Oleh Taufiq Abdul Rahim
Dalam kajian dunia politik, reformasi merupakan suatu diksi yang sangat akrab disuarakan oleh rakyat sehari-hari.
Maka reformasi bermakna sebagai perubahan drastis untuk perbaikan di bidang sosial, politik, atau ekonomi, berasal dari kata “reform” yang artinya membentuk kembali. Hal ini menjadi semakin serius dipahami bahwa, dengan melakukan reformasi kondisi kehidupan berubah dalam segala bidang kehidupan, dari kondisi yang tidak baik menjadi lebih baik. Selanjutnya secara empirik di Indonesia, populernya reformasi adalah aktivitas gerakan perlawanan rakyat, aktivis pegiat sosial kemasyarakatan serta seluruh elemen rakyat terhadap kondisi serta fenomena kekuasaan politik, terhadap sistem pemerintahan absolut dan otoriatrianisme kekuasaan politik yang sentralistik. Sehingga peristiwa gerakan sosial-politik pada tahun 1998 dilaksanakan untuk mengganti sistem otoriter yang lama berkuasa dengan system reformasi yang lebih baik, seperti memperbaiki tata kelola pemerintahan yang otoriter, korupsi, dan mengupayakan keadilan, kebebasan, serta demokrasi.
Kemudian secara harfiah, ini bermakna susunan kembali atau membentuk Kembali kondisi menjadi lebih baik. Demikian juga secara umum dipahami sebagai perubahan yang cepat dan mendasar untuk memperbaiki sesuatu yang dianggap salah atau tidak adil, juga merujuk kepada aturan dan ketentuan serta pemahaman dan kesepakatan bersama suatu bangsa bersama. Sehingga secara realitas berlaku gerakan perlawanan rakyat terhadap deminasi serta diskriminasi kekuasaan politik untuk, selanjutnya membawa perubahan pada masa kekuasaan politik rezim Orde Baru dan atau sebelumnya yang sangat otoriter, menjadikannya berfokus pada perbaikan sistem politik, ekonomi, hukum, dan sosial serta seluruh dimensi kehidupan rakyat Indonesia menjadi lebih baik, juga demokratis.
Makanya reformasi merupakan proses upaya sistematis, terpadu, dan komprehensif, ditujukan untuk merealisasikan tata pemerintahan yang baik (Good Governance). Sehingga menurut Sedarmayanti (2010) yaitu, political will pemerintah yang berkuasa dapat dijadikan tolok ukur meninjau tingkat keseriusan dalam menjalankan reformasi birokrasi. Secara prinsipil adalah, konteks komprehensif berlakunya sinkronisasi kehidupan politik pemnerintahan, diperlukan sistem ini memungkinkan terjadinya mekanisme penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif dan efisien dengan sinergi konstruktif diantara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, hal sangat mendasar aktivitas kehidupan sosial kemasyarakatan serta kemanusiaan yaitu kebutuhan landasan manusia adalah, hak azasi manusia (HAM), di samping itu reformasi berkaitan dengan transformasi kehidupan kemanusiaan yang sesungguhnya. Karena itu, adanya reformasi mampu merubah kehidupan manusia lebih baik yang memiliki harkat dan martabat yang dijunjung tinggi oleh pemerintah serta seluruh perangkat pemerintahan yang mengelola kehidupan politik kenegaraan yang menjaga legitiminasi negara berasal dari kekuasaan kedaulatan rakyat. Maka melalui mandat kekuasaan politik yang sebenarnya mampu melakukan perubahan kehidupan serta transformasi kehidupan yang lebih baik sesungguhnya.
Pada dasarnya, menurut Gibson (2013), dalam sistem politik disebuah negara, komponen-komponen yang diatur meliputi; rakyat dalam negara tersebut, orang-orang yang menduduki posisi di pemerintahan, proses pemilihan pejabat pemerintahan, struktur pemerintahan, kebijakan publik, pusat kekuasaan dan desentralisasi kekuasaan kepada daerah. Segala permasalahan disampaikan B.F. Skinner (1948) menjelaskan, bahwa manusia terbatas dalam berhubungan dengan lingkungan dan sesamanya melalui kesatuan, dalam menangkap setiap stimuli yang sifatnya memberi data untuk menjelaskan suatu perilaku manusia. Sehingga dalam praktik politik pemerintah secara kenegaraan, menurut Hikmah (2017) yaitu, manifestasi kekuasaan itu harus digunakan untuk memerjuangkan pemberdayaan rakyat (society empowerment) agar mampu menyelesaikan persoalan hidupnya dengan lebih maslahah. Maka dipertegas oleh Brudeseth (2015) menyatakan, kesejahteraan sebagai kualitas kepuasan hidup yang bertujuan untuk mengukur posisi anggota masyarakat dalam membangun keseimbangan hidup mencakup antara lain; a. kesejahteraan materi; b. kesejahteraan bermasyarakat; c. kesejahteraan emosi; dan d. keamanan.
Karena itu, dalam pengelolaan pemerintahan dan kenegaraan, reformasi birokrasi, bukan hanya kepada pemimpin, elite serta penguasa politiknya, tetapi juga perangkat pembantu dalam pemerintahan yang mengelola organisasi secara tata-negara, dikehendaki reformasi secara total. Namun demikian ini menjadi persoalan penting, keterlibatan berbagai individu, orang, elite pimpin dan kekuasaan yang terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan yang otoritarian, pelanggaran HAM kemudian terlibat dalam kekuasaan politik, pembantu pemeritahan kekuasaan, menteri serta lembaganya. Maka menurut Blau dan Meyer (2000: 4) menyatakan, tipe organisasi yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan cara mengkoordinasikan pekerjaan banyak orang secara sistematis disebut birokrasi. Secara kasat mata serta implementasi mengelola pemerintahan, disamping hal yang prinsipil pelanggaran HAM berat dan lain sebagainya, jika sudah abused of power menguasai segala sumber ekonomi dan daya alam secara semena-mena untuk berkuasa dan menumpuk kekayaan, baik individu, kelompok dan partai politiknya. Ini seringkali menimbulkan persoalan pelanggaran HAM, baik ringan maupun berat serta perilaku diskriminatif dan menjajah demi menguasai sumber daya alam, juga ekonomi secara brutal. Dalam kekuasaan politik hubungan dengan adanya bantuan aparatur negara diartikan sebagai keseluruhan lembaga pemerintahan negara yang meliputi aparatur kenegaraan dan aparatur pemerintahan. Kemudian juga, sumber daya manusia aparatur negara yang meliputi pejabat negara dan pegawai negeri, seringkali memanfaatkan kekuasaan politik elite pemimpinnya.
Dipertegas Blau dan Meyer (2000:4) yaitu, pihak lain ada pula pandangan yang bersifat negatif, birokrasi seringkali digunakan sebagai sinonim inefisiensi, atau diidentikkan dengan berbagai tindakan-tindakan negatif seperti penyelewengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), ini merupakan sumber utama munculnya ekonomi biaya tinggi (high-cost economy) dan sebagainya. Kemudian juga diikuti dengan perilaku politik kekuasaan yang berlebihan serta otoriter dalam mengatur kebijakan pemerintah dari pusat sampai ke daerah kekuasaan politiknya. Makanya jika adanya semangat reformasi birokrasi kembali dipimpin, dikelola serta ikut melibatkan para pelanggar HAM, orang-orang yang melakukan penyelewengan, mencuri, merampok, melakukan praktik korupsi dan terlibat penyelewengan merugikan kehidupan rakyat semakin sulit susah, miskin dan terdiskriminasi. Maka pemerintahan melakukan reformasi daur ulang dengan para pemimpin, elite, para menteri, pemimpin negara serta para birokrat jabatan tinggi, maka akan apat dinyatakan reformasi gagal total dan mengkhianati mandat politik kekuasaan serta kedaulatan rakyat.
Dengan demikian, pemahaman daur ulang adalah, menggunakan sesuatu, benda dan atau orang pada suatu masa lalu. Dalam terminologi benda serta kimia, yaitu pemrosesan kembali bahan yang pernah dipakai, diumpamakan mendapatkan produk baru. Namun demikian naifnya praktik politik kekuasaan elite pemerintahan serta birokrasi pemerintah, ternyata praktik daur ulang lembaga tinggi. Elite kuasa tersandera politik adanya dugaan kesalahan, penyelewengan pada saat terlibat pada praktik keuasaan masa lalu dan atau bahkan terlibat praktik pelanggaran HAM. Maka praktik daur ulang kekuasaan politik sangat mengecewakan rakyat, bahkan sebagai pengkhianatan terhadap mandat politik kekuasaan dari rakyat. Bahkan seolah-olah berani menanggung beban kesalahan elite pemimpin, dengan kesalahan masa lalu saat berkuasa, ini juga memperkuat asumsi rakyat diduga ikut berkasus dengan berbagai penyelewengan, diskriminatif bahkan terlibat KKN. Dengan demikian, cita-cita politik rakyat untuk mendapat perubahan kehidupan serta keinginan untuk hidup makmur dan sejahtera, akan menjadikan kehidupan lebih baik reformis, itu “jauh panggang dari api”.
Penulis adalah Dosen FE/Pasca Sarjana Unmuha dan Peneliti Senior PERC-Aceh












