Oleh Farid Wajdi
Tinta keputusan presiden belum dingin ketika publik dihadapkan pada istilah yang tampak sederhana namun sarat makna: rehabilitasi. Instrumen ini, beserta amnesti dan abolisi, lahir sebagai pengecualian untuk menyelesaikan konflik politik, memberi ruang rekonsiliasi, atau memperbaiki kesalahan prosedural dalam proses hukum.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Realitas di lapangan menunjukkan arah berbeda. Terdakwa korupsi yang telah divonis bersalah memperoleh status “bersih” melalui mekanisme politik. Hukum, seharusnya menjadi penjaga keadilan, berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Kasus mantan pejabat BUMN memperlihatkan bagaimana hukum bisa diperalat untuk meredam kritik dan menormalkan elite. Instrumen yang semestinya jarang diterapkan kini menjadi jalan keluar bagi mereka yang memiliki akses politik.
Publik menyaksikan dualitas hukum: keras untuk rakyat biasa, lembut bagi elite. Ketimpangan ini menimbulkan kegelisahan serius.
Zainal Arifin Mochtar, pakar tata hukum Universitas Gadjah Mada, menegaskan amnesti dan abolisi lebih banyak mencerminkan bahasa politik daripada hukum (Mochtar, 2025).
Fakta menunjukkan pemberian amnesti dalam kasus korupsi elite mengaburkan tujuan instrumen ini. Proses yudisial yang panjang tampak sia-sia ketika keputusan politik mampu mengubah status hukum seseorang.
Pemerintahan dan elite terlihat memiliki pintu belakang untuk mempengaruhi konsekuensi hukum, sementara publik menanggung efek moral dan sosial dari ketimpangan perlakuan.
Feri Amsari, akademisi Universitas Andalas, menekankan amnesti dan abolisi dalam kasus korupsi menciptakan negosiasi politik yang merugikan publik dan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi hukum (Amsari, 2025).
Hukuman pidana tidak lagi menimbulkan efek jera. Korupsi kehilangan stigma sosial. Hukum, yang seharusnya menjadi pilar deterrence, melemah. Koruptor melihat peluang untuk lolos dari konsekuensi dengan mengakses jalur politik atau elite yang berpengaruh.
Riset normatif Siti Hidayah dan Aris Setyo Nugroho menunjukkan intervensi politik dalam ranah hukum menurunkan konsistensi penegakan hukum dan melemahkan keadilan prosedural (Hidayah & Nugroho, 2025).
Efek jera hilang ketika pengadilan telah menetapkan putusan, tetapi keputusan politik mampu membatalkan dampak pidana.
Kepercayaan publik terhadap hukum terguncang. Publik menyaksikan hukum tidak berlaku sama untuk semua pihak, memperkuat persepsi adanya dua kelas keadilan.
Zaenur Rohman, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM, menyatakan penggunaan amnesti dan abolisi harus sangat terbatas. Instrumen luar biasa ini bukan jalan keluar rutin bagi kasus korupsi elite (Rohman, 2025).
Pengalaman beberapa dekade terakhir menunjukkan pemberian amnesti dan rehabilitasi kepada elite menimbulkan preseden berbahaya. Publik belajar hukum bisa dinegosiasikan, menggerus integritas moral dan sosial dari proses hukum.
Reformasi Peradilan Mendesak
Para pakar menekankan perlunya transparansi penuh dan evaluasi independen setiap keputusan amnesti atau rehabilitasi.
Proses hukum perlu melibatkan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga independen untuk mengawasi dan menilai alasan penerapan instrumen luar biasa ini.
Publik berhak mengakses dasar hukum, pertimbangan administratif, dan evaluasi yuridis setiap kasus. Tanpa mekanisme ini, hukum berubah menjadi alat kompromi politik dan legitimasi moral bangsa terkikis.
Budaya hukum publik juga harus diperkuat. Publik harus memahami amnesti, abolisi, dan rehabilitasi bukan jalan bebas bagi pelaku elite.
Pemahaman ini membangun kesadaran sosial hukum tidak tunduk pada kekuasaan politik. Pendidikan hukum publik, kampanye transparansi, dan pengawasan sipil menjadi elemen penting untuk memastikan hukum tetap menjadi pilar keadilan, bukan instrumen fleksibel bagi elite.
Reformasi institusi peradilan harus dipercepat. Independensi hakim dan jaksa harus dijamin. Intervensi politik harus dicegah.
Mekanisme audit internal dijalankan secara rutin. Perlindungan bagi whistleblower dan pihak yang menjadi korban kriminalisasi politik memperkuat integritas sistem hukum.
Keputusan rehabilitasi dan amnesti harus berdasar fakta yuridis dan bukti terverifikasi, bukan pertimbangan politik atau tekanan elite.
Kasus mantan pejabat BUMN dan pola amnesti/abolisi selama beberapa dekade menunjukkan rapuhnya supremasi hukum ketika hukum diperalat untuk legitimasi kekuasaan.
Publik menyaksikan peradilan yang tampak adil di atas kertas, tetapi menyisakan luka moral karena ketidaksetaraan perlakuan. Hukum kehilangan kredibilitas, efek jera melemah, dan ketimpangan sosial tetap ada.
Publik membutuhkan hukum yang adil, konsisten, dan merata. Instrumen luar biasa seperti rehabilitasi, amnesti, dan abolisi harus tetap menjadi pengecualian, bukan norma.
Setiap keputusan harus jelas dasar hukum, transparan alasan, dan dapat diawasi publik. Hukum harus kembali menjadi pilar moral dan sosial bangsa, bukan instrumen kompromi politik atau jalan keluar bagi elite yang berkuasa.
Pertanyaan muncul menyentuh inti negara hukum: hukum mampu menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, ataukah hukum hanya alat legitimasi kekuasaan yang melindungi elite?
Jawaban menentukan kualitas demokrasi dan moral bangsa, membedakan negara yang memelihara keadilan atau menormalisasi impunitas.
Kasus amnesti dan rehabilitasi menegaskan hukum bukan komoditas politik. Hukum merupakan tanggung jawab moral dan konstitusional. Negara kehilangan kepercayaan publik ketika hukum bisa dinegosiasikan.
Elite mungkin menang dalam jangka pendek, tetapi bangsa menanggung kerugian moral dan sosial yang jauh lebih besar. Publik menuntut keadilan sejati, dan masa depan hukum Indonesia bergantung pada keseriusan menegakkan prinsip ini.
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU.












