Scroll Untuk Membaca

Opini

Razia Bobby: Kebijakan Premanisme Politik yang Mengancam Persatuan

Razia Bobby: Kebijakan Premanisme Politik yang Mengancam Persatuan
Kecil Besar
14px

Oleh: Ibnu Sakdan Abubakar

Razia yang dilakukan atas instruksi Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, terhadap kendaraan berplat BK dari Aceh bukanlah sekadar tindakan teknis lalu lintas. Ini adalah kebijakan politis yang berbahaya, diskriminatif, dan mengandung nuansa kolonial.

Mengapa saya sebut kolonial? Karena kebijakan ini secara terang-terangan memperlakukan Aceh seakan bukan bagian dari republik. Warga Aceh diperlakukan sebagai orang asing di tanah sendiri, dibatasi geraknya, diawasi, dan dipermalukan hanya karena pelat kendaraannya. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip konstitusional: semua warga negara berhak bebas bergerak dan diperlakukan setara di hadapan hukum.

Razia Bobby adalah preseden gelap. Jika ini dibiarkan, maka ke depan kepala daerah lain bisa saja meniru dengan membuat aturan diskriminatif berbasis asal-usul wilayah. Indonesia akan tercerai-berai bukan karena perbedaan etnis atau agama, tetapi karena politik sempit dan kebijakan represif yang lahir dari ketidakdewasaan seorang pemimpin daerah.

Bobby harus tahu: Aceh bukan daerah yang bisa diperlakukan dengan semena-mena. Sejarah Aceh adalah sejarah perlawanan terhadap ketidakadilan. Setiap upaya mendiskriminasi, cepat atau lambat akan dibalas dengan perlawanan. Jangan salahkan rakyat Aceh bila kelak muncul desakan untuk menutup jalur ekonomi dengan Sumut dan menghidupkan kembali pelabuhan Aceh sebagai jalur alternatif.

Sebagai aktivis masyarakat sipil, saya menilai razia diskriminatif ini adalah cermin kegagalan kepemimpinan. Gubernur seharusnya merawat integrasi sosial, bukan merusaknya. Jika Bobby masih ngotot dengan kebijakan premanisme politik ini, maka yang terancam bukan hanya hubungan Aceh–Sumut, melainkan juga keutuhan republik.

Pemerintah pusat tidak boleh diam. Diam berarti ikut mengamini diskriminasi. Dan jika Jakarta memilih bungkam, maka rakyat Aceh akan membaca itu sebagai pengkhianatan.

Indonesia terlalu mahal untuk dipecah oleh kebijakan sempit seorang gubernur yang lupa bahwa ia hanyalah pejabat publik, bukan penguasa wilayah.

Penulis adalah Direktur Eksekutif PAJAN (Peace And Justice for Action)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE