Scroll Untuk Membaca

Opini

Saatnya Anak Melek Coding & AI

Saatnya Anak Melek Coding & AI
Kecil Besar
14px

Oleh Muhammad Syawal Djamil

Pada akhirnya, pendidikan bukan sekadar soal nilai, ujian, dan mata pelajaran. Pendidikan adalah bentuk paling konkret dari harapan jangka panjang suatu bangsa

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Kemajuan zaman seringkali melaju rem. Pun demikian dengan teknologi digital; berlari begitu cepat, melintasi batas geografis, sosial, bahkan generasi. Di tengah laju itu, anak-anak Indonesia dihadapkan pada pertanyaan mendasar; akankah menjadi penumpang dalam kereta cepat peradaban digital, atau justru menjadi masinis yang mengendalikannya?

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menjawab pertanyaan itu dengan langkah yang bisa disebut sangat visioner. Melalui pengenalan mata pelajaran coding dan kecerdasan buatan (AI) di tingkat sekolah dasar mulai tahun ajaran 2025–2026, pemerintah tengah menyiapkan generasi yang tak sekadar mampu mengikuti zaman, tetapi juga ikut menciptakannya.

Langkah ini bisa dikatakan bukan sekadar penyesuaian kurikulum, melainkan reposisi arah pendidikan nasional. Kebijakan ini merupakan ikhtiar agar anak-anak Indonesia tidak hanya akrab dengan teknologi, tetapi juga memahami cara kerjanya. Agar mereka tidak semata menjadi pengguna, tetapi tumbuh menjadi pencipta dan penggerak ekosistem digital.

Penting disadari, literasi digital bukan semata soal kemampuan teknis, melainkan juga bentuk baru dari kedaulatan. Apalagi mengingat, eksistensi Indonesia di tengah arus globalisasi teknologi yang cenderung sentralistik di mana perangkat lunak, aplikasi, hingga platform pembelajaran didominasi oleh raksasa teknologi luar negeri, sudah seyogyanya Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar. Kita harus menempatkan diri dan menjadi bagian dari peta produsen ide dan teknologi untuk dunia.

Pendidikan dasar memiliki peran strategis dalam misi ini. Di level sekolah dasar, titik awal dimulainya “serangkaian aktivitas” untuk mencetak generasi yang berdaulat secara intelektual dan digital. Maka itu, melalui pembelajaran coding dan AI, bukan tidak mungkin, anak-anak Indonesia kelak menjadi pencipta solusi berbasis teknologi yang menjawab persoalan lokal: pertanian presisi, sistem informasi desa, hingga pengelolaan sumber daya alam berbasis data.

Namun semua ini tentu hanya akan menjadi wacana kosong jika tidak diiringi langkah konkret. Pelatihan bagi guru, integrasi teknologi dalam sistem belajar, pembenahan infrastruktur dasar, hingga perumusan modul pembelajaran yang kontekstual dan menyenangkan—semuanya memerlukan investasi jangka panjang dan keseriusan lintas sektor.

Kita perlu memastikan bahwa pembelajaran coding dan AI tidak menjelma menjadi beban baru bagi guru, melainkan menjadi pintu masuk pembelajaran bermakna. Karena itu, desain kurikulum yang adaptif, pelibatan komunitas lokal, dan kolaborasi dengan pelaku industri teknologi menjadi mutlak adanya. Pendidikan harus menjadi arena partisipatif, bukan sekadar ruang formalitas.

Menuju Aksi Nyata

Kita patut memberi apresiasi atas keberanian Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dalam mengambil langkah awal memperkenalkan pembelajaran coding dan kecerdasan buatan (AI) di jenjang sekolah dasar. Ini merupakan sinyal kuat bahwa arah pendidikan nasional mulai bergeser ke ranah yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman. Namun, keberanian awal ini hanyalah permulaan dari sebuah perjalanan panjang yang menuntut konsistensi, komitmen, dan kesiapan menyeluruh di semua lini pendidikan.

Keberhasilan kebijakan ini tidak cukup hanya pada tahap peluncuran. Ia akan sangat ditentukan oleh seberapa serius dan berkelanjutannya proses implementasi di lapangan. Konsistensi pelaksanaan, kualitas pelatihan bagi tenaga pengajar, keberlanjutan pendanaan, serta pengawasan yang efektif akan menjadi kunci utama agar semangat awal ini tidak redup di tengah jalan.

Beberapa pertanyaan mendasar pun masih terbuka dan menunggu jawaban nyata. Apakah semua daerah akan memperoleh akses yang setara terhadap pelatihan guru, perangkat teknologi, dan koneksi internet? Bagaimana dengan sekolah-sekolah di wilayah 3T—tertinggal, terdepan, dan terluar—yang selama ini kerap luput dari prioritas pembangunan teknologi pendidikan? Apakah semangat pembaruan ini juga tercermin dalam sistem rekrutmen dan pengembangan kompetensi guru ke depan?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar catatan kritis, melainkan refleksi akan tantangan yang nyata. Jawaban terhadapnya akan menentukan apakah kebijakan ini mampu menjadi katalis transformasi pendidikan nasional, atau justru berubah menjadi program musiman yang kehilangan arah begitu berganti tahun anggaran.

Tentu kita berharap yang pertama, bahwa pengenalan coding dan AI di tingkat dasar bukan sekadar simbol kemajuan, melainkan pijakan awal menuju ekosistem pendidikan yang lebih adil, adaptif, dan berpandangan jauh ke depan.

Kebutuhan Masa Depan

Bayangkan, di sebuah sekolah dasar di desa terpencil, mungkin saat ini ada seorang anak yang tak pernah bersentuhan dengan laptop, namun punya rasa ingin tahu luar biasa terhadap dunia digital. Ia bermain dengan imajinasinya, membayangkan bagaimana ponsel bekerja, atau mengapa video bisa muncul di layar.

Anak itu adalah masa depan—bukan dalam pengertian klise, tetapi dalam makna yang sangat konkret. Di tangan merekalah arah bangsa akan ditentukan. Mereka adalah generasi yang akan hidup di masa yang tidak lagi seperti hari ini—masa di mana peran manusia bersanding erat, bahkan berkompetisi, dengan kecerdasan buatan; masa di mana kreativitas, keberanian mengambil keputusan, dan kemampuan memahami teknologi akan menjadi tolok ukur keberhasilan, bukan sekadar ijazah dan nilai rapor.

Karena itulah, menyiapkan generasi yang mampu membaca zaman dan menciptakan ruangnya sendiri dalam kompetisi global adalah kebutuhan yang tidak bisa ditunda. Ini bukan proyek elitis yang hanya relevan untuk anak-anak kota besar atau mereka yang mampu membeli perangkat mahal. Ini adalah kebutuhan dasar yang menyentuh hak setiap anak Indonesia untuk dibekali keterampilan hidup yang relevan dengan dunia mereka kelak.

Dalam konteks inilah, keputusan memperkenalkan pembelajaran coding dan kecerdasan buatan sejak sekolah dasar menjadi langkah yang sangat berani dan patut dihargai. Bukan hanya karena ini kebijakan yang mengikuti tren global, tapi karena ia menandai perubahan cara pandang: dari pendidikan yang hanya menjejalkan hafalan, menjadi pendidikan yang membangun cara berpikir, rasa ingin tahu, dan kepercayaan diri anak untuk berkarya.

Namun demikian, sebagaimana kita pun tahu, keberanian merumuskan kebijakan tidak cukup. Keberanian yang lebih besar diperlukan untuk menjalankannya secara konsisten dan inklusif. Kebijakan yang baik hanya akan menjadi narasi indah di atas kertas jika tidak menyentuh kelas-kelas yang sesungguhnya, ruang-ruang belajar yang nyata, dan anak-anak yang membutuhkan kesempatan untuk tumbuh, tak peduli di kota atau di pelosok. Maka tantangan kita adalah memastikan bahwa keberanian ini tak berhenti pada seremoni peluncuran atau poster sosialisasi. Ia harus hadir dalam pelatihan guru yang serius, dukungan infrastruktur yang merata, serta kurikulum yang tidak membuat anak terbebani, melainkan tertantang dan bersemangat.

Pada akhirnya, pendidikan bukan sekadar soal nilai, ujian, dan mata pelajaran. Pendidikan adalah bentuk paling konkret dari harapan jangka panjang suatu bangsa. Ia adalah investasi yang hasilnya mungkin tidak langsung tampak hari ini, tapi menentukan siapa yang akan kita miliki di 10, 20, atau 30 tahun mendatang.

Dan dalam dunia yang bergerak cepat seperti sekarang, setiap detik keterlambatan bisa berarti kehilangan satu potensi, satu talenta, atau bahkan satu generasi yang seharusnya bisa membawa perubahan. Maka itu, kita tidak bisa lagi menunggu semua sempurna untuk memulai. Justru dengan memulai, kita belajar untuk memperbaiki. Nyanban.

Penulis adalah Pengajar Di Sekolah Sukma Bangsa Pidie

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE