Oleh: Dr.Tgk. Bukhari, M.H., CM
Inilah perang baru yang tak kalah berat dari revolusi fisik: perang melawan ketenaran, kesenangan instan, dan citra palsu di dunia digital.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Setiap 22 Oktober, gema “Hari Santri Nasional” kembali menggema di seluruh penjuru negeri. Di Aceh, tanah yang berlabel Serambi Mekkah, semangat itu seharusnya terasa lebih kuat dari daerah lain. Tapi mari kita jujur hari ini, santri sedang menghadapi tantangan yang jauh lebih sulit daripada sekadar berdebat soal kitab kuning. Musuh mereka bukan lagi penjajah bersenjata, melainkan dunia digital yang memanjakan hawa nafsu dan menumpulkan kesadaran spiritual: dunia hedonis ala TikTok.
Dunia maya telah mengubah cara berpikir generasi muda, termasuk santri. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube bukan hanya tempat hiburan, melainkan juga medan perang ide dan akhlak. Di satu sisi, kita melihat santri kreatif membuat konten dakwah yang inspiratif. Tapi di sisi lain, muncul fenomena santri seleb yang lebih sibuk mencari likes daripada keberkahan. Inilah perang baru yang tak kalah berat dari revolusi fisik: perang melawan ketenaran, kesenangan instan, dan citra palsu di dunia digital.
Ironisnya, sebagian generasi muda di Aceh bahkan di daerah yang kental dengan nilai syariat lebih hafal nama-nama influencer daripada nama-nama ulama. Lebih paham tren dance challenge daripada makna amar ma’ruf nahi munkar. Padahal, Aceh punya tradisi ulama besar yang dulu berjuang tanpa kamera, tanpa konten, tapi dengan niat tulus membimbing umat. Kini, kita hidup di zaman di mana ketulusan sering dikalahkan oleh algoritma.
Santri zaman dulu dikenal dengan kesederhanaan dan keikhlasan. Santri zaman kini dituntut menjadi digital native mampu berdakwah lewat teknologi, tapi tanpa kehilangan ruh keikhlasan. Persoalannya, apakah santri siap bersaing di dunia digital yang serba cepat dan menggoda ini? Atau justru hanyut dalam arus popularitas semu?
Kita tidak bisa menutup mata: dunia hedonis sedang merayap masuk ke ruang-ruang pesantren, ke ruang hati para santri. Hedonisme tidak selalu berarti harta dan pesta, tapi bisa juga berupa ketergantungan pada pengakuan sosial, adiksi pada notifikasi, dan haus akan followers. Jika santri kalah di medan ini, maka pesantren akan kehilangan perannya sebagai benteng moral bangsa.
Tapi bukan berarti santri harus menolak dunia digital. Justru sebaliknya: santri harus merebut kembali ruang publik digital dengan nilai-nilai Islam. Jadilah santri yang cerdas digital, bukan korban digital. Santri yang paham literasi media, tahu kapan berbagi konten dakwah dan kapan harus berhenti menatap layar. Karena sejatinya, jihad di era modern bukan hanya di medan perang, tapi di kolom komentar dan konten dakwah yang menyejukkan jiwa.
Pemerintah, khususnya di Aceh, juga tak boleh hanya sibuk dengan seremoni peringatan Hari Santri. Harus ada gerakan konkret membekali santri dengan kemampuan literasi digital, agar mereka bisa bersaing dengan influencer hedonis dalam menyebarkan pesan moral. Jangan sampai syariat Islam hanya menjadi slogan, sementara moral sosial terus terkikis oleh budaya viral yang kosong makna.
Hari ini, dunia menunggu siapa yang menang di era TikTok: santri yang memegang nilai ilahi, atau dunia hedonis yang menggoda dengan kenikmatan sesaat. Jawabannya ada pada setiap santri yang berani menatap kamera bukan untuk eksis, melainkan untuk berdakwah.
Karena masa depan bangsa ini tidak ditentukan oleh siapa yang viral hari ini, tapi oleh siapa yang tetap istiqamah ketika dunia mulai gila akan perhatian.
Penulis adalah alumni Dayah BUDI Lamno dan Dayah Raudhatul Ma’arif Cot Trueng sekaligus konsultan hukum.