Oleh Armin Nasution
INFLASI Sumatera Utara pada periode September 2025 menjadi yang tertinggi di Indonesia. Tembus 5,32 persen mengalahkan semua provinsi lain di Indonesia yang dihitung indeks harga konsumennya (IHK). Tiga provinsi di Sumatera menjadi penyumbang inflasi terbesar Indonesia yaitu Sumut, Riau dan Aceh.
Tapi yang paling penting dari angka itu adalah apa faktor penyebabnya? Secara teori memang inflasi didorong oleh cost push inflation atau yang biasa disebut dorongan biaya produksi dan satu lagi demand pull inflation atau dorongan inflasi karena permintaan. Artinya inflasi bisa didorong karena pasokan yang berkurang di pasar atau karena harga produksi tinggi, selain itu bisa juga karena permintaan konsumen yang terlalu tinggi.
Jika dilihat dari paparan yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) maka inflasi Sumut dipicu kenaikan harga subsektor makanan, minuman dan tembakau. Nilai IHK subsektor ini mengalami peningkatan dari 117,73 di Agustus menjadi 119,27 pada September 2025. IHK pada subsektor perawatan pribadi dan jasa lainnya berkontribusi dalam peningkatan inflasi. BPS mencatat nilai IHK subsektor ini meningkat 1,41 poin selama periode Agustus-September.
Kenaikan harga pada kelompok pengeluaran lainnya adalah pakaian dan alas kaki 1,11 persen, penyediaan makanan dan minuman/restoran 2,49 persen, pendidikan 2,81 persen, rekreasi, olahraga, dan budaya 1,59 persen, transportasi 0,79 persen, perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga 0,68 persen, informasi, komunikasi, dan jasa keuangan 0,35 persen, perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga 0,19 persen.
Tentu saja sebenarnya sumbangan inflasi tinggi di Sumut tak lepas dari kontribusi masing-masing daerah kabupaten/kota. Maka jika di bedah daerah pendorong utama inflasi di Sumut ini disumbang Deliserdang dengan laju 6,81 persen. Bupatinya menjelaskan inflasi yang tinggi karena harga cabai di pasar lumayan mahal. Mencapai Rp70 ribu per kg.
Jika dilihat kontribusi indeks pendorong inflasi, maka setiap daerah harus menjaga harga agar jangan sampai komoditas harian yang dikonsumsi mengalami kenaikan harga berkepanjangan. Itu mencakup harga beras, cabai, bawang, gula, minyak goreng, terigu, daging dan harga telur. Jika komoditas ini sedikit saja naik, akan lebih besar perannya meninggikan inflasi dibanding mie instan, rokok, minuman, atau juga uang sekolah. Hal ini sesuai hitungan daftar harga konsumen yang dilakukan BPS.
Tapi apa fakta menarik yang muncul dari tingginya angka inflasi Sumut? Ini yang menarik dan luar biasa. Saya coba mencermati lewat berbagai media nasional sampai lokal dan medsos. Ternyata saat pengumuman angka inflasi Sekjen Kemendagri Tomsi Tohir menegur Gubernur Sumut Bobby Nasution agar lebih intens mengendalikan inflasi, karena kenaikan harga sudah cukup tinggi. Kenaikan inflasi Sumut tinggi karena mencapai 20 persen.
Menurut saya bagian ini yang paling menarik. Gorengan media dan “hujatan” kemana-mana membuat Gubernur Sunut mendapat respon sangat negatif dari media dan netizen.
Bahkan di medsos “pembantaian” dengan komentar-komentar negatif tak berhenti. Langkah positif pengendalian inflasi yang digagasnya pun dikomentari negatif. Padahal tak selamanya informasi yang disampaikan harus dikuliti habis-habisan. Tapi itulah, netizen selalu maha benar. Kenapa kita harus cermat menanggapi fenomena inflasi ini?
Karena inflasi di Sumut yang tinggi bukan murni peran Gubsu dan Pemprov saja. Itu sebabnya di tulisan ini saya munculkan daerah mana kontributor inflasi terbesar. Karena pemerintah Provinsi Sumut ini sebenarnya secara de jure tidak punya wilayah sensus dan pencacahan inflasi yang dilakukan BPS. Semua pasar, toko ritel, responden yang diwawancarai (pencacahan) pasti berdomisili di wilayah kabupaten/kota.
Sehingga inflasi Sumut yang tinggi adalah sumbangan dari masing-masing daerah tingkat dua. Sumut itu sebenarnya hanya fungsi kordinasi untuk pengendalian inflasi. Iya gubernur punya tanggungjawab mengkoordinir daerah dan mengantisipasi kondisi di kabupaten kota yang dihitung indeks harga konsumennya agar bisa menjaga rantai pasok dan menstabilkan harga.
Tentu saja tim pengendali inflasi daerah kabupaten kota-lah yang paling faham kondisi daerah. Atau jika tim ini terus berkomunikasi dengan bupati atau walikota maka pimpinan di daerah pasti sangat faham situasinya kenapa harga di pasar bergejolak dan ini harus dipantau hari ke hari. Artinya kalaupun mau dihujat dan dikritisi, inflasi tinggi ini dosa berjamaah seluruh kabupaten kota di Sumut.
Maka ini pula yang seharusnya menjadi dorongan agar tim pengendali inflasi daerah dari tingkat provinsi sampai ke darah tingkat dua berkomunikasi dan berkoodinasi. Yang saya khawatirkan TPID ini tidak diberi peran maksimal atau kurang support dari pemeriontah kabupaten kota hingga ke level provinsi. Atau dalam arti dinomorduakan sehingga kinerjanya tidak maksimal.
Terlepas dari angka inflasi tinggi ini, saya lihat Pemprovsu sudah membuat 11 langkah antisipatif pengendalian. Secara text book, solusi jangka pendek bisa segera dijalankan. Termasuk misalnya pasar murah. Tapi pasar murah ini juga bukan obat, dia hanya pereda sakit. Karena harga sesungguhnya yang terjadi ada di pasar-pasar dan toko ritel.
Saya kira pengendalian inflasi tidak bisa dengan solusi jangka pendek saja. Tapi runut dalam jangka panjang. Itu sebabnya semua tim dan stake holder yang terlibat harus menjalankan 11 langkah antisipasi tersebut. Dengan begitu setiap terjadi kenaikan harga komodias bisa langsung dikendalikan.
Harus dilihat juga kondisi kenaikan harga yang terjadi apakah karena produksi di hulu berkurang, atau ongkos transportasi yang mahal, dan bisa juga akibat jalur distribusi tersendat karena longsor, banjir atau infrastruktur yang terhambat. Selain itu tentu mengecek ketersediaan stok sampai di pasar.
Kita faham ketika stok di pasar berkurang bisa saja karena spekulasi. Artinya ada ‘saudagar nakal’sebagai pemilik dana menahan stok, tak langsung menjual barangnya di pasar. Tunggu harga naik dulu baru dijual. Jika ini yang terjadi pada komoditas beras misalnya, bisa dipastikan inflasi akan tinggi.
Jadi mengendalikan inflasi ini pekerjaan paling berat. Karena melibatkan semua pihak dari rantai produksi sampai barang tiba di pasar dengan harga terjangkau. Bayangkan jika ada daerah, atau kepala daerah belum melek inflasi. Otomatis akan berkontribusi terhadap capaian angka inflasi Sumut. Sebanyak 11 resep yang sudah dirumuskan kita lihat efektivitasnya awal bulan depan, semoga saat BPS mengumumkan angka inflasi Oktober sudah lebih baik dari bulan lalu.