Oleh: Farid Wajdi
Ekspansi industri sawit telah merombak lanskap hutan Indonesia secara radikal. Sumatera, Kalimantan, dan wilayah hutan primer lainnya berubah menjadi monokultur yang seragam, menggerus fungsi ekologis sekaligus menyentuh dimensi sosial dan spiritual masyarakat.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Di balik angka investasi dan pertumbuhan ekonomi, terdapat jejak kerentanan ekologis yang menuntut refleksi kritis atas hubungan manusia dengan alam.
Hutan yang telah terbentuk selama ribuan tahun kehilangan kapasitasnya menahan guncangan alam, sementara logika ekstraksi menempatkan keseimbangan ekosistem pada posisi subordinat.
Model perkebunan skala besar, menurut Colchester (2016), menunjukkan kecenderungan memperluas izin secara agresif tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Fragmentasi hutan primer di Sumatera, sebagaimana dicatat Margono (2017), meningkat bersamaan dengan bertambahnya izin konsesi.
Dampaknya jelas: risiko banjir, longsor, kebakaran lahan, dan hilangnya biodiversitas meningkat tajam. Transformasi ini bukan sekadar isu teknis; ia merupakan cerminan perubahan nilai, sebab hutan bukan lagi ruang hidup yang dihormati, melainkan komoditas yang diukur berdasarkan produktivitas dan profitabilitas.
Dimensi moral dari krisis ini tidak kalah penting. Bagi masyarakat adat dan komunitas lokal, hutan merupakan ruang kosmologis, genealogis, dan spiritual.
White (2019) menegaskan krisis lingkungan selalu berakar pada cara manusia memandang ciptaan. Ketika hutan diperlakukan sebagai komoditas, hubungan sakral manusia dengan alam terputus, meninggalkan sistem etika yang rapuh.
Ekspansi sawit yang berkelanjutan secara ekonomi sekaligus destruktif secara ekologis memperlihatkan pergeseran paradigma pembangunan yang mengorbankan amanah moral.
Ekoteologi memberikan kerangka kritis untuk memahami persoalan ini. Dalam tradisi Islam, manusia diposisikan sebagai khalifah, pemakmur sekaligus penjaga bumi.
Hadis Nabi, “Bumi hijau dan indah, dan Tuhan menjadikan manusia sebagai pemakmur di dalamnya” (HR. Muslim), menegaskan eksploitasi tanpa batas melanggar mandat penciptaan. Fikih melengkapinya dengan kaidah lā ḍarar wa lā ḍirār, yang menolak tindakan merusak atau menimbulkan kerugian publik.
Kerusakan hutan akibat sawit termasuk kategori mafsadah ‘ammah, sehingga intervensi negara bukan sekadar pilihan, tetapi kewajiban untuk mencegah kerusakan yang lebih luas.
Contoh lain, hadis mengenai perempuan yang diampuni karena memberi minum seekor anjing (HR. Bukhari), menekankan posisi makhluk hidup non-manusia dalam ranah etika.
Jika tindakan sederhana memiliki konsekuensi moral, maka merawat ekosistem yang menopang jutaan nyawa memiliki nilai spiritual jauh lebih tinggi. Kerusakan hutan, karenanya, bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi pengingkaran terhadap amanah ilahi yang menjadi inti ajaran Islam.
Di lapangan, masyarakat adalah kelompok paling rentan menjadi pihak pertama menanggung konsekuensi. Banjir, kekeringan, kebakaran gambut, dan tanah longsor muncul dari perubahan struktur ruang yang mengabaikan keseimbangan ekologis.
Forest Watch (2021) mencatat perluasan izin sawit di kawasan lindung tetap berlangsung meski regulasi menegaskan larangan. Negara sering hadir sebagai pemberi izin, bukan sebagai penjaga ruang hidup publik.
Hal ini menegaskan lemahnya kapasitas institusi menegakkan regulasi sekaligus menjaga integritas ekologis.
Di tingkat global, tekanan sustainability menghadirkan paradoks. Sertifikasi keberlanjutan, meski diklaim sebagai jaminan, kerap berfungsi sebagai legitimasi tanpa mengubah praktik mendasar.
Hospes (2020) menyoroti bagaimana skema tersebut menghasilkan akuntabilitas semu. Ketika pasar dijadikan standar moral, batas etika menjadi cair.
Ekoteologi menawarkan standar normatif yang lebih tegas: keberlanjutan ditentukan bukan oleh kalkulasi ekonomi semata, melainkan oleh tanggung jawab moral atas keberlangsungan ciptaan.
Urgensi penerapan ekoteologi semakin nyata. Kaidah fikih dar’ al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb al-masālih menegaskan mencegah kerusakan mendahului pencarian manfaat.
Praktik menanam pohon meski “esok kiamat” (HR. Ahmad) memperkuat pesan merawat bumi merupakan kewajiban yang tidak gugur dalam kondisi apa pun.
Legitimasi etik ini mendesak kebijakan yang menempatkan perlindungan ekosistem sebagai prioritas utama, bukan sekadar pelengkap prosedur administratif.
Konteks politik di Indonesia menunjukkan perlunya keberanian mengambil keputusan korektif. Regulasi tanpa pengawasan hanya menciptakan ilusi ketertiban.
Ketika izin diberikan pada kawasan lindung, hutan menjadi korban kompromi politik jangka pendek. Li (2018) menyoroti bagaimana relasi kekuasaan menentukan siapa memperoleh perlindungan hukum dan siapa kehilangan hak untuk mengelola ruang hidupnya.
Masyarakat lokal, meskipun memiliki tradisi perawatan ekologi panjang, sering tersingkir oleh kepentingan korporasi dan logika politik yang dominan.
Dalam praktik pembangunan, ekoteologi menghadirkan paradigma restoratif. Pemulihan hutan, moratorium sawit, pengawasan izin yang ketat, dan perbaikan bentang alam bukan sekadar tindakan teknokratis.
Tindakan tersebut menegaskan komitmen negara terhadap amanah penciptaan. Pembangunan harus menyesuaikan diri dengan ritme alam, bukan memaksanya untuk memenuhi target ekonomi jangka pendek.
Hutan memberi pesan sunyi, tetapi tegas: ketika dijaga, ia memberi kehidupan; ketika dirusak, ia membalas dengan bencana. Ekspansi sawit yang mengabaikan hukum ekologis memperpanjang siklus kerentanan.
Ekoteologi menawarkan kerangka moral dan praktis untuk menghentikan pola destruktif ini: mengembalikan kesucian hutan, menghormati kehidupan non-manusia, dan menempatkan manusia sebagai penjaga yang bertanggung jawab.
Masa depan sawit dan hutan Indonesia bergantung pada pilihan moral hari ini. Pembangunan yang merusak tidak bisa diterima sebagai keniscayaan. Dalam perspektif ekoteologis, keberadaban bangsa diukur dari kesediaan merawat bumi.
Amanah ini, bila dijalankan, tidak hanya menyelamatkan hutan, tetapi mengembalikan fungsinya sebagai ruang spiritual yang menyatukan manusia dengan tatanan kosmis.
Dengan menyelaraskan kebijakan pembangunan, tata kelola izin, dan penegakan hukum dengan prinsip ekoteologi, negara dapat memastikan pertumbuhan ekonomi tidak berakhir sebagai sumber kerentanan ekologis.
Sawit, hutan, dan ekoteologi bukan isu terpisah. Ketiganya membentuk hubungan kompleks antara moral, politik, dan ekologi. Kesadaran kolektif akan relasi ini menentukan apakah Indonesia mampu membangun model pembangunan berkelanjutan yang tidak hanya memanfaatkan alam, tetapi juga menjaga amanahnya untuk generasi mendatang.
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU











