroik menyetop kendaraan BL di Kabupaten Langkat, rapat dan pencitraan, ketimbang aksi nyata menstabilkan harga pangan di pasar-pasar rakyat.

Inflasi tinggi ini juga menguak ketimpangan antara retorika pembangunan dan kenyataan ekonomi rakyat.

Saat pemerintah provinsi berbicara soal peningkatan PAD, ekonomi digital, investasi dan proyek besar, warga Sumut justru berjuang menghadapi kenaikan harga beras, cabai merah, telur dan kebutuhan pokok lainnya.

Rakyat tidak butuh aksi heroik menyetop kendaraan BL dengan alasan sosialisasi dalam rangka peningkatan PAD dan kegiatan seremoni lainnya, rakyat butuh harga yang stabil dan daya beli yang terjaga.

Sudah saatnya Pemprov Sumut memperkuat Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), membuka data harga secara transparan, dan memastikan kerja lapangan yang konkret.

Teguran Kemendagri seharusnya menjadi momentum evaluasi total, bukan sekadar formalitas. Inflasi bukan hanya soal ekonomi, tapi soal kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah menjaga kesejahteraan warganya.

Berkaca pada keuangan daerah dari APBD Murni 2025 ke Perubahan APBD Sumut 2025 pada belanja fungsi memperlihatkan penyesuaian fiskal, tetapi arah belanja masih berat ke administrasi, ringan ke kesejahteraan rakyat.

Kebijakan belanja fungsi ini berisiko menekan pertumbuhan ekonomi daerah dan memperdalam beban sosial di tengah kenaikan harga dan inflasi tinggi.

Perbandingan APBD dan RPAPBD 2025 menunjukkan penurunan total belanja daerah dari Rp13,29 triliun menjadi Rp12,50 triliun atau turun sekitar 5,97%.

Meskipun demikian, komposisi belanja memperlihatkan pergeseran prioritas antar fungsi, yang menggambarkan arah kebijakan fiskal daerah.

  1. Pelayanan Umum tetap mendominasi struktur APBD dengan porsi terbesar, naik dari 70,42% menjadi 73,69%, menandakan fokus utama pada aparatur dan administrasi pemerintahan.
  2. Belanja Ekonomi justru turun signifikan dari 13,65% menjadi 8,85%, mengindikasikan melemahnya dukungan terhadap sektor produktif dan pemulihan ekonomi daerah.
  3. Pendidikan dan Kesehatan mengalami sedikit peningkatan proporsional (pendidikan 10,89% → 12,33%; kesehatan 3,38% → 3,70%), menunjukkan komitmen moderat pada pelayanan publik dasar.
  4. Lingkungan Hidup dan Perumahan menurun drastis, masing-masing dari 0,12% → 0,08% dan 0,94% → 0,70%, menandakan rendahnya prioritas pada infrastruktur hijau dan kualitas permukiman.
  5. Pariwisata dan Budaya meningkat dari 0,14% menjadi 0,21%, tetapi kontribusinya masih kecil terhadap total belanja daerah.

Struktur belanja masih tidak proporsional terhadap kebutuhan ekonomi dan sosial daerah. Dominasi belanja “pelayanan umum” menandakan birokrasi masih menjadi beban terbesar APBD, bukan instrumen produktif pembangunan.

Penurunan tajam pada fungsi ekonomi dan lingkungan menunjukkan kurangnya orientasi pada keberlanjutan dan pertumbuhan inklusif.

Dengan kondisi inflasi tertinggi nasional dan ketimpangan sosial yang melebar, arah belanja ini tidak sepenuhnya responsif terhadap tekanan ekonomi masyarakat.

Sudah seharusnya pemprovsu melakukan langkah langkah untuk memperkuat Fungsi Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), Memperkuat Cadangan Pangan dan Stabilisasi Distribusi, Perkuat Pengawasan Harga dan Informasi Pasar, Mendorong Produksi Lokal dan Efisiensi Biaya Hidup dan Perkuat Koordinasi Politik Anggaran.

Jangan sampai rakyat menjadi korban kegagalan Pemprovsu terutama dalam arah dan kebijakan politik anggaran utamanya PAPBD tahun 2025.

Penulis adalah Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumatera Utara.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE