Sayup-sayup Peringatan Hardikda Aceh

  • Bagikan
Sayup-sayup Peringatan Hardikda Aceh

Oleh Tabrani Yunis

Langit di atas kota Banda Aceh terlihat redup pagi itu. Jarum jam sudah menunjukan pukul 10.37 WIB. Sudah menjelang siang. Biasanya pada pukul 10 seperti ini matahari bersinar cerah. Tapi tidak pagi itu. Mungkin karena perubahan cuaca yang memang sudah tidak lagi sebagaimana layaknya ketika musim panas datang dengan teratur dan musim hujan yang datang di saat bulan-bulan berakhir ber, seperti September, Oktober, November dan Desember. Ya, kini perubahan iklim atau climate change telah ikut mengubah segala dalam tata kehidupan kita, termasuk gaya hidup (life style) kita.

Pagi itu angın pun berhembus perlahan kala saya duduk mereguk segelas air hangat dan secangkir kopi gaya baru yang diberi nama Americano. Bukan karena saya sedang berada di sebuah cafe di Miami Bay, bukan pula sedang di sebuah hotel mentereng di kawasan bundaran HI, Jakarta. Saya menyeruput secangkir kopi Arabica coffee yang diberi nama Americano, di Gerobak coffee dekat POTRET Gallery, toko souvenir dan berbagai kerajinan di Jalan Prof. Ali Hasyimi, Pango Raya, Banda Aceh.

Sembari menikmati lagu-lagu Gipsy Kings- Amor Mio, lagu zaman yang masih enak didengar di era ini, saya membuka sebuah tulisan yang dimuat di SerambiNews.com, berjudul “ Di mana MPA di Hari Pendikan Aceh?”. Tulisan yang ditulis oleh seorang sahabat yang saat ini masih bertugas sebagai dosen di Fakultas Tarbiyah, UIN Ar-Raniry. Dr. Muhibbudin Hanafiah, M.Ag yang sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, adalah teman sewarga kompleks perubahan Pola di Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar itu bertanya keberadaan Majelis Pendidikan Aceh (MPA) di hari Pendidikan Daerah Aceh. Pertanyaan itu muncul, karena beliau melihat bahwa eksistensi MPA penting dalam pembangunan pendidikan Aceh seperti yang diamanahkan kepada MPA.
 
Maka, tulisan itu menjadi semakin sangat menarik karena menampilkan banyak fakta sejarah pendidikan Aceh yang perlu atau penting diketahui, khususnya masyarakat Aceh dan pemerintah Aceh yang terus silih berganti. Jadi wajar bila tulisan itu termasuk tulisan yang saya tunggu dan ingin membacanya sampai tuntas. Ya, tulisan yang ditulis setelah tanggal 2 September 2024. Lalu pada tanggal 2 September 2024 harian Serambi Indonesia, memuat tulisan Ferry Irawan, Ssi, Kepala SMK Negeri Jeunib menulis tulisan Hardikda, Antara Prestasi dan Distorsi Karakter. Jadi lengkap pula informasi yang saya dapatkan mengenai Hardikda itu dari dua tulisan tersebut.
 
Dua tulisan itu semakin menambah pula tensi curiousity saya dan berupaya mencari tahu apakah ada kegiatan-kegiatan peringatan Hardikda yang reflektif dan menjurus pada upaya menemukan akar masalah pendidikan Aceh yang selama ini dirasakan masih tertinggal dibandingkan dengan daerah atau provinsi lain di tanah air. Saya juga ingin mengetahui apa yang dilakukan oleh para pelaku dan penyedia layanan pendidikan di bumi Serambi Makkah ini pada momentum Hardikda ini. Tentu ada kegiatan-kegiatan yang dilakukan, namun ironisnya momentum Hardikda hanya sekadar kegiatan upacara atau selebrasi yang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang mampu mencari solusi terhadap masalah pendidikan yang sedang berlangsung saat ini, juga tidak terlihat adanya upaya melahirkan program-program pendidikan yang berorientasi pada persoalan masa depan.
 
Masih segar dalam ingatan saya, pada tanggal 3 September 2024, saat menikmati sajian segelas minuman Jahe dan seporsi rebusan ketela di cafe Cut Ayah yang rimbun dan sejuk, saya membaca Serambi Indonesia dan membaca berita mengenai peringatan Hardikda yang diselenggarakan di depan kantor Gubernur Aceh. Tidak ada yang spesial, tidak ada yang dapat diambil pembelajaran atau untuk dianalisis terkait pendidikan Aceh, pada upacara tersebut. Ya, yang namanya upacara adalah kegiatan peringatan yang singkat dengan hanya mendengar pidato Gubernur atau Pj Gubernur. Tema yang diangkat pun tidak menyentuh ke akar persoalan pendidikan Aceh. Sehingga, berita kegiatan itu terasa juga dalam kondisi sayup-sayup, seperti judul tulisan ini. Tidak ada gaung apalagi gema yang membahana.

Jadi, tidak salah bila, dikatakan seperti judul tulisan ini, sayup-sayup, seperti tak ada suara-suara yang melakukan aksi refleksi terhadap masalah pendidikan kontemporer. Sayupnya peringatan Hardikda tersebut adalah sebuah indikator atau gambaran sikap pemerintah Aceh saat ini terhadap eksistensi Hardikda tersebut saat ini. Masih lumayan tulisan ini, karena ada resonansinya. Walau tidak ditulis dan dipublikasikan bertepatan dengan peringatan Hardikda itu. Peringatan Hardikda tahun ini dirasakan begitu hambar. Padahal, eksistensi Hardikda yang telah digagas oleh para pendahulu, pejuang atau tokoh Aceh yang merasa prihatin dengan kondisi pendidikan Aceh, pentingnya membangun pendidikan Aceh yang berkualitas dan bermartabat.
 
Bukan hanya itu, para tokoh Aceh kala itu telah berjibaku merangkai mimpi besar melahirkan generasi Aceh yang cerdas dan bermartabat. Mereka dengan tekad bulat membangun pendidikan Aceh. Tugu Darussalam, adalah wujud nyata atau bukti komitmen mereka. Seharusnya apa yang telah mereka perjuangkan, menjadi bahan kajian pada setiap tanggal 2 September itu. Para tokoh yang futuristik itu telah mengingatkan rakyat dan pemerintah Aceh untuk terus secara serius meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Aceh dengan pendidikan. Mereka telah berjuang dengan jiwa dan raga, tanpa pamrih.

Namun sayang, di kala Aceh telah diberikan keistimewaan di bidang pendidikan, lalu kemudian keistimewaan itu pun hilang dan hanya tinggal dalam catatan sejarah. Betapa sedihnya mereka, bila mereka bisa melihat hasil perjuangan mereka yang kini terabaikan. Keistimewaan yang mereka perjuangkan pun akhirnya tinggal kenanangan, walupun kemudian berubah wujud ke dalam konsep otonomi khusus yang membuat pendidikan Aceh banjir anggaran, tapi kering dengan prestasi yang diperoleh dengan kejujuran. Ternyata, anggaran yang melimpah tidak menjamin kualitas pendidikan bisa meningkat secara ideal. Apalagi saat ini, kepentingan politik telah menyeret sektör pendidikan ke pusaran ranah politik, membuat pendidikan Aceh pun terseok-seok digeranyangi kepentingan politik dan bisnis.
 
Selayaknya, masyarakat dan Pemerintah Aceh menjadikan Hardikda ini sebagai pengingat (reminder) agar masyarakat dan pemerintah Aceh kini dan ke depan menjadikan Hardikda yang bersejarah itu sebagai momentum untuk memonitor dan mengevaluasi semua kegiatan pendidikan di Aceh. Diperlukan penglibatan semua stakeholders pendidikan, institusi -institusi pengelola pendidikan, baik Dinas-dinas Pendidikan, kementerian Agama, Badan Dayah, Perguruan Tinggi dan institusi lainnya yang menyelenggarakan pendidikan, termasuk perwakilan masyarakat. Bukan hanya itu, tentu saja banyak cara untuk merayakan Hardikda Aceh yang lebih berkualitas dan bermartabat.

Oleh sebab itu, bila setiap tanggal 2 September ingin menjadi tanggal bersejarah dan membanggakan bagi masyarakat dan pemerintah Aceh, maka ke depan pemerintah Aceh harus secara serius menjadikan momentum Hardikda sebagai momentum yang produktif, kontributif dan solutif untuk peningakatan kualitas SDM. Tidak hanya selebrasi satu atau dua jam, tetapi harus dalam bentuk kegiatan yang dapat membangun kesadaran masyarakat dan pemerintah Aceh serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
 
Seharusnya pula Pemerintah dan masyarakat Aceh saat ini malu pada mereka yang telah dengan susah payah membangun tonggak sejarah pendidikan Aceh di masa lalu. Jangan sampai pula ada yang bertanya, untuk apa lagi memperingati Hardikda, karena sudah ada peringatan Hardiknas? Bila kita tidak malu. bıarkan saja pertanyaan itu berkelindan. Namun, bagi Aceh Hardikda adalah momentum bersejarah yang wajib diperingati, betapa peduli (care), concern, committed dan seriusnya tokoh-tokoh Aceh membangun masa depan pendidikan Aceh di masa lalu, yang seharusnya menjadi media membangun kesadaran akan pentingnya menyiapkan generasi bangsa Aceh yang berkualitas dan bermartabat dunia dan akhirat. Mereka bahkan secara totalitas jiwa dan raga meletakkan landasan Pembangunan manusia yang utuh dan terpadu, sehingga selanjutnya memudahkan generasi berikut menjalankan pendidikan Aceh secara maju dan terarah sebagaimana yang diimpikan oleh para pendahulu kita.

Penulis adalah Pegiat Literasi, Pemerhati Pendidikan dan Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Aceh


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Sayup-sayup Peringatan Hardikda Aceh

Sayup-sayup Peringatan Hardikda Aceh

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *