Refleksi Pilkada Serentak 2024

  • Bagikan
Refleksi Pilkada Serentak 2024

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Di negeri itu, kemiskinan dan kekayaan bukan hanya masalah angka atau aset. Keduanya adalah jerat pembelenggu jiwa. Precariat dipenjara oleh kebutuhan dan kelangkaan. Orang kaya dipenjara oleh paranoia dan keinginan mempertahankan dominasi

Pilkada legitimate pasti aman, damai dan sejuk. Jangan dibalik. Masyarakat tidak sedang menghadapi perang yang memerlukan kehadiran senjata atau imajinasi kuat tentang kekerasan yang meski bermandat harus dipertanyakan sah atau tidak. Jika legitimate, unsur lain pasti menyusul. Tak legitimate, ukuran aman, damai dan sejuk pasti dimanipulasi. Tetapi Pilkada legitimate itu serius sekaligus mustahil. Mengapa? Kondisi struktural dan kultural sebuah negeri harus diperiksa cermat untuk itu.

Di sebuah negeri jauh yang precariatnya (kelas sosial yang rentan secara ekonomi dan sosial, dengan ketidakstabilan pekerjaan, pendapatan, dan kondisi hidup: Guy Standing, 2011) berjumlah sangat besar, yang dihimpit ketidakadilan, kemiskinan tak lagi hanya soal kurangnya harta, tetapi sebuah rantai gaib. Nasib diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Setiap pagi, precariat bangun dengan satu tujuan: bertahan hidup di tengah kondisi yang terus-menerus menggerus.

Anak-anak berjalan jauh melewati jalan berlumpur menuju sekolah dengan fasilitas minim bukan pengalaman langka. Orang tua mereka, jika beruntung, bekerja pada sektor informal dengan upah tak cukup untuk mengisi perut keluarganya.

Sistem seharusnya menjadi pelindung, namun kerap justru menjadi predator perampas kesempatan. Perampasan tanah untuk proyek besar memaksa petani kehilangan mata pencaharian. Ketika mereka berusaha mencari penghidupan alternatif, aturan-aturan kaku dan diskriminatif membatasi langkah.

Setiap hari adalah pertarungan melawan kelaparan, ketidakpastian, dan pandangan sinis dari masyarakat yang mengabaikan perjuangan mereka. Mereka yang mencoba melawan dihukum atas keberaniannya, seolah-olah keinginan untuk hidup lebih baik adalah sebuah kejahatan.

Ketakmampuan memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan mengabadikan siklus ketidakberdayaan tak terpatahkan. Ketika anak-anak tumbuh besar dalam kemiskinan, mereka mewarisi beban yang sama: kurangnya akses, peluang, dan kebebasan. Lingkaran abadi ini terus berputar menjamin perpanjangan penderitaan yang mustahil diakhiri.

Pada sisi lain, kehidupan yang sama ironisnya berlangsung. Rumah-rumah megah berdiri di balik tembok-tembok tinggi berlapis kawat berduri yang terkadang dialiri arus listrik seolah dalam suasana perang. Kamera pengawas berputar tanpa henti, merekam setiap gerak mencurigakan. Di luar gerbang, penjaga-penjaga berseragam berdiri tegak, matanya waspada. Namun, yang mereka awasi bukan hanya ancaman dari luar, melainkan juga rasa takut yang menelan majikan.

Kaum kaya, meski memiliki segalanya, tidak bebas dari pemenjaraan. Kekayaan yang seharusnya menjadi sumber kenyamanan, justru menjadi beban berat yang terus-menerus menekan. Ketakutan akan kehilangan status dan kekuasaan mendorong untuk membangun benteng-benteng perlindungan isolatif dari dunia luar. Mereka terperangkap rasa curiga terhadap semua orang, termasuk para penjaga mereka sendiri, yang ironisnya berasal dari kalangan precariat yang mereka takuti.

Ketergantungan pada teknologi keamanan dan kebijakan yang melindungi hak istimewa mereka semakin memperdalam jurang pemisah. Kebijakan-kebijakan yang mereka rekomendasikan untuk mempertahankan status quo menjadi rantai yang mengikat dalam paranoia. Mereka tahu, dalam diam, kenyamanan dibangun di atas ketidakadilan yang suatu hari bisa meledak menjadi amarah kolektif.

Investasi besar-besaran dalam keamanan bukan solusi; hanya menunda rasa tidak aman yang terus menghantui secara kumulatif. Dalam benteng, mereka kehilangan sesuatu yang lebih penting daripada materi: hubungan manusia yang tulus, kepercayaan, dan rasa tenang. Keterpenjaraan mereka adalah isolasi sosial ciptaan sistem yang mereka berperan penting merancangnya.

Di negeri itu, kemiskinan dan kekayaan bukan hanya masalah angka atau aset. Keduanya adalah jerat pembelenggu jiwa. Precariat dipenjara oleh kebutuhan dan kelangkaan. Orang kaya dipenjara oleh paranoia dan keinginan mempertahankan dominasi. Dalam realitas penuh ironi ini, semua orang menjadi korban, terperangkap dalam dinamika sosial yang mendukung ketimpangan dan ketidakadilan.

Aparat birokrasi seluruhnya ikut terpenjara sekaligus memenjarakan diri. Reward remeh temeh hanya memuaskan sementara karena sadar bahwa di atas segalanya adu ketidakadilanlah yang menjadi faktor.

Ketimpangan di negeri itu tidak hanya dibiarkan tumbuh, tetapi juga dinormalisasi melalui penipuan narasi. Meritokrasi palsu menjadi senjata utama, menyalahkan kemiskinan pada individu yang dianggap tidak berusaha cukup keras.

“Kalau mau sukses, bekerja lebih keras.” Namun, di balik pesan yang diulang-ulang itu, tersembunyi kenyataan. Kerja keras tidak pernah cukup dan sama sekali bukan faktor untuk melawan sistem yang secara struktural menguntungkan segelintir orang.

Narasi budaya ini membenarkan kekayaan sebagai hasil dari kerja keras dan kecerdasan semata. Keberhasilan dipandang sebagai bukti moralitas, sedangkan kegagalan menjadi bukti rendah karakter. Ilusi ini menciptakan pembenaran bahwa kesenjangan adalah konsekuensi alami, bukan hasil dari sistem yang dirancang untuk mempertahankannya. Narasi ini memaksa ketimpangan tidak hanya diterima, tetapi harus dianggap wajar.

Ketimpangan terpelihara oleh institusi dan kebijakan yang dirancang mendukung oligarki. Institusi pemerintah dan ekonomi seharusnya melayani seluruh rakyat. Malah sering menjadi alat mempertahankan kekuasaan dan kekayaan. Kebijakan yang memprioritaskan investasi besar-besaran pada sektor tertentu mengorbankan hak-hak rakyat kecil, seperti perampasan lahan tanpa kompensasi yang adil, tak lain kecuali proses pemiskinan sistematis.

Sistem hukum seharusnya menjadi pilar keadilan. Justru kerap meminggirkan kaum precariat. Hukum tajam ke bawah. Tumpul ke atas. Ketika berjuang menuntut hak, precariat dihadapkan pada hukum yang mengkriminalisasi aktivitas bertahan hidup. Pelanggaran elit berakhir tanpa konsekuensi yang berarti. Hukum bukan hanya gagal fungsi menjadi alat pembebasan, tetapi justru memperkuat struktur ketidakadilan.

Di atas semua itu, politik pemenjaraan dijaga ketat oleh dominasi ideologi penghalang masyarakat mengembangkan kesadaran kritis. Narasi dominan membungkus kenyataan dengan lapisan-lapisan ilusi yang membuat masyarakat menerima ketidakadilan sebagai sesuatu yang alami. Hegemoni budaya tidak hanya muncul dari pendidikan dan para operator teknis tertinggi di sana, apa pun nama jabatannya, tetapi juga dari media massa melalui pembentukan opini publik.

Media sangat ampuh mempertahankan status quo. Berita dan hiburan lebih menyoroti kisah sukses individu “pendobrak kemiskinan” daripada mewartakan akar masalah struktural. Representasi kaum precariat dalam media juga penuh stereotip negatif, menggambarkan mereka sebagai malas atau tidak kompeten, sedangkan kaum kaya diglorifikasi jadi panutan. Media tak hanya mengukuhkan narasi yang mempertahankan ketimpangan, tetapi juga menyesatkan peta solusi.

Melalui normalisasi ketimpangan, penguatan struktur penindas, dan hegemoni budaya, politik pemenjaraan ini menjadi sistem yang sangat sulit ditembus. Ketidakadilan terus direproduksi, peluang perubahan tersumbat narasi dan kebijakan yang mempertahankan status quo. Masyarakat terjebak dalam mekanisme yang dirancang untuk mengunci di tempatnya masing-masing.

Antonio Gramsci (1971) bilang kekuasaan tidak hanya dijaga melalui dominasi fisik, tetapi juga melalui hegemoni: kontrol atas ideologi yang diterima masyarakat sebagai “kenyataan alami.” Baginya, peran intelektual sangat penting membongkar narasi dominan yang mendukung ketidakadilan. Intelektual tidak selalu identik dengan akademisi. Ukurannya siapa pun yang mampu memengaruhi cara orang berpikir dan bertindak.

Mereka yang memahami struktur ketimpangan harus bertindak sebagai “intelektual organik,” pemikir yang terhubung dengan perjuangan kelompok tertindas. Tugasnya membangun kesadaran kritis. Menawarkan alternatif cara berpikir untuk mengguncang dominasi ideologi mapan. Gramsci menekankan pentingnya tindakan kolektif melalui koalisi lintas kelompok sosial. Ia percaya perubahan mendalam hanya mungkin terjadi jika berbagai kelompok yang memiliki kepentingan Bersama (kaum pekerja, kelas menengah progresif, dan bahkan segmen tertentu dari elit) bersatu melawan struktur menindas.

Edward Said berkata, narasi dominan sering kali digunakan melegitimasi ketidakadilan, baik di tingkat lokal maupun global. Perspektif ini relevan untuk konteks domestik, yang di dalamnya narasi dominan tentang kemiskinan, kesuksesan, dan status sosial digunakan memperkuat struktur menindas.

Said tahu pendidikan (formal, informal dan non formal) harus membebaskan pikiran dari narasi-narasi yang memperkuat ketidaksetaraan. Harus dirancang kritis untuk membantu individu memahami dan menantang struktur kekuasaan.

Pendidikan ideal adalah upaya memungkinkan masyarakat melihat kenyataan dengan jernih dan membangun solidaritas melawan ketidakadilan. Bukan geliat aktor elit yang sambil “menyelam minum kopi panas” dalam persandiwaraan pengakumulasian harta dan kekuasaan.

Gayatri Spivak menggugat ide representasi dan mengajukan pertanyaan mendasar dalam esainya Can the Subaltern Speak?: apakah kelompok tertindas benar-benar bisa menyuarakan pengalaman mereka sendiri dalam sistem yang dikuasai oleh elit? Kelompok subaltern terbungkam bukan karena mereka tidak memiliki suara, tetapi karena struktur kekuasaan tidak memberi ruang untuk mendengarkan mereka.

Spivak mengingatkan, upaya “mewakili” kelompok tertindas sering kali memperburuk masalah jika dilakukan tanpa refleksi kritis. Ia menyerukan penciptaan ruang dialog yang memungkinkan subaltern berbicara dengan suara autentik sendiri. Ini membutuhkan peran intelektual dan aktivis yang tidak hanya berbicara atas nama, tetapi juga mendampingi subaltern menyuarakan pengalaman secara langsung.

Ketiga pemikir ini memberikan peta jalan melawan ketimpangan: melalui kesadaran, solidaritas, dan penciptaan ruang untuk suara autentik, membangun gerakan sosial inklusif dan berkomitmen perubahan struktural mendalam.

Tahukah Gramsci, Said dan Spivak cara membuat Pilkada legitimate dan berintegritas? Mungkin mereka akan bilang: “Negeri kalian memiliki berapa orang inteletual publik dan seberapa rontoknya mental di negeri kalian itu akibat masalah struktural yang menahun?”

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Refleksi Pilkada Serentak 2024

Refleksi Pilkada Serentak 2024

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *